Pengalaman Pertama naik LRT, Â Ini Catatan Saya.
Pagi sekali saya berangkat dari rumah , Commuterline favorit saya sudah ngetem di jalur 1. Walau masih gelap namun suasana stasiun sudah ramai. Sepeda motor berseliweran memasuki parkiran. Seperti tak putus putus. Sebagian memarkir sepeda motornya di halaman stasiun. Sebagian memarkir di tempat parkir yang disediakan secara mandiri oleh beberapa tempat penitipan.
Karena saya hafal jadwal commuterline  maka saya sudah stand by 5 menit sebelum pintu commuterline di tutup. Mepet tapi sudah terukur sehingga saya tak perlu menunggu terlalu lama di stasiun. Kebetulan  hari ini saya memiliki kegiatan di Jatibening Bekasi.
Setelah mendapat info bila lokasi acara bisa dijangkau menggunakan LRT maka ini menjadi kesempatan saya menjajal moda transportasi  yang baru diresmikan Presiden Jokowi beberapa hari yang lalu. LRT sendiri bukan moda transportasi baru, LRT sudah dibangun saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games pada tahun 2018. LRT dibangun antara Velodrome Rawamangun ke Kelapa Gading di Jakarta.
LRT juga dibangun di Palembang dari kompleks olahraga di Jakabaring menuju kota Palembang. Sebagai moda transportasi  para atlit dan official yang berlaga di ajang Asian Games. Ajang yang kembali diadakan di Indonesia , terakhir Indonesia menjadi tuan rumah pada tahun 1963 saat Bung Karno menjadi Presiden.
LRT yang saat ini dibangun merupakan jaringan transportasi yang menghubungkan Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodebek). Proyek yang sempat tertunda ini akhirnya diujicobakan selama bulan September.
Operasional LRT sendiri dibawah kendali KAI LRT, jadi wajah LRT akan mengingatkan Ketika naik KRL Commuter. Baik dari petugas on bording dan off bording  akan mirip sekali. Itu yang saya rasakan Ketika berpindah dari stasiun  KAI commuter di  Sudirman ke stasiun LRT Dukuh Atas kita akan merasakan banyak hal yang mirip tapi tak sama.
Mulai dari alat tapping, papan informasi hingga aksesoris lainya banyak kemiripan. Tapi karena teknologi LRT dan Commuterline berbeda , stasiun LRT dilengkapi pembatas untuk keamanan dan keselamatan.
Hal ini sempat saya tanyakan karena cukup menarik, ternyata rel LRT memilki daya listrik yang besar. Jadi sangat berbahaya . Bahkan bila ada benda yang jatuh ke dalam area rel LRT tak bisa diambil hingga menunggu jam 12 malam saat listrik Rel LRT di matikan. Jadi pelajaran penting jangan sampai ada benda terjatuh didalam rel  LRT. Itulah alasan mengapa rel LRT dibangun melayang (elevated).
Tepat jam 07:00 saya tba di stasiun transit Sudirman. Untuk berpindah ke stasiun LRT Dukuh Atas ada dua akses tangga. Tangga manual dan tangga jalan (escalator) yang masih bagian dari jembatan penyeberangan mulitiguna (JPM). Sayang escalator tidak berfungsi pagi itu.
JPM penghubung menuju stasiun Dukuh Atas cukup lebar dan luas sehingga bisa  menempatkan kios UMKM. Berbagai kuliner baik tradisonal dan kuliner kekinian bisa dinikmati, tapi karena saya datang terlalu pagi nampaknya UMKM kuliner belum berjualan. Yang saya temui hanya orang lalu lalang. Padahal kalau melihat jenis kuliner yang ditawarkan sangat menarik.
Perpindahan dari Stasiun Sudirman ke stasiun Dukuh Atas menurut saya cukup lumayan menguras tenaga. Jaraknya lumayan jauh. Saya membayangkan bila lansia atau disabilitas akan menemui kesulitan bila tidak dibantu secara khusus.
Dari JPM yang menghubungkan stasiun commuter Sudirman dan stasiun LRT Dukuh Atas perkiraan saya jaraknya sekitar 200 meteran. Jadi lumayan untuk menambah jumlah langkah kaki hingga 10.000 langkah perhari.
Merasakan LRT Buatan INKA
Stasiun LRT Dukuh Atas adalah stasiun awal dari perjalanan LRT lintas Bekasi dan lintas Cibubur. Stasiun Jatimulya merupakan stasiun terakhir di lintas Bekasi, jaraknya sekitar 27 Km, bisa ditempuh 40 menit  namun saat ujicoba masih 57 menit  karena beberapa hal teknis yang harus dijajal.
Memasuki Stasiun LRT Dukuh Atas saya bisa merasakan nuansa modern namun minimalis.  Kesan ini melihat tampilan stasiun yang didominasi bahan besi yang dirangkai. Dilantai dua tersedia toilet, mushola dan kantor operasional stasiun. Setelah tapping saya hanya perlu melihat papan petunjuk menuju peron yang akan saya tuju.
Papan petunjuk cukup jelas sehingga bagi saya yang baru pertama kali bisa langsung paham dan tak perlu bertanya kepada petugas. Fasilitas untuk naik ke lantai 3 ada tangga manual, tangga berjalan dan lift.
Sebenarnya pengguna LRT bisa memilih masuk dari sisi kanan dan kiri. Hal ini dibuat kemungkinan untuk memecah arus penumpang agar tidak menumpuk di satu sisi. Hal yang bagus menurut saya.
Karena saya akan ke arah Jatibening , saya harus memastikan LRT yang saya naiki adalah lintas Bekasi. Lampu di peron Dukuh Atas  hidup secara otomastis saat LRT memasuki stasiun dan kembali mati saat LRT meninggalkan stasiun.
