Penerbitan peraturan tersebut merupakan revisi dari peraturan pada pemerintahan sebelumnya yang hanya mengatur penggunaan bahasa Indonesia oleh para pejabat publik.Â
Sekilas cukup membuat gembira jika negara masih berkenan menyisihkan perhatiannya terhadap persoalan bahasa Indonesia. Akan tetapi, persoalannya adalah peraturan tersebut hanya membangkitkan kembali kinerja bahasa Indonesia di pasar linguistik politik. Fungsi tersebut hanya akan bergairah di konteks tertentu saja, bukan menyasar pada masyarakat.Â
Selama ini, di samping ekonomi global yang makin mengekonomikan bahasa asing, orientasi negara kerap berhenti pada tataran regulasi. Padahal, regulasi tidak serta merta menjadi "baju zirah" bahasa Indonesia di tengah pertarungan bahasa yang disebabkan oleh banyak pertarungan lainnya---ekonomi, politik, budaya. Regulasi tersebut tidak secara ajaib merevitalisasi fungsi bahasa Indonesia. Selain itu, adanya kebijakan-kebijakan lain, misalnya, penyelenggaraan-pemilihan duta bahasa, hanyalah persoalan teknis.Â
Memang, sedikit banyak hal itu muskil untuk dibantah bahwa paling tidak tindakan negara telah mencoba merawat bahasa Indonesia. Namun, urgensi utama justru terletak pada upaya merawat bahasa itu dengan menumbuhkan kebanggaan berbahasa. Hal inilah yang luput dari jangkauan kebijakan selama ini. Kalau pun ada, kebijakan itu seperti memancing tanpa umpan, tetapi berharap disambar ikan. Membangun kebijakan bahasa dengan tanggung, lalu berharap tumbuh kebanggaan yang agung.
 Menawar pada Gelombang
Intrusi bahasa-bahasa asing ke dan di Indonesia bukanlah fenomena tunggal. Ada berbagai konstelasi faktor atau domain yang menyebabkannya. Bagaimana pun, bahasa dipengaruhi oleh gelombang proses historis, politik, kultural, dan ekonomi. Bahasa Inggris, misalnya, ia menjadi basantara, lalu diposisikan sebagai bahasa nasional di Asia, Australia, dan Afrika karena proses panjang sebagai negara kolonial. Semakin banyak penutur bahasa tersebut, semakin absah bahasa itu di berbagai percaturan internasional.Â
Penguasaan terhadapnya menjadi suatu keharusan sehingga selain dipelajari di institusi formal, hadir pula lembaga-lembaga, kursus-kursus yang menjanjikan penguasaan bahasa Inggris terhadap calon peminatnya. Situasi ini menghadapkan kita pada suatu kenyataan bahwa menyisihkan, bahkan mencoba menghilangkan intrusi bahasa asing juga bukan persoalan mudah.
 Lagi pula, hal itu juga bukanlah pilihan tepat mengingat semakin masyarakat bahasa Indonesia resisten terhadap bahasa tersebut, semakin banyak pula "musuh" yang haru dihadapi, sistem yang harus dilawan. Yang perlu dilakukan adalah di samping bernegosiasi dengan konstelasi faktor tersebut, tentu dengan menumbuhkan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.Â
Berbahasa Indonesia bukan hanya sekadar tuntutan dan karena kepentingan-kepentingan tertentu, melainkan suatu kenyataan yang harus dipilih. Sebab, hal ini membawa pada suatu pemahaman mendasar mengenai pilihan bahasa dan sikap bahasa. Bahasa Melayu telah dipilih sebagai bahasa nasional, maka merawat bahasa tersebut adalah bagaimana bersikap terhadapnya.
Sikap berbahasa adalah kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Ketiga hal tersebut adalah hal-hal yang memungkinkan masyarakat untuk mempertahankan bahasa Indonesia, mencegah perambahan bahasa lain dalam batas-batas tertentu, mendorong masyarakat untuk mengembangkan bahasanya, menggunakannya sebagai lambang identitas, rasa kepemilikan, dan menggunakan bahasa itu, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia.[7][8] Ketiga sikap tersebut sejatinya dan seharusnya menjadi fundamen kebijakan bahasa. Berakar kepada tiga sikap itulah, negara perlu dan dapat membangun kebijakan-perencanaan dan memompa gairah kesetiaan bahasa. Pada gilirannya, hal itu akan berimplikasi pada hadirnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri.
Dalam mempertahankan bahasa Indonesia, hal yang perlu diingat adalah bahwa bahasa Indonesia adalah satu mata rantai yang menghubungkan keotentikan bangsa ini. Ia lahir dari sebuah spirit dan ambisi politik untuk melakukan perlawanan kultural terhadap bahasa Belanda milik kolonial.Â