Akan lebih produktif andai energi itu dimaksimalkan pada upaya peningkatan kualitas umat di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Dalam hal ini, kita umat Islam harus diakui masih banyak tertinggal. Untuk kerja-kerja di basis kultural semacam ini, Ormas Islam seperti NU dan Muhamadiyah menjadi role model bagi yang lain.
Bijak dan Proporsional Dalam Ekspresi Keagamaan
Masih seringnya pengerahan massa, yang kadang anarkis dalam mengusung agenda tertentu, sebenarnya memperlihatkan bahwa kita masih mengandalkan kuantitas (keunggulan jumlah) ketimbang kualitas. Pun, pola gerakan semacam ini sebetulnya hanya menemukan rasionalisasinya manakala ia dipandang sebagai "ekses alamiah" dari sistem autoritarianistik. Kenapa, karena dalam situasi itu saluran-saluran aspirasi formal tentu mampet atau dimampetkan sebagai komunikasi politik. Bangsa ini pernah mengalaminya pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Berbeda halnya dengan saat ini yang merupakan era keterbukaan. Kita, muslim, dituntut harus terampil dalam memainkan instrumen-instrumen demokrasi. Ini penting, agar dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari iklim kebebasan yang dituai dari hasil reinterpretasi Pancasila dan Amandemen UUD'45 pasca runtuhnya Orde Baru. Bahwa umat lain juga bisa leluasa berupaya mendapatkan manfaat sebesar-sebesarnya dari "ideologi islami" tersebut, maka ini sejalan dengan watak Islam itu sendiri sebagai "rahmatan lil alamin".(4)
Dari persfektif egalitarian Islam, demokrasi yang telah berjalan 24 tahun ini merupakan anugerah hebat, dan patut disyukuri. Betapa tidak? Dengan segala pasang-surutnya, demokrasi telah memperlihatkan kesanggupan dalam memperlakukan tiap-tiap warga negara secara setara untuk tampil di pucuk kepemimpinan. Hingga saat ini, demokrasi Indonesia telah melahirkan presiden dengan ragam latar belakang. Ada teknokrat, ada ulama, ada pengusaha meubel. Ada sipil, ada militer. Ada perempuan, ada laki-laki. Ada yang dari trah elit, tapi ada juga dari keluarga wong cilik. Sementara dari segi suku, demokrasi pernah pula menghadiahi bangsa ini presiden dari suku Bugis. Tidak melulu orang Jawa sebagai suku mayoritas.
Dalam kehidupan bernegara, seorang muslim sebagaimana warga negara lain tentu punya hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Cuma pada bidang-bidang tertentu, seperti tata aturan perkawinan, warisan, haji, zakat, atau perbankan syariah, umat Islam memang disediakan perundang-undangan khusus (pengejawantahan sila pertama Piagam Jakarta?). Meski begitu, kita tidak bisa menuntut pengistimewaan di hadapan hukum publik. Suka atau tidak, demikianlah konsekuensi hidup berpancasila yang harus berkeadilan.
Dalam situasi itu, umat harus mampu berlaku serasional mungkin dalam menyikapi berbagai fenomena hukum. Semisal, ada ustadz yang ditangkap karena terbukti melakukan ujaran kebencian, jangan buru-buru direspon dengan ekspresi keagamaan. Letakkan saja kasus tersebut secara proporsional, bahwa itu semata kasus biasa di dalam pelaksanaan hukum publik. Jangan lalu diframing misalnya sebagai kriminalisasi ulama. Yakinlah, perlakuan yang sama juga akan dikenakan kepada pendeta, rahib, biksu, dan pemuka agama lainnya andai mereka melakukan pelanggaran yang sama.
Di ranah politik, kita terkadang menemukan kompetitor hebat yang bisa saja berasal dari kalangan non muslim untuk kontestasi politik tertentu. Secara moral misalnya, ia telah membuktikan reputasi kepemimpinan yang jujur, tegas terhadap korupsi, membuka balai kota bagi rakyat untuk mengadukan ragam masalah, serta profesional dalam penataan birokrasi. Apa yang kita lakukan mestinya berusaha menemukan kebaikan moral yang sama, yang berakar dari nilai-nilai agama yang dianut, untuk fight dengannya. Alih-alih terbungkus oleh panasnya simbol agama, Pemilu atau Pilkada akhirnya lebih terlihat elegan sebagai ajang kontestasi nilai universal. Dengan kondisi demikian "jago kita" terbuka kemungkinannya untuk didukung umat lain. Sebaliknya, harus ada kelapangan dada sekiranya ada "umat kita" yang mendukung jago lawan. Secara religius, fenomena tersebut dapat diletakkan sebagai bentuk kepatuhan akan perintahNya agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan(5).Â
Saya yakin saudara-saudara kita umat lain pasti tak keberatan, sebab Islam dalam konteks di atas tampil dalam wajah inklusifnya. Memang, akan selalu ada perbedaan secara teologis. Itu sebuah keniscayaan. Namun jika tak dapat bersatu dalam keyakinan, setidaknya kita masih bisa bersekutu dalam kebaikan.
Entah kapan kedewasaan politik semacam itu bisa terwujud. Sebab, yang terjadi di lapangan, umat masih sering ditampilkan dalam pola mobilisasi massa melalui agitasi yang menyulut emosi keagamaan untuk menjegal lawan politik.
Pola semacam itu mungkin membuahkan kemenangan taktis, tetapi tidak bersifat strategis. Pada akhirnya umat pasti sadar, bahwa esensi agama yang solutiflah yang nyambung dengan kebutuhan hidup mereka, bukan simbol-simbolnya.Â