Kurang lebih pada tahun 2003, seorang linguis Australia, James N. Sneddon pernah mengatakan bahwa bahasa Indonesia lahir dari sebuah proses ajaib[1]. Berinduk dari bahasa Melayu yang kala itu menjadi basantara (lingua franca), bahasa Indonesia lahir dan dibidani oleh sebuah peristiwa politik---Sumpah Pemuda II, 28 Oktober 1928.Â
Keajaiban tersebut diutarakan oleh Sneddon karena pada saat itu, hanya lima persen penduduk Nusantara yang menjadi penutur asli bahasa Melayu. Semakin ajaib pula karena masyarakat yang pernah mengecap pahitnya kolonialisme justru memilih bahasa lain untuk menjadi bahasa nasional di kelak kemudian hari. Padahal, bagi negara bernasib di bawah kuasa negara Barat, negara Dunia Ketiga, cenderung memilih bahasa kolonial---bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Spanyol---sebagai "pilihan terbaik" karena telah tersistem dan terkodifikasi dengan mapan.
 Pada mula kelahirannya, sebelum kemerdekaan, bahasa Indonesia dipandang sebagai instrumen nasionis-pragmatis untuk kepentingan komunikasi antaretnis di lingkungan politik yang luas.[2] Bahasa Indonesia menjadi sumber identitas kesadaran nasional untuk membahasakan spirit nasionalisme. Proses panjang berikutnya, bahasa Indonesia terus mengalami dinamika.Â
Di bawah bayang-bayang kuasa Orde Lama, bahasa ini terjerembab dalam situasi yang disebut Anderson sebagai kemabukan ideologis dan sinkretisme magis[3]. Berbagai macam terminologi dari jagat bahasa Jawa diserap dalam pidato para elite politik. Memasuki rezim Orde Baru, bahasa ini cukup mendapat kepedulian politik dengan didirikannya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Tetapi, justru pengindonesiaan berbagai istilah asing riuh pada masa ini.[4]
 Pada intinya, dinamika bahasa Indonesia berada di ambang yang tak pasti, yang penuh dinamika. Barulah tantangan itu tampak nyata sekitar tahun 1990-an, fungsi bahasa tersebut sebagai alat komunikasi mulai terambil alih akibat penetrasi berbagai bahasa, terutama bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahkan terakhir adalah bahasa Cina.
[5] Masuk pada era 2000-an, bahasa asing tersebut, khususnya bahasa Cina, semakin terglorifikasi dengan fasilitas dan kebijakan negara yang justru mendorong perkembangannya. Kemudian, ketika ekonomi Cina semakin kuat dan pesat dalam bingkai kapitalisme ekonomi kedua negara, kebutuhan akan sumber daya manusia yang andal berbahasa Cina tidak terbantahkan. Mau tidak mau, seolah-olah masyarakat Indonesia---mereka yang menjadi mesin ekonomi---harus bisa berbahasa Cina. Â
Tentu, hal tersebut hanyalah kasus bahasa Cina, yang sangat mungkin juga berlaku bagi bahasa-bahasa asing lainnya. Sangat mungkin ditemukan berbagai kasus-kasus pada ruang publik yang bertendensi untuk mengartikultasikan bahasa Inggris daripada bahasa-bahasa Indonesia. Praktik onomastika atau penamaan diri suatu tempat, baliho, spanduk, katalog, bahkan bangunan milik institusi daerah yang merupakan bagian dari negara pun turut menggunakan bahasa Inggris.Â
Hal ini memperlihatkan gejala nihilnya kebanggaan berbahasa Indonesia, bahkan untuk hal yang renik sekali pun. Seakan-akan, sebagai bagian dari warga negara, mereka tidak merasa memiliki beban moral untuk menyimpangi bahasa sendiri, tetapi malah latah memihak pada bahasa lain. Situasi semacam ini tampaknya terbit dari asumsi modernitas bahwa mewarisi bahasa-bahasa kolonial adalah modal untuk bisa berkontestasi di jagat internasional.
 Memancing Ikan Tanpa Umpan
Tahun 2019 lalu, negara (pemerintah) menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2019 Tentang  Penggunaan Bahasa Indonesia.[6] Dokumen tersebut menjadi alat legitimasi legal-formal terkait penegasan ulang kedudukan bahasa Indonesia dan bagaimana bahasa tersebut digunakan oleh para pejabat tinggi dan dokumen-dokumen kepentingan negara.Â