Oleh: M. Nova Burhanuddin
Kita beruntung jadi bangsa Indonesia. Dengan segala kekayaan alamnya dan posisi strategisnya. Dengan segala banjir manusianya, kelapangan dadanya, dan keramahan senyumnya. Kita seharusnya merasa beruntung jadi bangsa Indonesia. Tidak banyak negeri seberuntung Indonesia. Kelebihan di suatu aspek ternyata kekurangan di aspek lain. Tapi Indonesia tidak. Ia bahkan dianugerahi keseimbangan yang menakjubkan. Cukuplah kita coba berlibur ke Eropa, Amerika, atau Timur Tengah, kita akan membuktikannya dengan mudah.
Keberuntungan itu begitu terasa. Maka pernah beberapa tahun lalu, ketika membaca Hayy bin Yaqzhân, novel klasik Arab yang sangat fenomenal itu, yang dimulai dengan uraian keajaiban tanah yang bisa melahirkan manusia tanpa ibu tanpa ayah, penulis dengan mudah berteriak, “Ini Indonesia!” Bacalah, bagaimana Ibn Thufail menyihir pembaca dengan pemujaannya pada alam; alam indah nan sempurna; begitu sempurna hingga bisa melahirkan seorang manusia tanpa proses biologis; tak lain berkat kesempurnaan alam di bawah khatulistiwa, yang iklimnya sangat moderat, curah hujan yang tinggi, variasi tumbuhan dan hewan yang mengherankan, dan kekayaan tambang dan mineral yang tak terkirakan.
“Ini Indonesia!”
Tapi tentu saja itu hanya cerita yang kebenaran dan kebohongannya perlu dibahas lagi. Atau kita biarkan saja hanya imaji.
Tapi anugerah Indonesia bukan basa-basi!
Begitu juga soal pendidikan. Kemampuan Indonesia dalam menyerap pendidikan tak bisa dianggap enteng. Prestasi anak negeri dalam bidang apapun di kancah internasional gampang ditemui. Mulai dari yang eksakta, hingga yang sosial, apalagi yang keagamaan. Tak bisa dibilang lemah, sesungguhnya. Mungkin hanya soal pemerataan pendidikan yang merupakan gejala umum semua negara miskin dan berkembang dalam sirkulasi globalisasi yang seringkali kejam. Karena itu strategi pendidikan dalam kancah global perlu dikembangkan.
Kesadaran globalisasi menjadi kunci. Kesadaran akan perubahan cepat yang dialami semua negara di belahan dunia manapun akibat dunia yang semakin mengglobal, populer, terhubung satu sama lain seolah satu desa kecil saja. Tentu saja perubahan itu membawa serta nilai plus-minusnya. Dan ini kerap luput disadari.
Bagaimana inovasi pendidikan nasional di kancah global? Yang paling penting adalah dengan mempertahankan identitas asli lokal yang luhur. Tanpanya, kebanggan nasional yang berakar dari kejayaan lampau yang gilang-gemilang akan luluh lantak. Indonesia punya modal sejarah kemajuan zaman Sriwijaya, Majapahit, Samudera Pasai, dan Demak yang pengaruhnya konon menembus rangkaian jalur sutra. Agus Sunyoto, penulis Atlas Walisongo, bahkan menyebut pengaruh kejayaan Nusantara mencapai Hawaii di ujung Timur dan Madagaskar di ujung Barat. Sejarah kejayaan lokal ini tentu bisa menumbuhkan rasa percaya diri di zaman global ini.
Lokalitas unggul yang mau dibuat global inilah modal utama Indonesia untuk berbicara banyak di kancah Asia-Afrika. Kemudian menjalin kerjasama dengan negara-negaranya. Merekalah negara-negara pertama yang perlu dirangkul sebelum bersaing dengan Eropa dan Amerika. Strategi inilah yang dulu digelorakan Bung Karno dengan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Dan sampai kini masih dikembangkan dengan kerjasama-kerjasama baru yang lebih strategis.
Prioritas ini melihat banyak kesamaan yang ada pada Asia-Afrika. Di antaranya, kesamaan sebagai negara-negara terjajah Eropa. Meskipun begitu, modal untuk merdeka dan bangkit itu begitu besar. Seperti fakta bahwa Asia-Afrika merupakan benua turunnya agama-agama dan nabi-nabi besar, tempat di mana peradaban besar dunia muncul. Asia sebagai benua terbanyak penduduknya, punya potensi alam yang menggelegar. Bahkan merupakan benua paling meningkat ekonominya beberapa dekade terakhir, seperti terlihat pada Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, India, Malaysia, juga Indonesia.
Menuju ke arah kerjasama strategis itu dibutuhkan syarat utama, yang tanpanya globalisasi Asia-Afrika hanya jadi abu di tanah sendiri sementara apinya dibawa lari ke luar negeri. Apa syarat itu? Pemerataan pendidikan ke seantero jagad Nusantara, sehingga kekokohan lokal direngkuh sebelum bersaing dengan lokalitas lain dari luar.
Kepercayaan pada lokalitas unggul ini sangat penting, karena sebenarnya tak ada budaya yang benar-benar global, yang sendirian mempengaruhi dunia. Yang terjadi sesungguhnya lokalitas yang sedemikian rupa dibuat global sebagai nilai tawar tinggi. Sementara nilai universal yang hakiki ada di luar itu, yakni berada pada kesadaran fitrah (primer) yang mana semua manusia ras apapun merasakannya. Jadi memang beda antara lokalitas yang mengglobal dengan nilai universal yang hakiki. Kini jelas sudah bahwa lokalitas Indonesia punya kelayakan dan nilai tawar yang berpotensi mengglobal.
Pemerataan pendidikan tak boleh ditunda-tunda lagi. Demi efektivitasnya, ia harus diiringi semangat jatidiri yang unggul. Pelajaran muatan lokal diharuskan, jamnya ditambah lagi. Ekstrakurikuler berbasis budaya lokal digiatkan. Semangat berbahasa daerah (disamping penguasaan bahasa asing yang cukup) yang lengkap dengan tata kramanya harus dibudayakan kembali. Semangat cinta negeri yang pernah disemarakkan oleh Presiden Soeharto perlu didaur ulang lagi—meskipun warisan kultur koruptif tak boleh lagi diampuni.
Dalam hal pelestarian budaya, Indonesia perlu belajar dari Jepang. Kita perlu mempelajari bagaimana Jepang maju tanpa kehilangan identitas ketimurannya. Terlepas dari dampak kapitalisme yang juga menggerogoti, Jepang jadi model keberhasilan menggabungkan kemoderenan dengan identitas yang khas.
Proses penebalan identitas diri itu, seiring berjalannya waktu, diharapkan mampu mendidik kemandirian bangsa. Sehingga usaha apapun yang bersifat global secara natural bisa terintegrasi dengan keunggulan budaya lokal, lengkap dengan pertimbangan zaman dan filter budayanya. Hasilnya, kemajuan budaya lokal yang bervisi global.
Dengan semangat “Latar Lokal Visi Global” tersebut, kerjasama regional dan global bisa digenjot. Seperti kerjasama dengan Malaysia dalam pelestarian budaya satu rumpun. Dengan India dalam kajian hadis. Dengan Jepang dalam pengembangan teknologi. Dengan Mesir dalam kajian keislaman. Dengan Turki dalam seni rupa Islam. Dengan Yaman dalam dakwah Islam. Dengan Arab Saudi dalam ekspor-impor migas. Dengan Iran dalam kajian filsafat Islam klasik. Kemudian dengan Belanda dalam kajian sejarah Nusantara dan pengembangan teknologi keairan. Dengan Jerman dalam kajian filsafat Barat dan pengembangan teknologi. Dengan Perancis dalam kajian filsafat dan inovasi fashion. Dengan Rusia dalam inovasi teknologi perang. Dengan Amerika dalam pengembangan jurnalistik. Dan seterusnya.
Maka cita-cita Nusantara Jaya bukan isapan jempol semata. Ia punya bahan baku yang cukup untuk itu. Ia punya praktek sejarah masa lalu. Ia punya anugerah alam yang tak terperikan. Ia punya SDM yang melimpah ruah. Lalu reformasi pendidikan diperjuangkan dan diperbaiki terus-menerus. Sehingga kemajuan tanpa keterpengaruhan yang merusak bisa dinantikan.[]
Kamar, Husein, Kairo, 3 Ramadhan 1436/20 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H