Siapa tak kenal Jakarta. Kota gemerlap yang merupakan ibu kota negara kita tercinta, Indonesia. Kota terbesar dan teramai di negeri ini sekaligus menjadi salah satu kota termacet di dunia. Dapat dilihat dari data riset TomTom Traffic Index 7 Januari 2019 pukul 17.23 WIB, di mana kecepatan kendaraan yang melintas di Jakarta 20 km/jam. Sedangkan paling optimal, kecepatan kendaraan yang bisa ditempuh hanya 23 km/jam.Â
Hasil ini selaras dengan data Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang mencatat kecepatan rata-rata lalu lintas 20-21 km/jam, dengan waktu berhenti sekitar 60% dibandingkan waktu bergerak 40%. Sumber kemacetan lainnya adalah proporsi yang tidak berimbang antara pertumbuhan kendaraan bermotor dengan pertumbuhan jalan.
 Menurut data Polda Metro Jaya, pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta setiap harinya mencapai 1,130 unit. Jumlah kendaraan bermotor yang melintas di Jakarta mencapai 11.362.396 unit dengan 98% kendaraan pribadi dan 2% kendaraan umum. Tom Tom Traffic Index menyebutkan bahwa kemacetan paling parah di DKI Jakarta terjadi pada beberapa waktu di antaranya pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 serta sore hari pukul 17.00-18.00.Â
Setiap hari Senin, kemacetan di DKI Jakarta juga bertambah hingga 68%, sementara Jumat menjadi hari paling lengang di pagi hari. Kamis sore menjadi hari paling macet di DKI Jakarta dengan penambahan waktu tempuh hingga 98% dibandingkan hari-hari lainnya.
Hampir setiap tahun, jumlah masyarakat yang berada di Jakarta bertambah. Banyak orang yang ingin mengadu nasib di Jakarta adalah salah satu pemicunya. Berawal dari seorang kepala keluarga dari kampung yang merantau ke Jakarta, kemudian mengajak saudaranya, berikutnya anaknya, berikutnya teman anaknya dan seterusnya membuat Jakarta semakin padat.Â
Kepadatan inilah menjadi salah satu penyebab kemacetan yang tidak kunjung reda. Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil kebijakan strategis dengan membangun Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), pembangunan jalur tambahan Transjakarta, pembatasan 3 in 1 hingga pembatasan kendaraan pribadi melalui sistem Ganjil Genap.Â
Kebijakan tersebut digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan di jalanan kota Jakarta. Dalam ilmu ekonomi, jalan raya dapat dikaitkan dengan barang publik. Yaitu barang yang bersifat non eksludable dan non rivalry. Artinya siapa saja tidak bisa mencegah untuk memanfaatkan barang tersebut (non ekskludable) dan konsumsi seseorang atas barang ini tidak mengurangi peluang orang lain melakukan hal yang sama.Â
Jalan raya di saat lengang disebut sebagai barang publik. Namun apabila jalanan padat/macet, maka jalan raya tersebut dapat disebut sebagai sumber daya milik bersama. Berbeda dengan barang publik, sifat dari sumber daya milik bersama ini adalah non eksludable dan rivalry. Jalan raya yang padat tersedia secara gratis bagi siapa saja yang menggunakannya. Tetapi setiap pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi peluang orang lain untuk menggunakannya.Â
Inilah yang terjadi di kota Jakarta seperti sekarang ini. Kemacetan telah mengurangi peluang bagi orang lain menggunakan fasilitas jalan raya (rivalry). =
Menurut penulis, sikap pemerintah guna mengatasi problem di Jakarta sangatlah serius. Pembangunan berbagai jenis transportasi diharapkan dapat menjadi solusi strategis masyarakat di Jakarta.Â
Namun apakah cukup demikian?. Dengan melihat realita yang ada, kemacetan di Jakarta tidak kunjung mereda. Bahkan terkesan stagnan tidak berkurang justru malah bertambah.
Padahal telah kita ketahui bersama bahwa sudah banyak fasilitas dan infrastruktur yang dibangun untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Seperti adanya TransJakarta yang diimplementasikan sejak tahun 2003, commuter line, pembangunan fly over, under pass di berbagai titik sudah dilaksanakan.Â
Buktinya kemacetan tetap saja terjadi. Solusi atas kemacetan ini hanyalah berbentuk penambahan jenis transportasi.
Lalu bagaimana dengan pembangunan MRT, LRT dan berbagai fasilitas yang baru? Apakah dapat dikatakan sebagai strategi pengulangan sistem yang terdahulu? Semua masyarakat boleh berpendapat ya atau tidak.
Apabila kebijakan pembangunan transportasi ini dapat menekan angka kemacetan di Jakarta, tentu saja kebijakan diambil pemerintah patut diacungi jempol. Namun apabila hasilnya sama saja, tentu kita sebagai masyarakat yang peduli dengan kota Jakarta dapat memberikan aspirasi terbaik kepada negara.Â
Menurut penulis, negara dapat melakukan pengenaan cukai terhadap kendaraan roda empat. Karena mayoritas jalanan Jakarta dipenuhi oleh mobil-mobil pribadi yang menyebabkan kemacetan.
Berbeda dengan pajak, cukai dikenakan pada suatu komoditas karena pegaruh negatif komoditas tersebut terhadap masyarakat dan lingkungan. Atas pengaruh negatif tersebut, diharapkan cukai dapat menekan penggunaan kendaraan roda empat di jalan raya.Â
Secara definisi, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, yaitu: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
 Sejauh ini cukai yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) berupa Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan hasil tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan atau bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.Â
Pemerintah melalui DJBC dapat bekerja sama dengan Pemda DKI dalam hal mengimplementasikan pengenaan cukai ini. Pengenaan cukai dapat dilakukan dengan 2 (dua) kategori. Kategori pertama, berupa pengenaan cukai terhadap kendaraan roda empat bagi kendaraan berplat nomor Jakarta (plat B). Sedangkan kategori kedua, pengenaan cukai yang hanya dilakukan pada kendaraan roda empat berplat nomor luar Jakarta.
 Sistem pemungutannya pun perlu dirancang sedemikian rupa. Misalnya saja pengenaan cukai dapat dilakukan saat pengeluaran dari pabrik/tempat penyimpanan yang secara nyata akan dijual di pasaran Jakarta. Selanjutnya pembeli akan membayar sebesar harga jual kendaraan tersebut yang di dalamnya sudah termasuk cukai.
 Jadi, sifatnya hanya pengenaan cukai apabila akan membeli kendaraan baru di Jakarta. Sedangkan bagi masyarakat yang sudah terlanjur memiliki kendaraan roda empat berplat B, dapat dikenakan cukai sesuai perlakuan kategori kedua. Kategori kedua diperuntukkan bagi kendaraan berplat nomor luar Jakarta, dapat dilakukan pengenaan cukai pada pos-pos tertentu ketika memasuki kota Jakarta.Â
Pengenaan cukai bersifat door to door dan jumlahnya tidak sebesar seperti saat membeli kendaraan roda empat di Jakarta. Mekanisme ini merupakan salah satu contoh yang dapat dilakukan pemerintah, jika memang inovasi tersebut dapat diterima.
Selanjutnya, pemerintah dapat melakukan pertimbangan tertentu untuk merumuskan kebijakan yang paling tepat dimasa mendatang.
Keuntungan Pengenaan Cukai
Dalam setiap kebijakan baru, biasanya pemerintah akan memperoleh pro dan kontra dari masyarakat. Tapi kita wajib meyakini bahwa kebijakan yang diambil, pasti telah melewati berbagai kajian dan pertimbangan para pakar analisis. Apabila keuntungan yang didapat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan, maka kebijakan tersebut akan tetap dilaksanakan.
 Begitu sebaliknya, apabila biaya yang dikeluarkan lebih besar atau bahkan merugikan daripada keuntungan yang diperoleh, maka kebijakan tersebut bisa saja ditolak. Itulah pentingnya menyusun cost and benefit analysis.Â
ika dikaitkan dengan kebijakan yang dibahas di atas, tentu sangat menarik dalam "mengintip" keuntungan apa saja yang dapat diperoleh dari pengenaan cukai kendaraan roda empat.Â
Pertama, tentu saja kemacetan kota Jakarta dapat berkurang, karena masyarakat akan berpikir ulang untuk membeli kendaraan baru. Sehingga jumlah kendaraan roda empat tidak bertambah.
Kedua, menciptakan paradigma baru kepada masyarakat bahwa penggunaan transportasi umum akan lebih hemat, lebih nyaman, dan lebih tepat waktu dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Ketiga, meskipun sejatinya cukai hanya untuk membatasi penggunaan kendaraan, namun juga dapat menambah devisa negara akibat dari pemungutan cukai.
Keempat, apabila kemacetan berkurang, penggunaan kendaraan roda empat berkurang, dapat menciptakan pengurangan polusi udara di Jakarta.
Kelima, dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran di Jakarta. Karena pemerintah akan membutuhkan pegawai yang betugas untuk memungut cukai bagi kendaraan roda empat.Â
Semoga solusi ini dapat memberikan ide baru bagi kemacetan di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta. Semangat Perubahan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H