Mohon tunggu...
Novaly Rushans
Novaly Rushans Mohon Tunggu... Relawan - Relawan Kemanusian, Blogger, Pekerja Sosial

Seorang yang terus belajar, suka menulis, suka mencari hal baru yang menarik. Pemerhati masalah sosial, kemanusian dan gaya hidup. Menulis juga di sinergiindonesia.id. Menulis adalah bagian dari kolaborasi dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemiskinan, Siapa yang Peduli?

24 Juni 2023   07:28 Diperbarui: 24 Juni 2023   07:33 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Kontradiktif Kemiskinan dan Prestasi Infrastruktur (Credit : CNBC)

Namanya Didu (bukan nama sebenarnya) seorang kepala keluarga dengan empat orang anak. Pekerjaannya mangantar air galon. Ia menerima upah Rp 1.000 dari setiap galon air yang ia antar ke rumah pelanggan.Penghasilannya sehari tak lebih dari seratus ribu rupiah. Tergantung seberapa banyak galon yang ia antarkan. Kalau diambil rata rata penghasilan Didu sehari  sekitar enam puluh  ribu rupiah sudah dengan uang makan sebesar sepuluh ribu

Sementara sang Istri bekerja disebuah perusahaan garmen rumahan yang setiap hari diupah lima puluh ribu rupiah. Anak yang paling besar yang baru lulus SMA ikut bekerja di rumah isu ulang air bersama sang bapak. Gajinya dua ratus ribu rupiah sebulan ditambah uang makan sepuluh ribu per hari.

Jadi bila ditotal pendapatan keluarga Didu untuk 26 hari kerja diperoleh pendapatan sebesar Rp 2.850.000. Kalau dilihat dari besaranya keluarga Didu tidak tergolong keluarga miskin. Walau penghasilnnya jauh dibawah angka upah minimum baik tingkat regional atau daerah.

Untuk pengeluaran rutin sebulan keluarga Didu harus membayar sewa rumah sebesar Rp 500.000, membayar listrik Rp 100.000, konsumsi makan dan minum perbulan Rp 1.800.000, biaya Pendidikan anak karena dua anak masih bersekolah, satu anak besekolah di sekolah dasar negeri bebas biaya sedangkan anak lainnya masih duduk di bangku taman kanak kanak harus membayar SPP  Rp 50.000  . Biaya lain lain termasuk jajan anak Rp 300.000. Total pengeluaran Rp 2.650.000. Secara teori masih ada sisa Rp 200.000.

Keluarga Didu berasal dari Jakarta , mereka terpaksa meninggalkan Ibukota Jakarta karena tak sanggup dengan biaya hidup yang tinggi. Lebih besar pengeluaran ketimbang pendapatan.ketika diJakarta , Didu berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Saat itu sang Istri tidak bekerja.

Tak ada barang mewah dirumah Didu yang menyewa rumah tipe 60 di sebuah perumahan di Kabupaten Tangerang. Sepeda motor pun tak ada. Keluarga Didu masuk dalam kategori rentan miskin.

Keluarga seperti Didu di Indonesia sangatlah banyak. Tidak bisa dikategorikan miskin tapi hidup dalam keadaan kesulitan. Bahkan banyak yang terlilit hutang. Asupan gizi yang tidak mencukupi, Kesehatan yang buruk, rumah yang tidak sehat.

Kantong kemiskinan banyak terjadi di wilayah aglomerasi Jabodetabek. Orang miskin yang 'menyerah' memilih untuk pindah ke wilayah penyangga Jakarta. Mereka memang mengurangi beban ibukota tapi menjadi tak tertangani di wilayah sub urban yang baru.

Bahkan pulau jawa menjadi rumah bagi setengah masyarakat miskin di Indonesia. Kantong kantong kemiskinan yang berada di pulau Jawa.

kantong Kemiskinan ( Foto : Kompas)
kantong Kemiskinan ( Foto : Kompas)

Potret Kemiskinan Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun