Mohon tunggu...
Norman Yudha Setiawan
Norman Yudha Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bukan sastrawan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Manusia Pencari Kebenaran

26 Januari 2016   04:15 Diperbarui: 20 Maret 2016   21:34 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal itu disebabkan karena hampir semua manusia mampu berbahasa. Dan dengan berbahasa, manusia juga mengenal sesuatu yang indah. Sesuatu yang indah itu kemudian ingin diabadikan lewat kata-kata, yang kemudian secara otomatis disebut sastra. Padahal, sesuatu yang indah belum tentu benar. Dan yang benar, belum tentu bermakna. Kadang ia hanya hadir sebagai suatu karya. Ada namun kosong. Hampa untuk dirasakan. Maka, sebuah perkataan bila memang mendapatkan sentuhan keindahan secara mendalam namun tidak menampilkan makna apapun, ia tidak dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra. Kita bisa mendengar W.S Rendra, yang mengatakan bahwa baik buruknya sebuah puisi bukan terletak pada kemampuan mengolah bahasa, dalam hal ini kemampuan berekspresi. “Lihat saja, semua puisi yang saya tulis semuanya terang-benderang, dan itu tidak berarti tidak ada kedalaman dalam puisi yang saya tulis.”[5]

Walaupun begitu, tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa suatu karya menjadi sastra atau bukan, harus dilihat dari sisi pengamatnya. Itu semua tergantung dari perspektif mana si pengamat melihat. Menurut ternyata pernyataan tersebut terbilang pragmatis. Karena dengan begitu, maka akan terjadi kerancuan antara sastra dan bahasa, juga antara firman dan peraturan, ketika semua bahasa bisa dikatakan sebagai sastra.

Seandainya memang semua bahasa adalah sastra, maka secara umum ia harus mampu diperdebatkan dalam ruang lingkupnya sebagai seni. Perdebatan itu harus mampu menjawab, dari sisi mana sang pengamat menilai itu sebagai suatu seni. Karena jelas sekali bahwa manusia bertumbuh dengan kemampuan nalar, indrawi, serta nurani yang berbeda-beda. Perbedaan itu kemudian mempengaruhi perspektif seseorang dalam melihat suatu hal. Bila sastra dikembalikan pada sekedar pengamatan yang sangat subjektif, maka segala bahasa dapat dikatakan sastra. Jika begitu, mengapa diperlukan suatu terminologi ‘sastra’ bila ternyata terminologi ‘bahasa’ sudah mencakup segalanya? Menurut saya, keperluan terminologi itu karena memang sastra dan bahasa adalah bagian tidak dapat dipersamakan.

Sastra adalah bagian dari seni. Melalui sejarah, kita dapat melihat bahwa cinta pada jamannya pernah dianggap sebagai suatu yang indah, dan dikemudian hari kita menemukan bahwa cinta dapat juga kejam. Hal seperti itulah yang memuat tugas sastra dalam bagiannya di dunia seni. Bagi Aristoteles, jenius yang sesungguhnya bukanlah mereka yang canggih menghitung atau menyimpulkan gagasan, melainkan mereka yang mampu menciptakan metafora-metafora baru yang mengejutkan, cara-cara baru yang segar, untuk memahami kenyataan.[6] Sastra yang baik bukan hanya sebagai bentuk yang indah, tapi juga kedalaman makna sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Dalam hal ini sastra memang seringkali membingungkan. Masyarakat, khususnya di Indonesia sangat wajar bila ikut bingung. Kaum New Critism mengatakan bahwa sastra memang berada dekat dengan masyarakat, namun ia tidak hanya sekedar permainan kata-kata secara unik, melainkan harus dapat dilihat isi dan maknanya, realitas khas yang hendak diungkapkannya.[7] Sebagai bagian dari masyarakat yang kebingungan, maka ada baiknya kita bertanya dan membaca untuk mencari tahu. Namun yang patut disayangkan adalah, bahwa seringkali ditemukan para penggiat kata yang secara tidak sadar menulis sesuatu yang indah, melakukan publikasi, dan dengan itu ia telah membuat suatu karya sastra, yang secara otomatis menjadikannya sebagai seorang sastrawan. Lalu ia berbangga akan hal itu (karena memang menjadi seorang sastrawan adalah suatu yang dapat dibanggakan), dan kemudian berhenti mencari tahu.

Berhenti mencari tahu adalah sebuah tindakan yang mengecewakan, terlebih di dunia seni yang bertugas untuk mencari tahu, baik melemparkan pernyataan, ataupun memberikan jawaban. Para pelaku yang sudah merasa tidak perlu mengetahui hal diluar yang sudah diketahuinya, ia sudah tidak lagi bingung, dan dengan begitu artinya ia sudah mengerti. Hal semacam itu menjadikan kita manusia yang menutup ruang untuk diskusi, untuk menerima masukan, dan pada akhirnya merasa diri paling benar. Tentunya, kita sebagai manusia tidak menginginkan diri menjadi kecil dan tanpa pengetahuan. Wawasan selalu menjadi hal yang menarik bagi kita. Kebingungan adalah nuansa yang kita nikmati. Maka ada kalanya, kita selalu berbenah diri dan terbuka terhadap segala pemikiran dan pernyataan. Karena itu, tulisan ini juga selalu terbuka untuk segala kritik dan saran serta panggilan berdiskusi. Tentunya, ruang bagi Anda, sangat terbuka lebar.

Melalui sastra, saya percaya, bahwa manusia mampu untuk mencari kebenaran.

 

Salam sastra,

Norman Yudha Setiawan


[1] Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hukum di Universitas Katolik Parahyangan dan dapat dihubungi via email : normanysetiawan@yahoo.com
[2] Abdul Chaer, Filsafat Bahasa, (Jakarta : Rineka Cipta, 2015), hlm 49.
[3] Ibid, hlm 47.
[4] Sebuah tulisan Sophan Adjie yang berjudul “Sastra Modern Dan Aneka Perpektifnya”, yang tergabung dalam Seri Buku Humaniora Unpar dengan judul Untuk Apa Seni?, (Bandung : Matahari Cetakan Kedua, 2014).
[5] Soni Farid Maulana, Apresiasi & Proses Kreatif Menulis Puisi, (Bandung : Nuansa, 2015), hlm75.
[6] Bambang Sugiharta, Untuk Apa Seni?, (Bandung : Matahari Cetakan Kedua : 2014), hlm 37.
[7] Masih dalam tulisan Sophan Adjie, dinyatakan bahwa suatu karya sastra, terutama puisi, memang memiliki koherensi internal organisnya sendiri, akan tetapi tetaplah ia berkorespondensi dengan realitas, realitas yang memang tidak dilihat dan tidak umum, namun penting bagi kesadaran. Kaum ini berpendapat bahwa suatu bagian terkecil dalam karya sastra harus dapat dilihat, karena itu merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun