Mohon tunggu...
Novaly Rushans
Novaly Rushans Mohon Tunggu... Relawan - Relawan Kemanusian, Blogger, Pekerja Sosial

Seorang yang terus belajar, suka menulis, suka mencari hal baru yang menarik. Pemerhati masalah sosial, kemanusian dan gaya hidup. Menulis juga di sinergiindonesia.id. Menulis adalah bagian dari kolaborasi dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tarif KRL Naik, Memang Harus?

18 September 2024   19:06 Diperbarui: 18 September 2024   19:08 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Padat saat keluar dari KRL (sumber Dok Pribadi)

Kereta api listrik (KRL) memang moda transportasi yang paling efektif , tepat waktu, ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi karbon dan murah pastinya. Mungkin sulit mencari tandingan moda KRL dengan moda transportasi lainnya. 

Maka keberadaan KRL yang biasa disebut commuter line ini sangat membantu dan memudahkan pergerakan manusia dari wilayah penyangga (aglomerasi) menuju Jakarta sebagai kota metropolitan (setelah nanti tidak menjadi ibukota negara).

Setiap hari  ada 1,4  juta pergerakan orang dari dan ke Jakarta (data KCI per 1 juli 2024). Ini menandakan KRL sudah tepat menjadi solusi transportasi massal dan murah. Kenapa tarif KRL bisa murah karena ditopang oleh public  services obligation (PSO). Yang sumber dananya berasal dari insentif pemerintah untuk rakyatnya. 

Sebelum berlanjut kita akan bahas apa itu PSO. PSO adalah  Kewajiban Pelayanan publik yang diberikan pemerintah untuk mobilitas dan aktivitas  masyarakat Indonesia. PSO diberikan untuk semua sektor transportasi, termasuk subsidi untuk motor dan mobil listrik, kapal laut, pesawat terbang dan juga moda berbasis rel yaitu kereta. 

Apakah sama PSO dan Subsidi ? Mengutip pernyataan pengamat transportasi publik, Deddy Herlambang, PSO merupakan insentif bukan subsidi. Karena bentuknya insentif maka tidak ada perbedaan untuk penerima pelayanan, kaya dan miskin akan sama,Kalau Subsidi diberikan kepada kelompok orang yang memang dikhususkan, seperti kelompok miskin.

Sampai ini jelas PSO memang menjadi hak masyarakat. Jumlah PSO tiap tahun dianggarkan melalui Buku  Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN). 

Angka PSO yang diberikan pemerintah untuk tahun 2025 untuk seluruh moda kereta api berjumlah Rp 4,79 Triliun .Angka PSO harus dibagi untuk Kereta jarak jauh,kereta jarak sedang,  kereta jarak dekat, kereta lebaran, KRD, KRL Jabotabek dan KRL Jogja. 

PSO terbesar  kereta api diberikan untuk   KRL Jabotabek ( > 60%) , untuk tahun anggaran 2023 PSO KRL Jabodetabek mencapai Rp 1,6 Triliun jumlah ini berkurang dari tahun sebelumnya  Rp 1,8 Triliun.

Masih menurut Deddy, bila pengguna KRL dikenakan tarif normal tanpa PSO maka biaya perjalanan KRL per 25 Km memerlukan tarif Rp 25.000 . sedangkan saat ini tarif yang dikenakan adakah Rp 3.000 untuk Rp 25 km pertama selanjutnya akan dikenakan Rp 1000 setiap 10 Km  selanjutnya , berarti PSO yang ditanggung pemerintah adalah Rp 22.000 per pengguna KRL untuk 25  km pertama. (mohon koreksi bila hitungan ini salah)

Angka PSO yang diberikan pemerintah dinilai terlalu besar ditambah pengguna KRL menurut data BPS pada tahun 2023 mencapai 290.890.677 perjalanan, angka ini mungkin tidak menggambarkan jumlah orang secara tepat, bisa jadi ada orang yang sama tetapi dihitung dua kali. Karena melakukan perjalanan pulang pergi. 

Menjadi harapan transportasi murah meriah yang melayani aglomerasi  Jabodetabek (sumber : Pribadi) 
Menjadi harapan transportasi murah meriah yang melayani aglomerasi  Jabodetabek (sumber : Pribadi) 

Bagaimana Cara Pemerintah  Menghitung Kenaikan Tarif

Kenaikan tarif KRL sebenarnya sudah coba dilakukan pada tahun 2022 dengan menyesuaikan tarif tahun 2016 sebagai dasar. Karena pemerintah menganggap sudah lebih dari 5 tahun tarif KRL tidak mengalami perubahan.

Tarif dasar KRL pada tahun 2016 adalah Rp 3000 per 25 km ditambah Rp 1000 per 10 kilo meter selanjutnya, angka itu lalu disesuaikan pada tahun  2017 menjadi Rp 3.000 per 25 km pertama lalu ditambah Rp 1000 per 10  km selanjutnya, dengan tarif terjauh menjadi Rp 13.000 yang awalnya Rp 12.000. Dan  merubah tarif minimal Rp 0,- bila masuk dan keluar pada stasiun yang sama , menjadi tarif minimal Rp 3.000. 

Angka kenaikan saat itu dilakukan dengan melakukan survey  kepada 6.841 responden yang semuanya pengguna KRL dengan rincian  53% responden merupakan pekerja formal  yang produktif   sisanya responden pekerja informal 23%, responden   untuk keperluan wisata dan rekreasi sebesar 8% dan sisanya  18% responden untuk keperluan lain. 

Untuk menentukan tarif menggunakan dua angka , angka pertama dari  ability to pay (ATP) kemampuan untuk membayar  yang diambil dari 10 % upah minimum provinsi (UMP) lalu dibagi 26 hari (hari kerja) pulang pergi (PP), sedangkan angka kedua diambil dari hasil pertanyaan langsung kepada responden  menggunakan metode  Willingness To Pay (WTP) ,berapa  kesediaan pengguna untuk membayar tarif KRL.

Angka inilah yang coba  diambil untuk kenaikan tarif pada tahun 2022, dari Rp 3.000 lalu diusulkan  naik menjadi Rp 5.000 rupiah per 25 km pertama dan Rp 1000 untuk 10 km selanjutnya. Namun penyesuain tarif saat itu tidak dilakukan. Hingga wacana kenaikan tarif mengemuka untuk tahun 2025.

Bila mengacu pada penelitian World Bank, maka akan didapati biaya  untuk transportasi yang tepat ( atau disarankan) untuk setiap orang adalah 10% dari upah bulanan. Penelitian World Bank dilakukan di negara negara Amerika latin dan Karibia. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia, dengan UMP yang ditetapkan pemerintah daerah, angka belanja transportasi rata rata melebihi angka 10%. Bahkan di beberapa daerah angkanya bisa menembus 25-30% dari upah yang diterima. Dan tidak semua pekerja di Jabotabek mendapatkan upah sesuai UMP, masih banyak yang dibayar dibawah UMP terutama pekerja informal.

Jangan lupa, biaya transportasi bukan saja tarif di KRL, masih ada biaya transportasi intermoda , biaya tarif bus, tarif angkot atau tarif ojek online, termasuk biaya parkir sepeda motor di stasiun,  maka bila ditotal biaya belanja transportasi cukup menguras penghasilan. 

Kesimpulannya...

Kenaikan tarif KRL memang menjadi hak dan kewenangan pemerintah, namun moda transportasi berbasis rel ini merupakan andalan dan harapan rakyat kecil , pekerja formal dan informal dengan penghasilan terbatas. Jangan hanya dihitung dengan UMP Jabotabek, karena dalam kenyataannya, pengguna KRL memiliki penghasilan jauh dari standar UMP.

Memang ada pekerja kelas menengah dengan gaji diatas UMP  yang juga naik KRL karena kemudahan dalam mencapai rumah dan tempat kerja, pekerja kelas menengah naik KRL sebenarnya cukup tepat karena mengurangi emisi karbon bila membawa mobil pribadi mereka ke Jakarta. Selain juga mengurangi dampak kemacetan. Maka sebelumnya ada wacana tarif KRL berdasarkan NIK yang kalau diterapkan akan menyulitkan dalam penerapan. menggunakan  NIK belum tentu bisa mendapatkan data yang tepat. Seperti kasus BBM bersubsidi yang sampai saat ini belum bisa diterapkan. 

Saya sebagai pengguna KRL aktif bisa merasakan kesulitan ekonomi pengguna KRL lainnya. Dengan menggunakan KRL (mungkin)  ada dana yang bisa dicadangkan atau ditabung . Namun bila pemerintah tetap  menaikkan tarif KRL, imbasnya uang yang tadinya bisa ditabung akan hilang untuk menutupi membayar tiket KRL.

Kalau ditanya sebagian besar masyarakat menggunakan KRL karena alasan murah dan tepat waktu, selebihnya bila ditanya tentang kenyaman,para pejuang ekonomi ini harus berdesak desakan di dalam gerbong,atau  saat naik tangga/eskalator. Mungkin survey yang akan dilakukan pemerintah juga perlu ditanyakan tentang kenyamanan pengguna KRL.

Saya yakin rangkaian kereta yang dibeli merupakan fix cost, dibeli dengan uang pemerintah, karena biasanya PT KAI mengajukan dana kepada pemerintah untuk membeli rangkaian kereta. Sumber dananya sebagian besar merupakan uang  pajak dari rakyat. Jadi PSO merupakan insentif yang sumbernya dari pajak rakyat, seharusnya imbang. 

Pemerintah mendapatkan dana dari pajak lalu dibelanjakan untuk melayani rakyatnya. Kalaupun rakyatnya diminta untuk urunan membayar tarif, seharusnya bisa diberikan dengan angka yang wajar dan tidak memberatkan masyarakatnya.

Mungkin beda blla sumber dana pemerintah didapat dari pinjaman luar negeri atau hasil menjual aset negara, maka masyarakat wajib membayar tiket KRL sesuai dengan tarif normal untuk menjaga agar hutang negara tidak terus naik. Sebagai warga negara yang baik, menjaga keuangan  negara tetap stabil  merupakan sikap patriotik. 

Jadi , silahkan pemerintah melakukan survey atau melakukan kajian untuk memastikan tarif KRL yang cocok untuk masyarakat. Sebagai warga negara berharap tarif yang diberlakukan tetap sama, walaupun ada kenaikan tarif jumlahnya tidak memberatkan. Sekaligus ada peningkatan pelayanan, seperti lebih banyak rangkaian kereta 12 gerbong dan pelayanan yang ramah dari petugas di dalam kereta maupun di stasiun.

Salam satu gerbong

Solear City , 18/9/24

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun