Mohon tunggu...
Novaly Rushans
Novaly Rushans Mohon Tunggu... Relawan - Relawan Kemanusian, Blogger, Pekerja Sosial

Seorang yang terus belajar, suka menulis, suka mencari hal baru yang menarik. Pemerhati masalah sosial, kemanusian dan gaya hidup. Menulis juga di sinergiindonesia.id. Menulis adalah bagian dari kolaborasi dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pembeli Palsu, Apakah Termasuk Gangguan Kesehatan Jiwa?

27 Agustus 2024   11:08 Diperbarui: 27 Agustus 2024   11:10 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berbelanja di supermarket (sumber : via Kompas.com)

Dulu, saat saya masih bekerja di sebuah departemen store. Tiap hari selalu saja ada keranjang belanja yang berisi penuh berbagai macam barang teronggok begitu saja. letaknya tak jauh dari meja kasir.

Kalau dilihat dari keranjang belanja tak bertuan ini , seperti orang yang tidak jadi berbelanja. Entah karena apa. Awalnya, saya menganggap hal ini dilakukan oleh orang iseng yang tidak bertanggung jawab. Pelakunya nampaknya memanfaatkan situasi toko yang sedang ramai.

Zaman itu kecanggihan kamera pengintai, CCTV masih sangat langka. Mungkin hanya institusi keamanan yang memiliki alat ini. Tidak seperti sekarang CCTV mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Maka untuk mengetahui pelakunya cukup sulit. Karena jumlah karyawan toko terbatas dan lebih fokus ke pelayanan kepada  pembeli. Jadi, pelaku yang berpura pura belanja, mengambil berbagai macam barang  lalu menaruhnya di keranjang belanja tidak pernah tertangkap.

Dari sisi hukum pelaku belum bisa dijerat pasal hukum pidana selain  hanya mengganggu aktivitas pekerjaan toko. Pelaku tidak masuk dalam kategori mencuri. Ia hanya berpura pura belanja tanpa datang ke meja kasir untuk membayar. Setelah keranjangnya penuh, si pelaku akan meninggalkan saja keranjangnya di lokasi yang sepi.

Hal ini juga terjadi di toko supermarket kami, waktu itu selain menjual barang fashion, aksesoris , tas dan sepatu. Di Lantai bawah kami menjual barang barang kebutuhan harian (consumer goods). Kejadian kereta belanja penuh dengan barang teronggok begitu saja juga terjadi. Entah pelakunya sama atau berbeda, tak ada yang tahu.

Akibat perbuatan yang tidak bertanggung jawab ini menjadi tambahan pekerjaan buat karyawan toko untuk mengembalikan barang barang ke raknya kembali. Dan hal itu mengambil jam kerja. Kami hanya bisa mengomel sendiri dan kesal karena mengembalikan barang ke raknya kembali bukan pekerjaan mudah . Harus melihat kode item barang. 

Kejadian ini masih terus terulang kembali, biasanya terjadi di akhir pekan dan awal bulan saat toko sedang ramai.  Uniknya , pelaku cukup licin sehingga belum pernah tertangkap. Sepertinya sangat paham situasi toko dan kapan ia harus meninggalkan keranjang belanjaannya. Saya menamakan ulah tak bertanggung jawab dengan istilah 'Pembeli Palsu'.

Beruntungnya saya pindah tugas ke kantor pusat sehingga kekesalan mengembalikan barang karena ulah si Pembeli Palsu tak pernah saya rasakan lagi. Tapi peristiwa ini masih terulang, itu yang saya dengar dari teman yang masih bertugas di toko.

Pembeli Palsu Di Era Digital

Peristiwa pembeli palsu zaman dulu saat internet belum secanggih saat ini, handphone masih menjadi barang mahal dan hanya dimiliki orang orang tertentu saja. Kini masih tetap terjadi dalam bentuk lain.

Pelakunya tidak seperti dulu, mengumpulkan barang seolah olah sedang berbelanja namun tidak pernah ke meja kasir. kalau saat ini pelakunya ikut rebutan barang (war) di live shopping lalu ikut ikutan membeli, melakukan 'fix' ikutan 'screenshot'. Seolah olah menjadi pembeli tapi ketika diminta 'close order' dan membayar , pelaku hilang bak ditelan bumi.

Kelakuan menyebalkan ini sering disebut 'PHP' , pemberi harapan palsu. Namun ada juga yang lebih menyebalkan, ketika barang dikirim dengan metode COD, si pembeli juga tak mau membayar dan juga hilang entah kemana.

Kelakuan pembeli palsu ini sangat membuat kesal para seller, sudah capek capek live berjam jam eh malah kena prank, kena PHP. Pelakunya seperti sengaja membuat banyak akun untuk tetap bisa ikut live. Mereka memanfaatkan situasi ramai saat terjadi penawaran. 

Dampak kerugiannya bagi seller, barang yang seharusnya laku terjual akhirnya tertahan. Jalan tengahnya, dibuat waiting list (WL).  Bila si orang pertama tidak close order dan tidak bayar dalam waktu yang ditentukan akan diberikan kepada orang kedua yang ikut 'fix'. 

Hal ini mungkin bisa membantu namun tetap menjadi pekerjaan tambahan, karena si seller harus menghubungi pembeli kedua yang prosesnya bisa memakan waktu. Adakalanya si pembeli kedua sudah tidak berminat lagi. Si Seller harus menghubungi pembeli ketiga untuk menawarkan barang yang, cukup merepotkan.

Pembeli palsu di era digital nampaknya punya motif tertentu melakukan fake buyers. Entah ada unsur persaingan bisnis, entah karena iseng, entah karena dibayar oleh pihak tertentu atau karena gangguan kesehatan jiwa. Alasannya bisa bermacam macam.

Dalam artikel ini saya akan membahas kemungkinan orang melakukan pembelian palsu karena gangguan kesehatan jiwa. Hal yang ternyata mungkin terjadi, seseorang merasa puas bila mendapat sensasi berbelanja. Berlaku seakan akan memiliki uang banyak dan bisa membeli semuanya.

Dengan keranjang belanja ia berkeliling mengambil barang, terus berlaku sebagai pembeli yang sedang memborong barang. dengan melakukan hal ini, kesenangan yang didapat, merasa puas. gangguan kesehatan jiwa seperti ini disebut compulsive buying disorder. 

Pembelian bisa palsu dengan benar benar tidak berniat membayar atau mungkin melakukan pembayaran namun tidak jelas untuk apa pembelian dilakukan. Hanya memenuhi dorongan keinginan yang tidak terkendali.

Gangguan kepribadian borderline (Borderline personality disorder) juga bisa melakukan pembelian palsu karena seringkali mengalami ketidakstabilan emosi yang ekstrim. yang mendorong pelaku melakukan tindakan impulsif. Merasa ketika berbelanja banyak layaknya sultan, kebahagian palsu yang didapat.

Ditengah himpitan kesulitan ekonomi, perasaan tak dihargai karena kemiskinan kadang membuat orang melakukan tindakan impulsif. Seolah olah menjadi orang yang mampu berbelanja di tempat tempat mewah.

Pembeli palsu bisa juga dilakukan oleh orang yang dulunya kaya raya, mampu membeli barang yang ia mau. Namun saat jatuh, kekayaan hilang, kekuasaan menjauh, orang orang kepercayaan menarik diri. Ia kehilangan diri, masih merasa menjadi orang yang kaya raya, berkuasa. Sehingga ia melakukan tindakan impulsif dengan berbelanja banyak barang namun tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar. Ujungnya , ia bisa melakukan pembeli palsu. Atau malah bisa terjatuh melakukan pencurian.

Orang orang dengan gangguan kesehatan mental ini perlu mendapatkan bantuan. Melakukan pembelian palsu mungkin hanya salah satu yang  dilakukan. Bisa jadi penderita melakukan hal yang lebih merugikan. Keluarga dekat harus mendampingi dan segera meminta bantuan orang yang berkompeten di bidang kesehatan jiwa.

Pembelian palsu memang merugikan, namun lebih menakutkan bila para penderita tak mendapatkan solusi yang layak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun