Mohon tunggu...
Naurah Nazhifah Azzahra
Naurah Nazhifah Azzahra Mohon Tunggu... Jurnalis - @nouranazhif

A human who learning to be human and humanize human.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Buku Mengubah Kebijakan Publik Karya Roem Topatimasang, dkk

26 Maret 2020   17:10 Diperbarui: 27 Mei 2020   00:34 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul Buku     : Mengubah Kebijakan Publik (Panduan Pelatihan Advokasi)

Penulis            : Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Toto Rahardjo

Penerbit          : INSISTPress

Tahun Terbit : 2016

Tebal                 : xxiii + 226 Halaman

Buku ini  merupakan  hasil  kolaborasi   antara  tiga  fasilitator  ulung   yang sudah berkecimpung dalam  dunia  advokasi  lebih  dari  20  tahun.  Buku  ini meluruskan pemahaman yang  sudah  terlanjur  menggumpal  bersama  masyarakat terkait fungsi penggunaan dan pengaruh advokasi terhadap  kebijakan   publik. Advokasi dalam buku ini diletakkan dalam proporsi fungsi dan manfaatnya sebagaimana mestinya, dimana advokasi penuh dengan kekuatan sekaligus juga kelemahan.

Berkaca pada Amerika, advokasi memang bukan revolusi. Ia hanyalah alat perubahan sosial melalui semua proses  politik  dan  legislasi  dalam  sistem pemerintahan yang berlaku. Mansour Fakih menegaskan bahwa perlu  adanya paradigma  baru  tentang  advokasi  sebagai  keadilan  sosial,  yakni  meletakkan korban sebagai objek utama dan kepentingan yang pokok. Maka, budaya blaming the victims sudah seharusnya dihapuskan. Sebab, advokasi merupakan kegiatan menelaah apa-apa  yang  berada  dibalik  suatu kebijakan, bukan menghakimi yang tak ber-uang dan tak punya kuasa.

Pada dasarnya, buku ini bukanlah buku induk, tetapi lebih kepada bahan rujukan, bagi fasilitator maupun peserta pelatihan. Inti dari buku ini justru pada bagaimana seorang fasilitator nanti dapat menyampaikan uraiannya. Kaidah yang digunakan adalah 'daur belajar dari pengalaman yang distrukturkan', yaitu proses belajar yang diolah sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman peserta sendiri  atau orang lain.

Semua persiapan harus dilakukan dengan optimal, mulai dari menyepakati hal-hal teknis hingga  pada  menentukan  tema-tema  pokok,  urutan  materi  dan susunan materi acara pelatihan. Singkatnya, fasilitator harus  menanyakan  kepada peserta terlebih dahulu tentang harapan mereka setelah mengikuti pelatihan.

Pada bagian selanjutnya,  kita  akan  diperkenalkan  dengan  alasan  penggunaan advokasi secara gamblang, yang mana berasal dari bahasa inggris to advocate. Ini  tidak  hanya  berarti membela, namun juga memajukan, mengemukakan bahkan menciptakan perubahan.

Bagian ini akan mengajak para peserta memahami pengertian dasar dari advokasi  sekaligus  mengembangkan  suatu  konsep  dasar  yang  lebih   terpadu dengan  dilengkapi  beberapa  contoh  kasus  yang   membutuhkan   perundingan sebagai jalan penyelesaian serta bahan bacaan yang dapat menjadi referensi bagi peserta untuk melakukan perbandingan.

Setelah memperkuat pemahaman tentang advokasi itu sendiri, kita harus mengenali sistem kebijakan publik sebagai objek. Sebab, dengan kata lain, advokasi sebenarnya hanyalah  salah  satu  dari  perangkat  sekaligus  proses  demokrasi yang dapat dijalankan oleh warga Negara untuk mengawasi dan melindungi  kepentingan  mereka   dalam   kaitannya   dengan   kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah. Maka, seperti yang diuraikan oleh Roem Topatimasang tentang kerangka analisis yang berguna untuk memahami kebijakan publik adalah dengan melihat kebijakan tersebut sebagai suatu sistem hukum, diantaranya:

1. Isi hukum, yakni penjabaran tertulis yang tertuang dalam perundang- undangan atau peraturan pemerintah. Hal ini  lebih  menekankan  pada aspek tekstual yang berlaku.

2. Tata laksana hukum, yakni mencakup lembaga-lembaga hukum.

3. Budaya hukum, yakni persepsi terhadap isi dan tata laksana hukum. Pada bagian ini lebih menekankan aspek kontekstual.

Pentingnya aspek  budaya  hukum  dalam  menggiring  opini  dan  pergerakan adalah penting. Bagaimana seorang advokator mampu menyampaikan pesan dengan cara layaknya provokator, bukan kiai, lurah, maupun aparat lain. Untuk itu, kegiatan advokasi akan jauh lebih baik  jika hanya terfokus pada satu masalah atau isu kebijakan strategis tertentu.

Langkah pertama dan utama dari proses advokasi adalah membentuk lingkaran inti. Berhubung persoalan  advokasi  adalah  perjuangan  antara menang dan kalah, bukan benar dan salah, maka lingkar inti ini adalah perancang strategi sekaligus tongkat komando utama yang setiap saat  di  markas besar pusat selama proses advokasi berlangsung.

Selanjutnya, sebagai tugas pertama dari lingkar inti adalah memilih isu strategis, dengan indikator:

1. Seberapa penting dan mendesak

2. Penat dengan kebutuhan sebagian masyarakat yang sudah lama terabaikan hak hidupnya

3. Memang akan berdampak  positif terhadap perubahan kebijakan- kebijakan publik yang mengarah pada perubahan sosial  yang  lebih baik.

4. Sesuai dengan visi dan agenda perubahan sosial yang lebih besar seperti yang dituntut oleh masyarakat dan  dicanangkan oleh  lingkar inti sendiri. Meskipun dalam kenyataannya,  belakangan  ini  pemilihan  isu  strategis lebih dulu dilakukan daripada pembentukkan lingkar inti.

Setelah menemukan isu apa yang akan diangkat, perlu adanya rancangan sasaran  dan  strategi  yang  matang.  Penting  untuk  diingat  bahwa   tujuan   akhir adalah pembatas  untuk  kegiatan perencanaan  advokasi  dari  sasaran  yang berlebihan atau memperlakukan advokasi sebagai  alat  revolusi.  Sebab, advokasi tetap saja bukanlah gerakan yang menggunakan cara-cara kasar, namun melalui jalur, wadah dan proses demokrasi perwakilan yang ada. Maka, advokasi bukan revolusi fisik apalagi perlawanan senjata. Pada intinya, sasaran dan strategi sendiri bersifat fleksibel,  artinya  dapat  dirancang  oleh  siapapun,  kapanpun   dan dimanapun.

Kemudian melalui proses riset terapan, advokator mengolah data dan  hasil yang  ada  dengan  mengambil  manfaat  praktis   selama   masih   mendukung perlawanan terhadap isu yang sedang diusung. Kerja-kerja advokasi yang telah disebutkan sebelumya pada dasarnya sudah  cukup  menyita  waktu,  tenaga, pikiran dan dana. Dalam hal inilah penggalangan sekutu dan sistem pendukung menjadi sangat vital dalam setiap kegiatan advokasi.

Masuk  kepada  inti semangat  advokasi  yaitu  partisipasi  rakyat  awam dalam proses-proses pembentukkan kebijakan  publik dapat disalurkan melalui pembentukkan rancangan tanding. Ini mulai masuk ke  dalam  bagian  teknis  atau bentuk kegiatan advokasi yang sesungguhnya. Ini bagian pertama.

Pada bagian kedua dari teknis adalah bagaimana para advokator mampu mempengaruhi pembuat  kebijakan,  dua  posisi  dalam  hal  ini  adalah  para  politisi dan aparat birokrasi pemerintahan sebagai pembuat dan pelaksana resmi kebijakan publik.  Maka,  berlangsunglah  kegiatan-kegiatan   lobi,   negoisasi,   mediasi, kolaborasi, dan lain sebagainya.

Diantara cara tersebut, Mansour Fakih dan kedua kawannya menganggap bahwa kegiatan lobi adalah cara yang paling efektif. Hal ini bisa dilakukan secara langsung seperti:  pendekatan pribadi, percakapan telepon, surat pribadi ke beberapa orang secara terpisah,  surat  terbuka,  pesan  elektronik, membuat pernyataan  maupun  tidak  langsung, seperti:  kampanye   media   massa,   melalui ormas, minta bantuan profesional, melalui partai politik, unjuk rasa massa, hingga membuat partai politik sendiri.

Jika proses legislasi-yurisdiksi (rancangan tanding) dan proses birokrasi (mempengaruhi pembuat kebijakan) bermain  langsung  di  arena  kekuasaan  hukum dan politik, maka proses ketiganya adalah sosialisasi dan mobilisasi yang dilakukan  ditengah-tengah  masyarakat.  Pada  jalur  ini,  bentuknya  akan  lebih beragam dan majemuk. Pada buku  ini tidak dijelaskan secara komprehensif tentang bagaimana bentuk dari kegiatan sosialisasi dan mobilisasi tersebut. Hanya, dipusatkan pada dua kegiatan utama, yaitu pembentukkan pendapat umum dan pengorganisasian basis gerakan dan massa.

Merujuk kepada sejarah, ancaman  terbesar  dari  kegiatan  advokasi, khususnya yang dilakukan  oleh  mahasiswa,  adalah  ketiadaan  basis  gerakan organisasi di masyarakat. Maka sering timbul pertanyaan tentang apa yang mereka perjuangkan atau mengatasnamakan isu sosial untuk keuntungan golongan?

Utamanya terjadi pada masa otoriter Soeharto pada Orde Baru. Begitu banyak Mahasiswa yang bergerak atas nama nuraninya sebagai 'rakyat'.  Namun dengan kecanggihan yang ada saat  ini  tidaklah  dapat  menjadi  alasan  bagi Mahasiswa untuk tak membangun basis ini.

Bagian  dalam  buku   ini  memusatkan  pembahasan  pada  pengembangan basis massa dari  gerakan  advokasi seperti pengorganisasian rakyat, pendidikan dan penyadaran, sebagai bagian terpenting dari proses sosialisasi dan mobilisasi tersebut. Setelah ketiga proses  tersebut  dijalankan,  perlu  dilakukan  pemantauan untuk  mengetahui  seberapa  efektifnya  rancangan strategi  ini   serta  bagaimana umpan balik dari pembuat kebijakan dan masyarakat.

Mansour Fakih mengkritik tentang adanya  kelemahan  sistem  umpan  balik yang dirasakan oleh ORNOP di Indonesia, sehingga masyarakat pun sulit menilai, apakah kebijakan yang ditetapkan berdasarkan hasil dari tuntutan advokasi atau memang sudah terencana sebelumnya. Perlu disadari bahwa kerja-kerja advokasi adalah  proses  yang  sangat dinamis, bahkan konjugtural mengikuti ritme dan gerak perubahan  yang  terjadi setiap saat sepanjang prosesnya. Rancangan advokasi pun bisa berubah  di  tengah jalan.

Pada bagian terakhir dari buku  ini, kita diwajibkan untuk melakukan evaluasi terhadap keseluruhan proses, isi dan pelatihan. Bentuk evaluasi yang ditekankan  pun  tidak  dengan  cara  konvensional  /menghakimi   pihak   tertentu, namun lebih kepada masukan 'umpan-balik' dalam  rangka   menyempurnakan proses advokasi di masa yang akan datang.

Secara keseluruhan, buku ini sangat berbobot dan berkelas. Mansour Fakir  dan  kawannya, dalam  buku  ini  menggunakan  cara  penyampaian  yang   begitu ringan sehingga cocok dibaca oleh  generasi  muda.  Ditambah  dengan  halaman animasi  terkait  singgungan  isu-isu  sosial  yang  difungsikan  sebagai media  refleksi dan pengembangan nalar pembaca. Namun, sebagai catatan, terdapat ketidaksesuaian antara judul dan gambar petani dibagian sampul. Mungkin memang perjuangan advokasi ini dilakukan dan diperjuangkan untuk kaum buruh, namun, tidak ada relevansi  dengan  posisi  petani yang memegang rokok. Ini merupakan salah satu  kekeliruan simbolisasi dalam  edukasi masyarakat yang seringkali terabaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun