Mohon tunggu...
M. Nova Burhanuddin
M. Nova Burhanuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya mahasiswa yang sedang menempuh studi keislaman di Universitas Al-Azhar Mesir. Semoga Kompasiana ini dapat menjadi wadah untuk berbagi informasi dan pengetahuan yang menarik dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Berbudaya Lokal Bervisi Global

26 Agustus 2016   05:21 Diperbarui: 26 Agustus 2016   07:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menuju ke arah kerjasama strategis itu dibutuhkan syarat utama, yang tanpanya globalisasi Asia-Afrika hanya jadi abu di tanah sendiri sementara apinya dibawa lari ke luar negeri. Apa syarat itu? Pemerataan pendidikan ke seantero jagad Nusantara, sehingga kekokohan lokal direngkuh sebelum bersaing dengan lokalitas lain dari luar. 

Kepercayaan pada lokalitas unggul ini sangat penting, karena sebenarnya tak ada budaya yang benar-benar global, yang sendirian mempengaruhi dunia. Yang terjadi sesungguhnya lokalitas yang sedemikian rupa dibuat global sebagai nilai tawar tinggi. Sementara nilai universal yang hakiki ada di luar itu, yakni berada pada kesadaran fitrah (primer) yang mana semua manusia ras apapun merasakannya. Jadi memang beda antara lokalitas yang mengglobal dengan nilai universal yang hakiki. Kini jelas sudah bahwa lokalitas Indonesia punya kelayakan dan nilai tawar yang berpotensi mengglobal.

 Pemerataan pendidikan tak boleh ditunda-tunda lagi. Demi efektivitasnya, ia harus diiringi semangat jatidiri yang unggul. Pelajaran muatan lokal diharuskan, jamnya ditambah lagi. Ekstrakurikuler berbasis budaya lokal digiatkan. Semangat berbahasa daerah (disamping penguasaan bahasa asing yang cukup) yang lengkap dengan tata kramanya harus dibudayakan kembali. Semangat cinta negeri yang pernah disemarakkan oleh Presiden Soeharto perlu didaur ulang lagi—meskipun warisan kultur koruptif tak boleh lagi diampuni.

Dalam hal pelestarian budaya, Indonesia perlu belajar dari Jepang. Kita perlu mempelajari bagaimana Jepang maju tanpa kehilangan identitas ketimurannya. Terlepas dari dampak kapitalisme yang juga menggerogoti, Jepang jadi model keberhasilan menggabungkan kemoderenan dengan identitas yang khas. 

Proses penebalan identitas diri itu, seiring berjalannya waktu, diharapkan mampu mendidik kemandirian bangsa. Sehingga usaha apapun yang bersifat global secara natural bisa terintegrasi dengan keunggulan budaya lokal, lengkap dengan pertimbangan zaman dan filter budayanya. Hasilnya, kemajuan budaya lokal yang bervisi global.

Dengan semangat “Latar Lokal Visi Global” tersebut, kerjasama regional dan global bisa digenjot. Seperti kerjasama dengan Malaysia dalam pelestarian budaya satu rumpun. Dengan India dalam kajian hadis. Dengan Jepang dalam pengembangan teknologi. Dengan Mesir dalam kajian keislaman. Dengan Turki dalam seni rupa Islam. Dengan Yaman dalam dakwah Islam. Dengan Arab Saudi dalam ekspor-impor migas. Dengan Iran dalam kajian filsafat Islam klasik. Kemudian dengan Belanda dalam kajian sejarah Nusantara dan pengembangan teknologi keairan. Dengan Jerman dalam kajian filsafat Barat dan pengembangan teknologi. Dengan Perancis dalam kajian filsafat dan inovasi fashion. Dengan Rusia dalam inovasi teknologi perang. Dengan Amerika dalam pengembangan jurnalistik. Dan seterusnya.

Maka cita-cita Nusantara Jaya bukan isapan jempol semata. Ia punya bahan baku yang cukup untuk itu. Ia punya praktek sejarah masa lalu. Ia punya anugerah alam yang tak terperikan. Ia punya SDM yang melimpah ruah. Lalu reformasi pendidikan diperjuangkan dan diperbaiki terus-menerus. Sehingga kemajuan tanpa keterpengaruhan yang merusak bisa dinantikan.[] 

Kamar, Husein, Kairo, 3 Ramadhan 1436/20 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun