Bagaimana Cara Pemerintah  Menghitung Kenaikan Tarif
Kenaikan tarif KRL sebenarnya sudah coba dilakukan pada tahun 2022 dengan menyesuaikan tarif tahun 2016 sebagai dasar. Karena pemerintah menganggap sudah lebih dari 5 tahun tarif KRL tidak mengalami perubahan.
Tarif dasar KRL pada tahun 2016 adalah Rp 3000 per 25 km ditambah Rp 1000 per 10 kilo meter selanjutnya, angka itu lalu disesuaikan pada tahun  2017 menjadi Rp 3.000 per 25 km pertama lalu ditambah Rp 1000 per 10  km selanjutnya, dengan tarif terjauh menjadi Rp 13.000 yang awalnya Rp 12.000. Dan  merubah tarif minimal Rp 0,- bila masuk dan keluar pada stasiun yang sama , menjadi tarif minimal Rp 3.000.Â
Angka kenaikan saat itu dilakukan dengan melakukan survey  kepada 6.841 responden yang semuanya pengguna KRL dengan rincian  53% responden merupakan pekerja formal  yang produktif  sisanya responden pekerja informal 23%, responden  untuk keperluan wisata dan rekreasi sebesar 8% dan sisanya  18% responden untuk keperluan lain.Â
Untuk menentukan tarif menggunakan dua angka , angka pertama dari  ability to pay (ATP) kemampuan untuk membayar  yang diambil dari 10 % upah minimum provinsi (UMP) lalu dibagi 26 hari (hari kerja) pulang pergi (PP), sedangkan angka kedua diambil dari hasil pertanyaan langsung kepada responden  menggunakan metode  Willingness To Pay (WTP) ,berapa  kesediaan pengguna untuk membayar tarif KRL.
Angka inilah yang coba  diambil untuk kenaikan tarif pada tahun 2022, dari Rp 3.000 lalu diusulkan  naik menjadi Rp 5.000 rupiah per 25 km pertama dan Rp 1000 untuk 10 km selanjutnya. Namun penyesuain tarif saat itu tidak dilakukan. Hingga wacana kenaikan tarif mengemuka untuk tahun 2025.
Bila mengacu pada penelitian World Bank, maka akan didapati biaya  untuk transportasi yang tepat ( atau disarankan) untuk setiap orang adalah 10% dari upah bulanan. Penelitian World Bank dilakukan di negara negara Amerika latin dan Karibia.Â
Lalu bagaimana dengan Indonesia, dengan UMP yang ditetapkan pemerintah daerah, angka belanja transportasi rata rata melebihi angka 10%. Bahkan di beberapa daerah angkanya bisa menembus 25-30% dari upah yang diterima. Dan tidak semua pekerja di Jabotabek mendapatkan upah sesuai UMP, masih banyak yang dibayar dibawah UMP terutama pekerja informal.
Jangan lupa, biaya transportasi bukan saja tarif di KRL, masih ada biaya transportasi intermoda , biaya tarif bus, tarif angkot atau tarif ojek online, termasuk biaya parkir sepeda motor di stasiun, Â maka bila ditotal biaya belanja transportasi cukup menguras penghasilan.Â
Kesimpulannya...
Kenaikan tarif KRL memang menjadi hak dan kewenangan pemerintah, namun moda transportasi berbasis rel ini merupakan andalan dan harapan rakyat kecil , pekerja formal dan informal dengan penghasilan terbatas. Jangan hanya dihitung dengan UMP Jabotabek, karena dalam kenyataannya, pengguna KRL memiliki penghasilan jauh dari standar UMP.
Memang ada pekerja kelas menengah dengan gaji diatas UMP  yang juga naik KRL karena kemudahan dalam mencapai rumah dan tempat kerja, pekerja kelas menengah naik KRL sebenarnya cukup tepat karena mengurangi emisi karbon bila membawa mobil pribadi mereka ke Jakarta. Selain juga mengurangi dampak kemacetan. Maka sebelumnya ada wacana tarif KRL berdasarkan NIK yang kalau diterapkan akan menyulitkan dalam penerapan. menggunakan  NIK belum tentu bisa mendapatkan data yang tepat. Seperti kasus BBM bersubsidi yang sampai saat ini belum bisa diterapkan.Â