"Bi konsisten mengembangkan ekonomi hijau  Topik  pembahasan  g20 salah satunya adalah mengenai Prioritas pembangunan ekonomi hijau G20 Development Working Group, yakni Strengthening Recovery from the Covid-19 Pandemic and Ensuring Resilience in Developing Countries, Underdeveloped Countries, and Archipelagic Countries through the three key pillars of Micro, Small, Medium Enterprises; Adaptive Social Protection; and Low-Carbon Green and Blue Economies.
Prioritas tersebut menjadi fondasi bagi salah satu deliverables dalam DMM 2022, yakni the G20 Roadmap for Stronger Recovery and Resilience in Developing Countries, Least Developed Countries (LDCs), and Small Island Developing States (SIDS). Indonesia mendorong negara-negara G20 untuk mendukung aksi bersama dalam memprioritaskan pembangunan ekonomi hijau dan ekonomi biru yang rendah karbon di negara berkembang, terutama dari sisi perencanaan, peningkatan kapasitas, serta penyusunan rencana aksi terkait pembiayaan dan investasi.
Perspektif ekonomi hijau yang berkelanjutan dan inklusif  untuk pengembangan Peta Jalan Ekonomi hijau  Indonesia, berkontribusi untuk strategi dan inisiatif utama Indonesia untuk menyeimbangkan konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya. ini diharapkan memicu kolaborasi lintas sektor dan pemangku kepentingan dalam menciptakan kesejahteraan manusia dan berkontribusi pada transisi global menuju ekonomi dan kemakmuran yang lebih berkelanjutan. Implementasi Peta Jalan Ekonomi Hijau juga akan mendukung transformasi ekonomi Indonesia dalam jangka menengah dan panjang, sekaligus berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja yang layak dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan ikim
United Nations Environment Programme (UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai sistem ekonomi yang rendah karbon, menggunakan sumber daya dengan efisien, serta inklusif secara sosial. Dalam konsepsinya, pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja didorong oleh investasi ke aktivitas, infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon, peningkatan efisiensi sumber daya, serta pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem
Peran Bank Sentral
Pembangunan ekosistem ekonomi hijau sesungguhnya merupakan tanggung jawab semua pihak. Bank sentral juga termasuk di dalamnya. Isu perubahan iklim dan bank sentral memiliki sebuah keterkaitan. Perubahan iklim berkorelasi positif terhadap tingkat inflasi yang menjadi tujuan dari bank sentral.
Argumen logis yang melatar belakanginya ialah perubahan iklim membawa dua risiko besar. Pertama, risiko fisik yang berasal dari adanya kerusakan lingkungan akibat pengaruh cuaca dan penurunan produktivitas lahan pertanian. Implikasinya, jumlah penawaran komoditas pangan berkurang sehingga terjadi lonjakan harga pangan. Situasi ini sering dikenal sebagai inflasi volatile food.
Kedua, risiko transisi akibat perubahan struktural yang signifikan terhadap perekonomian. Misalnya, penutupan industri pertambangan seiring dengan pergeseran dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Tanpa perencanaan yang terukur, kebijakan ini akan berdampak pada melambungnya harga energi yang pada akhirnya akan dibebankan ke harga jual produk. Kondisi ini lantas menimbulkan inflasi cost push (dorongan biaya)
BI juga melakukan transformasi kelembagaan BI Hijau yang memastikan semua aktivitas operasionalnya ramah lingkungan. Ke depan, masih terdapat pekerjaan besar untuk menyusun konsensus taksonomi ekonomi hijau, yang dapat menjadi jembatan antara sektor riil dan sektor keuangan.
Dari perspektif makroekonomi, sistem keuangan sejatinya memiliki peranan yang sangat penting dalam transisi menuju ekonomi hijau. Oleh karena itu, kebijakan pembiayaan hijau oleh Bank Indonesia akan diarahkan untuk mendorong transisi aset perbankan ke portofolio yang lebih hijau. Tidak hanya itu, penyesuaian suku bunga kredit juga didorong agar lebih terjangkau bagi perusahaan atau proyek hijau.
Ekonomi sirkular atau ekonomi melingkar adalah sebuah alternatif untuk ekonomi linier tradisional di mana pelaku ekonomi menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin, menggali nilai maksimum dari penggunaan, kemudian memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan pada setiap akhir umur layanan.
Guna mendukung implementasi kebijakan tersebut KPw Bank Indonesia Cirebon mengelar Focus Group Discussion (FGD) "Implementasi ekonomi Silkular kota Cirebon melaui  gerakan bank sampah dan pengelolaan sampah
Hasil bahasan FGD tersebut menghasilkan bahwa perlu adanya keterkaitan antara peran pemerintah, bank Indonesia dan Stekholder untuk mengubah paradigma dan mindset masyarakat mengenai bahwa sampah juga dapat diolah Dan dimanfaatkan serta memiliki nilai ekonomis,Manajemen pengelolaan dan pengolahan sampah juga harus bersifat end to end dimana pengelolaan sampah tidak hanya sampai ketempat pembuangan sampah tapi harus sampai dimana sampah bisa di olah,dipakai dan memiliki nilai guna ekonomis kembali
Penanganan dan pengelolaan sampah masih di beberapa tahapan saja tapi tidak bersifat end to end Penanganan dan pengelolaan juga harus Bagaimana masayarakat mengerti bahwa sampah memiliki nilai ekonomi menjadi suatu nilai rupiah untuk pemanfaatan kepada masyarakat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H