Mohon tunggu...
Novaly Rushans
Novaly Rushans Mohon Tunggu... Relawan - Relawan Kemanusian, Blogger, Pekerja Sosial

Seorang yang terus belajar, suka menulis, suka mencari hal baru yang menarik. Pemerhati masalah sosial, kemanusian dan gaya hidup. Menulis juga di sinergiindonesia.id. Menulis adalah bagian dari kolaborasi dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengenali Risiko dan Manfaat Pendidikan Nonformal

12 Juli 2024   15:11 Diperbarui: 13 Juli 2024   03:21 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surya Dharma (sumber: Satu Indonesia ASTRA)

Belajar adalah hak setiap individu yang harus diberikan, tak peduli suku, agama, ras dan apapun latar belakangnya. Miskin, kaya, darah biru, kaum alit harus mendapatkan hak yang setara. Tapi nyatanya, pendidikan bukan barang yang murah. Menjadi mimpi anak-anak pesisir, anak-anak gunung, anak-anak pulau terluar dan terpencil.

Belajar memang seringkali dilekatkan dengan pendidikan. Ia menjadi satu padu. Walau sejatinya pendidikan dan belajar sebuah rangkaian. Ia hadir kala keduanya kawin dan melahirkan sebuah kemanfaatan.

Pendidikan di Indonesia seperti barang mewah yang tidak semuanya bisa menikmati. Walau begitu kuat upaya pemerintah menjalankan pendidikan 9 tahun lalu pendidikan 12 tahun. Anak-anak di Indonesia belum semuanya bisa menikmati.

Tak perlu mengambil contoh nun jauh di Papua, NTT, Maluku atau wilayah terluar, terpencil, dan terlupakan. Di sekitar kita, di tengah kota besar, masih ada anak-anak yang tidak menikmati pendidikan. Putus sekolah dengan alasan klasik: ekonomi susah mencengkeram.

Lalu lahirlah pendidikan nonformal, lahir dari rahim alternatif pendidikan formal. Ia digadang-gadang menjadi jalan keluar pragmatis sekaligus praktis untuk anak-anak yang putus sekolah atau anak-anak yang tidak bisa mengikuti pendidikan formal.

Tentu tak ada curiga, pendidikan nonformal lalu bangkit dengan tertatih tatih, dana terbatas, dilihat sebelah mata. Tapi uniknya ada yang berjuang tanpa dibayar, tanpa pamrih, melawan dengan niat ikhlas. 

Surya Dharma (sumber: Satu Indonesia ASTRA)
Surya Dharma (sumber: Satu Indonesia ASTRA)

Berjuang di Jalan Sunyi

Sekelompok anak-anak muda mengumpulkan buku-buku bekas, lewat sosial media, mereka menawarkan sebuah harapan. Pojok baca sederhana berdiri di sebuah dusun terpencil. anak-anak kecil sibuk berebut buku, mengejanya dengan senyum mengembang.

Saya pernah menulis khusus tentang kiprah seorang anak muda dari Kota Palu, di sebuah tempat bernama Ulujadi. Di Tahun 2018 saya pernah tinggal hampir dua bulan pasca gempa besar yang diikuti tsunami dan likuifaksi.

Namanya Surya Dharma, ia dan istrinya membangun sebuah harapan bagi anak-anak sekitar yang putus sekolah, rata-rata anak-anak ini menjadi buruh kasar sekadar memenuhi kebutuhan dasar, makan minum dan sedikit untuk kebutuhan lainnya.

Surya Dharma mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). latar belakang profesinya sebagai guru, membuatnya memutar otak agar bisa menerima anak-anak yang terlanjur putus sekolah.

Dari teras rumah yang tidak seberapa luas, 2011 adalah tahun dimulainya PKBM yang diberi nama KHATULISTIWA. Surya Dharma tidak sedang bermimpi, tapi ia benar-benar mewujudkannya. 

Diawal tak banyak yang mau ikut, hanya beberapa gelintir yang percaya. Motifnya masih coba coba hingga berjalannya waktu, program Kejar Paket A, B dan C semakin dibutuhkan.

PKBM Khatulistiwa juga memberikan ruang baca gratis dan pelatihan ketrampilan yang kelak dibutuhkan anak-anak yang ada disekitar rumahnya. Surya Dharma tak patah arang walau keterbatasan fasilitas yang ada. Semuanya dilakukan dengan tekad mulia yang tak mau menyerah.

Risiko Besar dari Memperjuangkan Pendidikan Nonformal

Di Papua, tepatnya di Manokwari Selatan Distrik Ransiki di dusun Kobrey, ada seorang gadis pemberani asal maluku yang rela berjibaku memberikan pendidikan nonformal untuk anak-anak wanita dan para ibu suku Arfak. Salah satu suku terbesar di Papua

Risna Hasanudin, ia memilih jalan sunyi yang nyaris tak pernah diikuti gadis sebayanya yang lebih memilih bekerja di kota kota besar dengan fasilitas lengkap. Ia rela berjuang sendirian jauh dari rumahnya di Pulau Banda Naira.

Bahaya keselamatan mengancam, ia hampir menjadi korban tindak perkosaan dan kekerasan. Risma juga pernah dipukul hingga wajahnya lebam. Sebuah hal yang mengerikan. Tapi Risna tak bergeming. Ia tetap bertahan dan meneruskan upayanya memberikan pendidikan keterampilan. 

Risma membangun pendidikan nonformal yang diberi nama Rumah Cerdas Arfak. Sasaran awalnya adalah membuka pola pikir suku Arfak yang sudah terbiasa di alam bebas. Suku yang biasa hidup di puncak puncak Gunung ini tak terbiasa dengan pendidikan formal, duduk dibangku sekolah.

Kebaikan alam telah memenuhi semua kebutuhan Suku Arfak. Sehingga bagi anak-anak suku Arfak terutama yang wanita, pendidikan formal hampir tak pernah dirasakan. Sekedar bisa membaca dan menulis sudah sebuah keajaiban.

Risma membuka kelas kelas sederhana di rumah ketua suku yang saat itu baru berumur 27 tahun. Untuk anak-anak dan kaum wanita dewasa, para mama, Risma mengajari membaca, menulis dan menambahkan keterampilan membuat kerajinan sehingga layak dijual dengan harga yang pantas.

Kerajinan Tas Noken yang biasanya dihargai paling mahal Rp 50 ribu kini bisa dipasarkan hingga Rp 200 ribu. Jangkauan pasarnya pun jauh lebih luas berkat dipasarkan melalui sosial media. Risma terus berupaya memberikan bukti kemajuan agar semakin banyak anak suku Arfak mau menerima pendidikan.

Kesabaran Risma akhirnya berbuah manis, satu per satu anak-anak Suku Arfak bisa membaca, buku-buku kini menjadi hal yang biasa mereka bawa. Pengetahuan tentang dunia luar mulai merambah. keinginan berubah mulai tumbuh subur.

Pendidikan Nonformal Bisa Menjadi Penyelamat 

Remaja tak lulus sekolah dasar itu kini menjadi seorang bos di sebuah bisnis konstruksi rumah tinggal. Penghasilannya sudah mencapai ratusan juta, anak buahnya puluhan orang yang bekerja mulai dari kuli, tukang hingga arsitek dan insinyur sipil. 

Perusahaannya walau bukan perusahan besar tapi bisa membuka peluang kerja untuk banyak orang. Ia sadar bila saja 15 tahun lalu tak belajar pendidikan nonformal entah apa yang ia rasakan. Pendidikan didapatkan dari pelatihan yang diadakan secara praktek. ditambah ia rajin belajar secara otodidak.

Balai Latihan Kerja (BLK) menjadi salah satu harapan untuk belajar keterampilan praktis, Lembaga Kursus dan Pelatihan bisa menjadi solusi bagi yang tidak mampu kuliah. Ditengah gonjang ganjing naiknya UKT dan mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi.

Pendidikan dari manapun asalnya tetaplah memberikan manfaat, ia menjadi alat untuk berkembangnya peradaban manusia. Mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan teknis namun jangan lupa pendidikan moral dan akhlak menjadi hal penting yang jangan sampai terlupakan.

Negara melalui pemerintah menggunakan semua alat birokrasinya yang ada seharusnya aktif dalam perannya. memastikan anak-anak bangsa mendapatkan hak yang sama dalam mengenyam pendidikan. 

Pendidikan yang mampu dijangkau dengan mudah, murah dan adil. Baik pendidikan formal dan nonformal. Keduanya akan saling melengkapi, menguatkan, dan memberikan manfaat besar. 

Membuat Rumah Baca Pintar

Saya sempat membuka perpustakaan di rumah, dan saya buka untuk umum. Ini saya buat karena ada beberapa teman menitipkan buku buku. Ditambah koleksi pribadi, saya pernah hitung sampai 1100 judul buku.

Dengan menambahkan rak buku, meja dan alas untuk lesehan jadilah Rumah Baca Pintar saya buat. Untuk menarik minat baca, saya buatkan flyer ke beberapa tempat strategis. Juga ke beberapa grup WA di perumahan.

Hasilnya belum maksimal, pengunjungnya rata-rata anak-anak. Koleksi buku anak-anak saya terbatas sehingga sering membuat anak-anak cepat bosan. Kebanyakan koleksi buku pribadi rada-rada berat dan tebal. 

Satu masalah yang paling utama, saya sering keluar kota saat itu, Rumah Baca sering tutup. Bisa berminggu-minggu kalau saya keluar kota. Faktor inilah yang membuat Rumah Baca akhirnya sepi peminat.

Tapi saya tetap senang bisa membuat Rumah Baca, sampai hari ini rumah baca sebenarnya masih tetap buka. tapi karena lokasinya pindah ke rumah depan. Anak-anak atau calon pengunjung rada rada segan. Perlu lokasi yang lebih terbuka. Dan satu lagi saya belum bisa meminjamkan buku, jadi harus baca ditempat. Banyak buku tidak pernah kembali bila dipinjamkan teman. (mungkin lupaaa) 

Salam Bahagia...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun