Mohon tunggu...
Novan Noorwicaksono Bhakti
Novan Noorwicaksono Bhakti Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah

Berusaha menebarkan kebaikan dalam media dan kondisi apapun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Corak Kehidupan Manusia Praaksara di Indonesia, Masa Perundagian

17 April 2024   11:00 Diperbarui: 17 April 2024   11:13 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Artikel ini adalah bagian ketiga dari pembahasan corak kehidupan serta hasil-hasil budaya manusia di Indonesia pada masa praaksara. Pembahasan materi ini terdiri dari tiga bagian, yang membahas corak kehidupan dan mata pencaharian manusia selama kurun praaksara, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana (budaya paleolotik), masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (budaya mesolitik), masa bercocok tanam (budaya neolitik), dan masa perundagian (budaya logam).

Gelombang kedua Bangsa Melayu Austonesia (Deutero-Melayu atau Melayu Muda) dari Ras Mongoloid datang ke wilayah Nusantara pada sekitar tahun 300 SM. Bangsa Deotero-Melayu berkohabitasi dengan Bangsa Proto-Melayu, penduduk yang sudah ada dari ras yang sama. Aktivtas perdagangan mempermudah proses pembauran dan mempercepat pertukaran kebudayaan. Pada masa inilah berkembang kehidupan perundagian di Nusantara.

Pada masa perundagian manusia telah mengembangkan teknik bivalve (setangkup) dan cire perdue (cetak). Teknik bivalve adalah teknik pembuatan logam dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari batu. Batu cetakan direkatkan atau diikat dengan menggunakan tali pada kedua sisinya. Lalu lelehan atau cairan logam dimasukan ke dalam cetakan. Kelebihan teknik ini adalah bisa digunakan secara berulang-ulang. Teknik cire perdue dilakukan dengan membuat cetakan dari bahan lilin yang dibungkus tanah liat. Model barang dibuat dengan memanfaatkan lilin. Lalu lilin dilapisi oleh cetakan yang terbuat dari tanah liat yang bagian atasnya telah dilubangi. Cairan logam dimasukkan melalui lubang tersebut dan didiamkan hingga mongering.

A. Jenis Manusia

Berdasarkan penelitian, manusia pembawa kebudayaan perundagian pernah hidup di daerah Anyer Lor (Jawa Barat), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali), dan Melo (Sumba). Fosil manusia dalam tempayan di Anyer Lor yang ditemukan tahun 1954, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Rahang bawah keduanya tegap, ukuran gigi sedang. Pada oklusi (gigitan) tajuk gigi atas menimpa gigi bawah bagian depan. Karakteristik ini khas manusia Australomenesoid. Ciri yang sama ditunjukkan pada kerangka manusia di Puger, Banyuwangi, Jawa Timur.

B. Corak Kehidupan Sosial-Ekonomi

Zaman perundagian merupakan salah satu titik perkembangan kemampuan berpikir dan inovasi manusia di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu wilayah penemuan bukti-bukti eksistensi perkembangan zaman ini. Istilah perundagian berasal dari Bahasa Bali undagi, yang artinya seseorang atau sekelompok orang yang memiliki keahlian tertentu. Di Indonesia, zaman perundagian digunakan untuk merujuk kepada zaman berkembangnya kebudayaan logam. Zaman ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1.    Munculnya kelompok manusia yang memiliki kemampuan atau keahlian tertentu dalam berbagai bidang, seperti ahli bangunan, perkakas, pertanian, upacara, perhiasan dan sebagainya.

2.    Manusia sudah mengenakan aksesoris dari berbagai bahan batu dan logam.

3.    Perkembangan pesat dalam teknik dan peralatan bertani, bercocok tanam, dan berternak.

4.    Tingkat kesejahteraan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun