Kenang-kenangan Saya untuk Toko Gunung Agung
Wilayah Kwitang seperti tempat bermain untuk saya. Rumah saya dulu berada di Kemayoran, tepatnya di Kelurahan Harapan Mulia. Hanya butuh berjalan kaki sekitar 1,5 km saja. Saat itu saya masih masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Hampir setiap minggu saya bersama tiga teman sebaya mengunjungi wilayah Kwitang. Motifnya sebenarnya ada dua. Dua teman saya penggemar berat permainan Ding Dong dan dua lainnya penggemar buku. Saya termasuk penggemar buku. Membaca adalah hobi saya yang telah ada sejak saya bisa membaca kata per kata.
Maka sejak bisa membaca, saya sangat gemar dengan semua hal yang berbau tulisan. Koran bekas pembungkus cabe saja akan saya baca dengan tuntas. Kehausan bahan bacaan akhirnya menemui obatnya ketika saya mengenal buku, termasuk Ketika saya mengenal toko buku.
Salah satu toko buku favorit saya adalah Toko Buku Gunung Agung yang berada di Kwitang. Karena di toko buku modern itulah saya bisa membaca buku gratis tanpa diusir petugas toko. Syaratnya asal jangan duduk di lantai. Saya harus kuat berdiri selama membaca gratis di Toko Buku Gunung Agung. Buku yang menjadi favorit saya adalah komik serial Mahabrata dan Ramayana. Kisah tentang Sugriwa, Pandawa , Kurawa, Rama dan Shinta.Â
Kegemaran membaca saya memang sudah dalam taraf ‘gila’ . Saya bisa betah berdiri dari pagi hingga siang hari untuk membaca buku di Toko Gunung Agung. Saya memiliki lorong khusus untuk membaca. Saya tinggal membawa buku ke lorong tersebut dan membaca dengan tenang. Tak banyak pengunjung yang lalu lalang di lorong itu.
Namun sebelum saya lanjutkan artikel ini saya akan gambarkan suasana pasar buku Kwitang pada tahun 1985 hingga 1991.
Sebutan kwitang sebenarnya lebih merujuk pada nama asal kelurahan di mana pasar buku ini berada. Di Kwitang ini terdapat beberapa tempat yang menjadi pusat keramaian.
 Pertama, setiap pekan ada pengajian Habib Ali Al Habsyi di jalan Kwitang, maka keramaian jamaah yang hadir dari penjuru Jakarta bahkan dari Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok.
Selain pengajian, hadir juga pedagang mingguan sebagai imbas adanya jemaah pengajian. Pedagang ini menjajakan perlengkapan sholat, baju muslim, minyak wangi, buku-buku agama, dan berbagai macam aksesoris muslim lainnya.
Kedua, setiap hari Minggu ada kajian di Masjid Al A’raf di Toko Buku Walisongo (saat ini juga sudah tutup). Pembicaranya rata-rata dinilai berkualitas dan cukup disukai sehingga menarik perhatian anak-anak muda zaman itu.
Ketiga, tentu pasar buku murah yang mengemper sepanjang jalan. Dari simpang lima Senen letaknya persis di seberang eks Bioskop Mulia Agung (Grand). Dulu di sekitar bioskop inilah banyak tempat permainan Ding Dong.
Pasar buku Kwitang sebenarnya lokasi nonpermanen. Penjualnya rata-rata memiliki kios ukuran kecil. Buku yang dijual berbagai genre, baik buku fiksi seperti novel asli Indonesia hingga novel asing, hingga buku kuliah dan buku pelajaran sekolah. Ada buku baru, buku bekas, dan buku bajakan. Untuk yang terakhir biasanya sudah terlihat dari tampilan buku. Saya sendiri bisa membedakan dengan cepat mana buku asli dan mana buku bajakan. Saya lebih memilih buka bekas yang murah, tapi asli, bukan bajakan.
Di antara penjual buku, ada nama yang cukup terkenal di kawasan Kwitang. Namanya toko buku Bang Buyung. Hingga saat ini toko buku Bang Buyung masih ada dan masih menjual buku dan kitab-kitab Islam klasik hingga kontemporer. Selain itu,Toko buku Restu juga termasuk toko buku legendaris. Walau tidak sebesar toko buku Gunung Agung, Toko buku Restu memiliki koleksi cukup lengkap. Sayang ,Toko Buku Restu lebih dulu tutup.
Era Disrupsi , Toko Buku Tutup karena Apa?
Sejak awal abad ke-20, ketika mobil bermesin bensin muncul, zaman kereta kuda lenyap ditelan zaman. Pompa bensin, bengkel mekanik, dan teknologi mesin berbahan bakar fosil pun muncul secara bersamaan hingga saat ini.
Di abad ke-21, giliran teknologi berbasis listrik mulai menggantikan mesin berbahan bakar fosil. BBM yang semakin mahal dan langka akhirnya akan segera tergantikan oleh mesin yang ditenagai baterai litium yang bisa diisi ulang. Isu polusi dan lingkungan menjadi alasan mulai ditinggalkannya teknologi BBM berbasis fosil. Zaman berganti, teknologi berubah.
Sejak mesin cetak ditemukan oleh Johanes Gutenberg, perkembangan buku cetak berkembang. Berabab-abad buku menjadi bagian penting dari peradaban manusia. Ide dan gagasan pikiran dituangkan dalam buku massal yang dicetak para penerbit dan diperjualbelikan melalui toko buku.
Karya-karya besar dituliskan dalam buku sehingga menjadi bahan referensi yang akan menguatkan pola berpikir. Buku cetak memang telah digantikan oleh dokumen digital, e book, e paper dan segala bentuk manuscript yang mampu disimpan di ‘awan’ digital. Buku cetak mengalami perubahan, bukan karena ada substitusi bentuk digital, tapi perubahan cara membaca orang zaman ini.
Perbincangan buku cetak versus buku digital pernah dilakukan secara serius di sebuah acara di Kompasiana saat gelaran Pameran Buku di Istora Senayan. Hasilnya tidak semua kalangan menyukai buku digital dan sebagian orang memang berpindah membaca buku digital. Untuk kalangan orang seperti saya yang masuk kategori ‘kolonial’ ,membaca buku dengan cetakan kertas lebih saya sukai.
Saya biasa membawa 1-2 buku ke dalam tas sebagai teman di perjalanan. Saya bisa menandai bab dan halaman berapa poin penting yang akan saya kutip. Dengan memegang fisik buku, saya merasa lebih nyaman ketimbang membaca e-book. Tapi Ini tentu pilihan masing masing, untuk generasi milenials buku digital lebih praktis dan lebih fun.
Kembali ke sub judul artikel ini, Toko Buku tutup lebih karena tidak mampu adaptif dan kreatif dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Beban operasional tidak tertutupi karena pelanggan atau pembeli beralih menggunakan aplikasi marketplace yang menawarkan harga murah, mudah dan tak perlu keluar rumah.
Saya jadi ingat apa yang dilakukan perusahaan retail Matahari Departemen Store ketika dihantam marketplace. Limbung karena penjualan turun, yang dilakukan adalah membuka marketplace matahari.com. Di aplikasi ini Matahari berperan sebagai toko online dengan barang-barang yang ada di tokonya.
Seperti yang juga dilakukan perusahan jasa transportasi Blue Bird, armada taksinya mengalami tekanan luar biasa. Pendapatan menurun, Uber, Grab, GoCar menyerbu sehingga pelanggan berpindah menggunakan aplikasi transportasi online.
Blue Bird merubah strategi dengan mengembangkan aplikasi online dan ikut bermitra dengan Gojek sehingga dari persaingan malah berubah menjadi kemitraan.
Perusahaan tetap beroperasi dan para pekerja (supir) tetap mendapatkan pendapatan. Begitulah era disrupsi. Siapa yang mampu melakukan adaptasi dan siap melakukan perubahan, maka bisnis masih tetap bertahan.
Saya menduga, Toko Buku Gunung Agung tidak berhasil mengatasi beban operasional dan tidak mampu mengikuti perkembangan era digital dan tidak bisa melakukan perubahan dalam marketing.
Kenangan saya membaca buku gratis di Toko Gunung Agung masih saya ingat dengan baik. Dari toko besar inilah saya mengenal banyak novel dan buku bacaan lainnya. Berdiri dengan mata tetap fokus pada buku, sambil sesekali melirik satpam yang datang bolak-balik.
Saya sesekali juga membeli peralatan sekolah di Toko Gunung Agung karena tampilannya keren dan tidak ada di toko buku kecil. Saya mengoleksi buku karya Hilman yang terkenal, Lupus .
Saya juga selalu menyempatkan ke toko buku setiap kali keluar kota. Biasanya saya akan membeli satu buku sebagai souvenir dan bukti saya pernah datang ke kota ini dengan menuliskan di halaman pertama buku yang saya beli.
Salam BahagiaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI