Mohon tunggu...
Riqko Nur Ardi Windayanto
Riqko Nur Ardi Windayanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merawat Bahasa, Menyemai Masa Depan

26 Oktober 2021   07:43 Diperbarui: 26 Oktober 2021   07:46 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa Indonesia di Ruang Publik (Sumber: https://www.flickr.com/photos/pianisganteng/46259128502/)

Kurang lebih pada tahun 2003, seorang linguis Australia, James N. Sneddon pernah mengatakan bahwa bahasa Indonesia lahir dari sebuah proses ajaib[1]. Berinduk dari bahasa Melayu yang kala itu menjadi basantara (lingua franca), bahasa Indonesia lahir dan dibidani oleh sebuah peristiwa politik---Sumpah Pemuda II, 28 Oktober 1928. 

Keajaiban tersebut diutarakan oleh Sneddon karena pada saat itu, hanya lima persen penduduk Nusantara yang menjadi penutur asli bahasa Melayu. Semakin ajaib pula karena masyarakat yang pernah mengecap pahitnya kolonialisme justru memilih bahasa lain untuk menjadi bahasa nasional di kelak kemudian hari. Padahal, bagi negara bernasib di bawah kuasa negara Barat, negara Dunia Ketiga, cenderung memilih bahasa kolonial---bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Spanyol---sebagai "pilihan terbaik" karena telah tersistem dan terkodifikasi dengan mapan.

 Pada mula kelahirannya, sebelum kemerdekaan, bahasa Indonesia dipandang sebagai instrumen nasionis-pragmatis untuk kepentingan komunikasi antaretnis di lingkungan politik yang luas.[2] Bahasa Indonesia menjadi sumber identitas kesadaran nasional untuk membahasakan spirit nasionalisme. Proses panjang berikutnya, bahasa Indonesia terus mengalami dinamika. 

Di bawah bayang-bayang kuasa Orde Lama, bahasa ini terjerembab dalam situasi yang disebut Anderson sebagai kemabukan ideologis dan sinkretisme magis[3]. Berbagai macam terminologi dari jagat bahasa Jawa diserap dalam pidato para elite politik. Memasuki rezim Orde Baru, bahasa ini cukup mendapat kepedulian politik dengan didirikannya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Tetapi, justru pengindonesiaan berbagai istilah asing riuh pada masa ini.[4]

 Pada intinya, dinamika bahasa Indonesia berada di ambang yang tak pasti, yang penuh dinamika. Barulah tantangan itu tampak nyata sekitar tahun 1990-an, fungsi bahasa tersebut sebagai alat komunikasi mulai terambil alih akibat penetrasi berbagai bahasa, terutama bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahkan terakhir adalah bahasa Cina.

[5] Masuk pada era 2000-an, bahasa asing tersebut, khususnya bahasa Cina, semakin terglorifikasi dengan fasilitas dan kebijakan negara yang justru mendorong perkembangannya. Kemudian, ketika ekonomi Cina semakin kuat dan pesat dalam bingkai kapitalisme ekonomi kedua negara, kebutuhan akan sumber daya manusia yang andal berbahasa Cina tidak terbantahkan. Mau tidak mau, seolah-olah masyarakat Indonesia---mereka yang menjadi mesin ekonomi---harus bisa berbahasa Cina.  

Tentu, hal tersebut hanyalah kasus bahasa Cina, yang sangat mungkin juga berlaku bagi bahasa-bahasa asing lainnya. Sangat mungkin ditemukan berbagai kasus-kasus pada ruang publik yang bertendensi untuk mengartikultasikan bahasa Inggris daripada bahasa-bahasa Indonesia. Praktik onomastika atau penamaan diri suatu tempat, baliho, spanduk, katalog, bahkan bangunan milik institusi daerah yang merupakan bagian dari negara pun turut menggunakan bahasa Inggris. 

Hal ini memperlihatkan gejala nihilnya kebanggaan berbahasa Indonesia, bahkan untuk hal yang renik sekali pun. Seakan-akan, sebagai bagian dari warga negara, mereka tidak merasa memiliki beban moral untuk menyimpangi bahasa sendiri, tetapi malah latah memihak pada bahasa lain. Situasi semacam ini tampaknya terbit dari asumsi modernitas bahwa mewarisi bahasa-bahasa kolonial adalah modal untuk bisa berkontestasi di jagat internasional.

 Memancing Ikan Tanpa Umpan

Tahun 2019 lalu, negara (pemerintah) menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2019 Tentang  Penggunaan Bahasa Indonesia.[6] Dokumen tersebut menjadi alat legitimasi legal-formal terkait penegasan ulang kedudukan bahasa Indonesia dan bagaimana bahasa tersebut digunakan oleh para pejabat tinggi dan dokumen-dokumen kepentingan negara. 

Penerbitan peraturan tersebut merupakan revisi dari peraturan pada pemerintahan sebelumnya yang hanya mengatur penggunaan bahasa Indonesia oleh para pejabat publik. 

Sekilas cukup membuat gembira jika negara masih berkenan menyisihkan perhatiannya terhadap persoalan bahasa Indonesia. Akan tetapi, persoalannya adalah peraturan tersebut hanya membangkitkan kembali kinerja bahasa Indonesia di pasar linguistik politik. Fungsi tersebut hanya akan bergairah di konteks tertentu saja, bukan menyasar pada masyarakat. 

Selama ini, di samping ekonomi global yang makin mengekonomikan bahasa asing, orientasi negara kerap berhenti pada tataran regulasi. Padahal, regulasi tidak serta merta menjadi "baju zirah" bahasa Indonesia di tengah pertarungan bahasa yang disebabkan oleh banyak pertarungan lainnya---ekonomi, politik, budaya. Regulasi tersebut tidak secara ajaib merevitalisasi fungsi bahasa Indonesia. Selain itu, adanya kebijakan-kebijakan lain, misalnya, penyelenggaraan-pemilihan duta bahasa, hanyalah persoalan teknis. 

Memang, sedikit banyak hal itu muskil untuk dibantah bahwa paling tidak tindakan negara telah mencoba merawat bahasa Indonesia. Namun, urgensi utama justru terletak pada upaya merawat bahasa itu dengan menumbuhkan kebanggaan berbahasa. Hal inilah yang luput dari jangkauan kebijakan selama ini. Kalau pun ada, kebijakan itu seperti memancing tanpa umpan, tetapi berharap disambar ikan. Membangun kebijakan bahasa dengan tanggung, lalu berharap tumbuh kebanggaan yang agung.

 Menawar pada Gelombang

Intrusi bahasa-bahasa asing ke dan di Indonesia bukanlah fenomena tunggal. Ada berbagai konstelasi faktor atau domain yang menyebabkannya. Bagaimana pun, bahasa dipengaruhi oleh gelombang proses historis, politik, kultural, dan ekonomi. Bahasa Inggris, misalnya, ia menjadi basantara, lalu diposisikan sebagai bahasa nasional di Asia, Australia, dan Afrika karena proses panjang sebagai negara kolonial. Semakin banyak penutur bahasa tersebut, semakin absah bahasa itu di berbagai percaturan internasional. 

Penguasaan terhadapnya menjadi suatu keharusan sehingga selain dipelajari di institusi formal, hadir pula lembaga-lembaga, kursus-kursus yang menjanjikan penguasaan bahasa Inggris terhadap calon peminatnya. Situasi ini menghadapkan kita pada suatu kenyataan bahwa menyisihkan, bahkan mencoba menghilangkan intrusi bahasa asing juga bukan persoalan mudah.

 Lagi pula, hal itu juga bukanlah pilihan tepat mengingat semakin masyarakat bahasa Indonesia resisten terhadap bahasa tersebut, semakin banyak pula "musuh" yang haru dihadapi, sistem yang harus dilawan. Yang perlu dilakukan adalah di samping bernegosiasi dengan konstelasi faktor tersebut, tentu dengan menumbuhkan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. 

Berbahasa Indonesia bukan hanya sekadar tuntutan dan karena kepentingan-kepentingan tertentu, melainkan suatu kenyataan yang harus dipilih. Sebab, hal ini membawa pada suatu pemahaman mendasar mengenai pilihan bahasa dan sikap bahasa. Bahasa Melayu telah dipilih sebagai bahasa nasional, maka merawat bahasa tersebut adalah bagaimana bersikap terhadapnya.

Sikap berbahasa adalah kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Ketiga hal tersebut adalah hal-hal yang memungkinkan masyarakat untuk mempertahankan bahasa Indonesia, mencegah perambahan bahasa lain dalam batas-batas tertentu, mendorong masyarakat untuk mengembangkan bahasanya, menggunakannya sebagai lambang identitas, rasa kepemilikan, dan menggunakan bahasa itu, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia.[7][8] Ketiga sikap tersebut sejatinya dan seharusnya menjadi fundamen kebijakan bahasa. Berakar kepada tiga sikap itulah, negara perlu dan dapat membangun kebijakan-perencanaan dan memompa gairah kesetiaan bahasa. Pada gilirannya, hal itu akan berimplikasi pada hadirnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri.

Dalam mempertahankan bahasa Indonesia, hal yang perlu diingat adalah bahwa bahasa Indonesia adalah satu mata rantai yang menghubungkan keotentikan bangsa ini. Ia lahir dari sebuah spirit dan ambisi politik untuk melakukan perlawanan kultural terhadap bahasa Belanda milik kolonial. 

Ia merupakan suatu kekuatan hebat yang menandai kuatnya nasionalitas. Letak keotentikan tersebut tercatat pada satu fakta bahwa dalam menjangkau dan membangun nasionalisme, bahasa Indonesia lahir dari sebuah bahasa yang dipilih, dibangun dalam dan oleh proses-proses bangsa sendiri, bukan dari bahasa Belanda yang merupakan legasi kolonial. Dengan berpijak pada proses historis ini, akan hadir suatu perasaan yang disebut Fishman sebagai identifikasi diri yang kontrastif[9]---suatu perasaan bahwa sebagai warga nasionalitas, masyarakat bahasa Indonesia akan menyatukan dan mengidentifikasi diri sebagai masyarakat bahasa yang sama, yang pada akhirnya, bermuara pada kebanggaan.

 Pada akhirnya, yang perlu dilakukan adalah bagaimana membawa serta bahasa Indonesia ke arah yang substansial. Merawat bahasa yang lahir dari "Melayu Revolusioner" ini tidak semata dan sebatas pada aspek-aspek teknis. Kalau pun legalitas-formalitas menjadi modal untuk merawat bahasa, kebanggaan berbahasa adalah urgensi utama yang harus ditunaikan oleh negara. 

Kebijakan bahasa tidak mungkin hanya menyasar penggunaannya di istana oleh para pejabat sebagai pasar linguistik. Akan tetapi, kebijakan itu harus menimbang lebih jauh untuk menumbuhkembangkan kebanggaan berbahasa. Sikap-sikap berbahasa, yang diikuti oleh kesadaran otentisitas bahasa Indonesia, membawa masyarakat bahasa pada suatu muara kebanggaan terhadap bahasa mereka sendiri. Sebab, di tengah gelombang yang kencang menghantam, hanya dengan kebanggaan itulah, kita merawat bahasa, untuk menyemai masa depan.***

Tulisan ini merupakan juara pertama dalam Festival Sastra, Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2021. 

 

Daftar Pustaka

[1]Sneddon, James N. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: UNSW Press.

[2]Sumarsono. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya dan
 Perdamaian) dan Pustaka Pelajar.

[3]Anderson, Benedict R.O'C. 2000. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa.

[4] Jalal, M. 2001. "Nasionalisme Bahasa Indonesia dan Kompleksitas Persoalan Sosial dan Politik," Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 1: 81 -92.

[5] Salam, Aprinus. 2010. "Bahasa Indonesia, Perubahan Sosial, dan Masa Depan Bangsa." Humaniora, 22(3): 266-272.

[6] Detik. 2019, Oktober 19. "Isi Lengkap Perpres Jokowi soal Bahasa Indonesia, Termasuk Tentang Pidato". Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4739509/isi-lengkap-perpres-jokowi-soal-bahasa-indonesia-termasuk-tentang-pidato/2.

[7] Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

[8] Garvin, Paul L. dan Medeleine Mathiot. 1968. "The Urbanization of the Guarani Language: A Problem in Language and Culture". Dalam J.A. Fishman, Readings in the Sociology of
 Language. The Hague: Mouton Publishers. 

 [9] Sumarsono. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya dan Perdamaian) dan Pustaka Pelajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun