Mohon tunggu...
novance silitonga
novance silitonga Mohon Tunggu... Penulis - senang baca, nulis, jalan-jalan apalagi nonton, masak dan mengurus taman.

senang baca, nulis, jalan-jalan apalagi nonton, masak dan mengurus taman.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu yang Memilukan

26 April 2019   19:25 Diperbarui: 26 April 2019   19:31 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lebih sepekan negeri ini melewati pemilu serentak (pileg dan pilpres). Rakyat berdaulat selesai menggunakan hak konstitusionalnya. KPU dan Bawaslu, dua lembaga penyelenggara pemilu masih terus bekerja melakukan dan mengawasi rekapitulasi penghitungan suara secara berjenjang sampai akhirnya tanggal 22 Mei 2019, Republik ini dipastikan akan mempunyai presiden. Ditengah-tengah kritik, sindiran, hinaan, cacian dan makian di media sosial, KPU dan Bawaslu bekerja dengan penuh integritas, profesional dan menjaga wibawanya sebagai pengawal demokrasi.

Pemilu tahun 2019 yang menyatukan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilihan Anggota Legislatif/DPD dalam waktu yang bersamaan bukan pekerjaan yang mudah. Pemilu raya seperti ini menuntut resources yang mumpuni dan terlatih serta fisik yang tangguh. Profesor Mahfud MD memberi kritik soal lambatnya penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU melalui instrumen sistem informasi penghitungan suara (situng). Barangkali ini bukan lagi soal kompetensi tetapi enduransi yang telah melewati batas psikologisnya.

Penyelenggara pemilu (KPPS) dituntut untuk selalu memperhatikan segala keberatan, sanggahan, protes dari caleg, para saksi dan pengawas TPS dalam proses penghitungan suara. Surat suara dihitung dan diperiksa keabsahannya satu persatu untuk masing-masing pemilihan (Presiden, DPR, DPD, DPRD Kab/Kota). Tentu ini memakan waktu yang lama, dan mereka akan dianggap melakukan pelanggaran jika mengabaikan segala keberatan yang muncul di TPS.

Pemantauan penulis pada saat pemungutan suara yang lalu, cukup banyak TPS memiliki masalah, seperti kurangnya surat suara sehingga waktu pelaksanaan pemungutan suara tidak on time. Ini menjadi cikal bakal kecurigaan besar oleh rakyat kepada KPPS. Muncul asumsi KPU telah bermain "api". Bahkan sebelum pemilu dilaksanakan, kecurigaan besar telah disiarkan oleh Amien Rais, salah seorang tokoh sepuh republik ini, bahkan dengan sedikit mengancam akan menghadirkan gerakan people power jika kecurigaan itu benar adanya.

Berdasarkan jadwal dan tahapan penyelenggaraan pemilu, rekapitulasi surat suara dilakukan secara berjenjang mulai dari kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan terakhir ditingkat nasional. Semakin cepat kerja KPU di masing-masing tingkatan dalam melakukan penghitungan rekapitulasi surat suara maka akan semakin cepat pula penghitungan rekapitulasi surat suara tingkat nasional dilakukan. Semua tergantung kecepatan PPK, KPU Kab/Kota, KPU Provinsi dalam bekerja. Pasalnya mereka tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun karena akan merugikan peserta pemilu.

Kesalahan dalam proses input data (scan formulir C1) kedalam situng memunculkan reaksi berlebihan dari masyarakat dunia maya (media sosial) dan dunia nyata yang menimbulkan kekisruhan. Padahal sudah berulang kali KPU menyatakan bahwa situng yang ditampilkan pada laman pemilu2019.kpu.go.id merupakan bentuk transparansi pihaknya dalam melakukan penghitungan dan rekapitulasi suara. KPU sengaja mempublikasikan agar seluruh masyarakat maupun peserta pemilu bisa mengaksesnya.

Tidak ada pilihan, KPU harus merespon kisruh yang terjadi dan meyakinkan masyarakat bahwa semua ini faktor kelelahan manusia (human eror) dan tidak ada niatan untuk curang. Masyarakat harus disadarkan bahwa situng tak ada kaitannya dengan penetapan hasil akhir pemilu, toh hasil penghitungan surat suara secara resmi tidak merujuk kepada situng melainkan secara manual.

Peristiwa Memilukan

Pemilu kali ini memberikan gambaran yang berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Berbagai peristiwa memilukan terjadi paska pemungutan suara di TPS. Hal yang paling mendapat perhatian publik luas bahkan dari presiden adalah gugurnya para pahlawan demokrasi. Mereka adalah para penyelenggara dan pengawas di daerah. Tidak hanya itu, pihak aparat keamanan juga turut menjadi "korban pemilu". Catatan KPU  per 23 Maret 2019 menyajikan ada 548 orang sakit dan 119 orang meninggal, sementara Bawaslu ada 33 orang meninggal dunia dan yang lainnya sakit dan bahkan mengalami kekerasan. Angka-angka ini diprediksi akan semakin bertambah dan  hampir disemua provinsi mengalami musibah ini. Dipihak aparat keamanan tercatat 10 orang meninggal dunia pada saat melakukan pengamanan pemungutan suara. Komentar Menteri Kesehatan menyatakan para korban mengalami tekanan darah yang tidak normal karena kurangnya istirahat serta memiliki riwayat penyakit sebelumnya.

bawaslu.go.id
bawaslu.go.id
Saling serang dan membenci antar anak bangsa turut menambah daftar pilu pemilu. Pemilu membuat sebagian besar anak bangsa berubah. Cepat marah dan emosi, prasangka buruk, tidak mudah memaafkan. Muncul vokalis-vokalis yang ingin tampil "populis" namun tak jarang dengan data editan atau setidak-tidaknya salah informasi karena kurang chek dan rechek pada sumber yang benar. Kita menjadi simbol masyarakat yang sakit dan mengabaikan nilai-nilai budaya timur yang bertutur santun dan mengedepankan kejujuran dan musyawarah.

Ketidakpercayaan kepada lembaga penyelenggara pemilu bisa berdampak kepada penolakan hasil pemilu yang akan ditetapkan. Kondisi seperti ini bisa menimbulkan kekisruhan yang berskala massif dan bisa saja mengancam stabilitas nasional. Itulah mengapa KPU harus membuktikan dirinya layak dipercaya oleh publik. Bagaimana? Transparansi dan keakuratan data dalam mengelola proses pemilu harus dilihat oleh publik bukan hanya sebatas klaim. Misalnya, baru-baru ini ada perbedaan pernyataan dari komisioner KPU tentang jumlah data C1 yang salah input. Pernyataan berbeda disampaikan ke publik dengan mengatakan jumlah kesalahan hanya 24, namun dilain pihak dikatakan sebanyak 105. Hal semacam ini sering terjadi dalam organisasi yang kepemimpinananya bersifat kolektif kolegial. Itulah mengapa upaya cross check harus menjadi perhatian para komisioner.

Peristiwa paling memilukan dalam pemilu 2019 adalah civic education buruk dari elit politik. KPU lembaga yang paling berotoritas mengeluarkan hasil pemilu dan saat ini mereka tetap bekerja serta belum menetapkan pemenang kontestasi. Mengapa ada pesta "menang' yang diulang-ulang? bahkan menetapkan diri sebagai presiden terpilih dan deklarasi ke publik. Tim kampanye dan tim sukses masing-masing calon presiden menggelar perayaan kemenangan. Masyarakat disuguhkan pelajaran politik yang tidak baik karena tidak menghargai proses pemilu yang masih berlangsung. Elit politik tidak menyajikan contoh bagaimana berkontestasi dan berkompetisi secara elegan dan menjadi seorang demokrat sejati malah sebaliknya memberikan situasi palsu.

Evaluasi Pemilu Serentak: Sebuah Kebutuhan?

Ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian yaitu Pertama, tujuan fundamental pelaksanaan pemilu serentak. Mencermati diskursus nasional jauh sebelum ditetapkan undang-undang tentang pemilu, ada konsensus antara pemerintah dan parlemen untuk menyerentakkan pelaksanaan pileg dengan pilpres. Sasarannya adalah efesiensi biaya dan mengurangi gesekan horizontal di tengah masyarakat serta efesiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sejauh ini tidak ditemukan gesekan yang dimaksud dan aparat keamanan cukup mampu mengendalikan situasi.

Kedua, pemilihan legislatif sangat penting dan urgent, sama pentingnya dengan pemilihan presiden. Kebenaran ini harus dimiliki masyarakat. Wakil rakyat yang kita pilih dalam pemilu adalah aktor yang akan membuat undang-undang yang akan dijalankan oleh presiden terpilih. Tentu saja kehadiran orang-orang terbaik di parlemen menjadi harapan bersama. Perhatian hanya kepada pemilihan presiden dan mengabaikan pemilihan legislatif adalah sebuah tindakan dan sikap yang tidak dapat dibenarkan. Fakta di masyarakat adalah hanya mencari tau dan membincangkan rekam jejak calon presiden dan sekaligus memberikan pembelaan membabi buta terhadap calon presiden pilihannya serta memberi frame negatif kepada pasangan calon presiden lainnya. Masyarakat terkesan tidak mau mencari jejak caleg terkait pengalaman, pengetahuan/pendidikan, moralitas dan hal baik lainnya.

Ketiga. Barangkali tak terpikirkan sebelumnya bahwa dalam pemilihan serentak akan menimbulkan banyak korban jiwa. Dalam hitungan sepekan sudah ratusan penyelenggara pemilu harus mengakhiri hidupnya karena sakit, kelelahan dan tindakan kekerasan. Cerita miris datang dari Kota Pasuruan, Jawa Timur, anggota Linmas penjaga TPS meninggal dunia karena kelelahan, dia bertahan menjaga TPS agar dapat honor untuk membeli handphone anak bungsunya. Ini menyedihkan dan sebaiknya tak perlu terulang.

Perlu duduk bersama antara pemerintah, parlemen, penyelenggara pemilu mengevaluasi pelaksanaan pemilu serentak. Banyak hal yang harus dipertimbangkan kembali. Sasaran penghematan dan efesiensi pemerintahan, walaupun tercapai dalam pemilihan serentak kali ini, tetapi menimbulkan banyak kerugian (korban jiwa dan keadaan diharmonisasi ditengah masyarakat) perlu dibincangkan kembali. Mencari konsensus baru untuk hasil yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun