Dalam Rangka Hari Lahir Pancasila, 1 Juni
Hidup sebagai muslim di negara yang berideologikan Pancasila ini sejatinya tentu tak ada masalah. Seluruh sila yang ada padanya selaras dengan--jika tidak ingin disebut diinspirasi oleh--nilai-nilai ajaran Islam.
Betapa tidak? Delapan dari sembilan orang Panitia Sembilan yang merumuskannya pada 22 Juni 1945 adalah muslim. Sementara pengusul istilah Pancasila, yang diterima Sidang BPUPKI pada 1 Juni, Soekarno (apapun basis ideologi dan politiknya) juga seorang muslim.
Adalah fakta sejarah pula, sila pertama hasil rumusan para founding father yang dikenal dengan istilah Piagam Jakarta itu, secara eksplisit menyebutkan: "Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."(1)
Bahwa kemudian dinamika politik di fase awal republik menyebabkan 7 kata pada sila pertama diganti dengan "Yang Maha Esa", Â itu tak mengubah substansi pesan katauhidan kaum muslim. Bukankah bunyi ayat pertama surah Al Ikhlas di dalam Al-Qur'an senada dengan itu? (2)
Dengan redaksi baru tersebut, Pancasila kemudian lebih memiliki daya akomodatif terhadap penganut agama lain. Ini penting, mengingat mereka--sekalipun minoritas--faktanya adalah bagian integral dari bangsa Indonesia. Bung Hatta dalam memoirnya "Sekitar Proklamasi" menceritakan kronologi peristiwa tersebut.(3)Â
Selain menegaskan aspek religiusitas bangsa Indonesia, Pancasila secara substantif sebenarnya juga mengadopsi ideologi lain seperti humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Kendati demikian, "hasil adopsi" itu dapat pula dicari kesesuaiannya dalam ajaran Islam (Qur'an, Hadist, dan Ijma--bukan ijtima--Ulama), semisal komitmen pada nilai kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, musyawarah, dan kesetiaan pada tanah air.
Bertolak dari itu, maka Pancasila sejatinya relatif sah jika dipandang sebagai "panduan islami" dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam konteks ini, Islam berarti bukan alternatif bagi ideologi Pancasila, melainkan justru sebagai penguat dan benteng baginya.
Bahwa pada tahap pelaksanaan masih jauh dari ideal, bukan berarti ini jadi alasan bahwa ia harus diganti dengan ideologi lain. Sebaliknya, justru menjadi tugas dan tanggungjawab kita sebagai muslim (bersama saudara-saudara lain tentu) untuk terus-menerus berjuang memperbaikinya. Berdemo, apalagi menempuh jalan radikal atau bahkan ekstrim--semisal terorisme--untuk mengampanyekan ideologi lain cuma membuang energi. Betapa tidak? Bukankah sebagai konsekuensi dari itu sesama anak bangsa jadi saling berhadapan, di mana dalam banyak kasus justru terlihat sebagai panggung pertarungan antara sesama muslim juga?