Tak menunggu lama LRT menuju Bekasi sudah bergerak memasuki stasiun Dukuh Atas. Ada 6 rangkaian , dengan tampilan depan LRT yang aerodinamis untuk mengurangi tekanan angin saat LRT bergerak maju. LRT segera membuka pintu bersamaan dengan pintu pembatas. Ketepatan berhenti LRT harus presisi.
Tinggi pintu LRT memang tidak terlalu tinggi, bagi orang yang memiliki tinggi 175 cm keatas harus berhati hati bila kepalanya tak mau terpentok bagian atas pintu. Desain pintu LRT kemungkinan mengikuti tinggi rata rata  orang Indonesia. Â
Bagian dalam LRT memang disain dengan kesan mewah. Kursi dilapisi bahan yang cukup nyaman dengan aksen warna biru. Volume ruang dalam LRT terkesan lebih sempit bila dibanding gerbong commuter, terutama bagasi untuk menaruh bawaan diatas kabin. Hanya bisa menyimpan barang atau tas dengan ukuran sedang.
Bahan lantai LRT sepertinya dibuat dari bahan yang agak sulit dibersihkan bila terkena noda, saat saya naik LRT sudah ada bekas noda yang tertinggal di lantai LRT. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus.
Volume Gerbong LRT yang terlihat tidak terlalu besar dengan jumlah tempat duduk yang sangat terbatas. Dengan tampilan arterior  nampaknya LRT akan lebih menyasar ke kalangan menengah. Dengan tiket yang lebih mahal dari KRL Commuter, sebagai informasi tiap kilometer pengguna akan dikenakan Rp 700 dengan tarif tetap di awal Rp 5000. Jadi bila perjalanan menempuh 10 km maka tarif yang dikenakan: Rp 5000 + ( 10 km x Rp 700) maka tarif yang dikenakan Rp 12.000.
Jadi tarif yang berlaku adalah tarif progresif berdasarkan jarak tempuh. Namun karena masih dalam taraf ujicoba, hanya dikenakan tarif dasar Rp 5000 berapapun jarak yang ditempuh.
LRT merupakan produk PT INKA , artinya LRT merupkan produk dirakit oleh anak bangsa sendiri. Teknologi yang dipakai sudah menggunakan teknologi otomatis, sehingga LRT bisa berjalan secara nirawak alias autopilot.
Teknologi LRT memungkinkan jarak antar kereta (headway) bisa 25 meter antar kereta. Namun untuk keamanan KAI LRT saat ujicoba headway antar kereta 10-20 menit. Saat ujicoba masinis tidak duduk dikursi kemudi. Tapi berdiri didalam kabin.
Saya sempat berbincang dengan masinis yang bertugas, ia bertugas untuk bersiaga bila ada malfungsi saat ujicoba, selain masinis ada teknisi khusus dari INKA setiap perjalanan LRT yang juga ikut mengawasi. Sistem LRT memang dikendalikan secara otomatis. Tenaga LRT disuplai dari rel ketiga, bila terjadi pemadaman listrik, LRT masih mampu bergerak hingga stasiun terdekat untuk menurunkan penumpang.
Yang masih mengganggu saat saya naik LRT adalah saat pengereman yang terasa tidak smooth sehingga penumpang LRT akan terdorong ke depan. Bila dalam keadaan penuh penumpang hal ini bisa sangat mengganggu.
Tidak Ada Feeder dan Tidak Ada Kantong Parkir
Isu kemacetan dan polusi udara karena emisi gas buang kendaraan bermotor menjadi bagian penting dari keberadaan LRT di Jabodebek. Sebagai moda transportasi berbasis rel yang tidak mengenal macet dan waktu yang terjadwal. LRT adalah bagian dari solusi penting terhadap dua isu ini.
Stasiun LRT yang saya coba adalah stasiun Jati bening baru dan Stasiun Cikunir 1. Saat turun di Stasiun Jati bening baru, stasiun berada didalam kompleks perumahan , akses keluar menuju jalan utama tertulis 300 meter.
Tak ada transportasi pengumpan (feeder) , entah karena masih taraf ujicoba sehingga belum terpikir integrasi antar moda atau memang seperti ini saja layanan di stasiun LRT. Setelahnya terserah anda…
Saat saya turun di Cikunir 1, stasiun tepat berada di sisi jalan utama. Ini malah berpotensi membuat kemacetan saat beropersi penuh. Badan jalan yang tidak terlalu lebar dan lokasi naik dan turun yang tidak terlalu luas bila tidak diantisipasi akan menjadi biang kemacetan.
Saya juga agak kaget karena Stasiun LRT tidak dilengkapi kantung parkir untuk roda dua dan roda empat. Agak aneh bila ada statement untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan berganti dengan LRT untuk menuju Jakarta. Â Â
Bila harus meninggalkan kendaraan pribadi di rumah maka akan sulit untuk mencapai stasiun. Misal harus mengandalkan  ojek online hal ini sangat tidak efektif, selain menambah biaya juga waktu yang menjadi lebih lama karena ada waktu tunggu kendaraan ojek online tiba.
Membangun system tranportasi seharusnya dilakukan dengan integrasi moda, penyiapan sarana parkir yang memadai. Mengurangi kendaraan masuk Jakarta, maka wajib dibuat kantung parkir di stasiun LRT.
Kalau seperti ini, Â LRT bisa tidak menarik untuk menjadi transportasi massal, selain harganya yang lebih mahal dan harus merogoh kocek kembali untuk biaya transportasi ke stasiun.
 Nah, gimana ? jadi lakukan integrasi moda agar LRT menjadi moda yang dirindukan dan favorit.
Salam Bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H