Mohon tunggu...
Norman Yudha Setiawan
Norman Yudha Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bukan sastrawan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Manusia Pencari Kebenaran

26 Januari 2016   04:15 Diperbarui: 20 Maret 2016   21:34 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

MANUSIA PENCARI KEBENARAN

Norman Yudha Setiawan[1]

 

Manusia pada dasarnya diberikan kemampuan untuk berpikir, dan dengan berpikir maka kemudian ia berusaha untuk memberitahukan pikirannya kepada orang lain. Penyampaian pikiran tersebut, tentunya ingin membuat lawan bicara menjadi tahu isi dan maksud yang ada di dalam pikiran kita. Maka, sudah sewajarnya manusia membutuhkan bahasa.

Filsuf Perancis, Rene Decartes dalam hipotesis nuraninya mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berbahasa. Dengan kata lain, manusia telah diciptakan menjadi makhluk berbahasa.[2] Kemampuan tersebut ternyata sudah dituntut oleh alam sejak jaman dahulu. Bentuk komunikasi mula-mula ini dilakukan dengan berbagai cara seperti gerak tubuh, tulisan lambang-lambang pada dinding batu, gambar-gambar yang seperti bercerita, tarian penyembahan kepada dewa-dewi, dan juga bersuara. Menurut Von Herder, yang merupakan seorang filsuf Jerman, bahasa berasal dari onomatope, tiruan bunyi. Hal tersebut terkait erat dengan teori bow-wow yang menyatakan bahwa bahasa timbul sebagai akibat dari tiruan bunyi terhadap alam.[3] Namun kita perlu ingat bahwa dalam konteks keagamaan, manusia pertama adalah Adam dan Hawa. Lalu yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, mereka menggunakan bahasa apa?

Berbagai anggapan muncul dengan sendirinya. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa bahasa berasal dari Tuhan, yang berarti sejak kemunculannya manusia sudah dapat berbahasa. Pernyataan tersebut kemudian ditentang oleh Von Herder yang mengatakan bahwa bahasa tidak mungkin berasal dari Tuhan, karena bahasa itu sedemikian buruknya tidak sesuai dengan logika sedangkan Tuhan Maha Sempurna. Para penganut Teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia berevolusi dari monyet/kera, tentunya juga tidak akan setuju dengan anggapan di atas.

Seiring dengan berkembangnya jaman dan pemikiran manusia yang semakin kompleks, maka bahasa turut serta menjadi kompleks. Pikiran yang rumit harus dapat dibahasakan secara sederhana agar orang lain mengerti. Maka, dengan sendirinya buah pikiran dapat tersalurkan kepada orang lain. Namun tidak jarang bahwa bahasa menjadi suatu hal yang rumit, bahkan sering kali tidak dapat dimengerti dan menghasilkan suatu kesalahpahaman maksud. Hal itu tidak terlepas dari tempat-tempat yang memiliki ciri bahasanya sendiri, nada bahasanya sendiri, serta susunan bahasanya dan bahkan pergeseran makna yang terikat dengan perkembangan jaman. Contoh sederhana adalah kata ‘anjing’ yang saat ini bukan hanya bermakna hewan mamalia yang mengalami domestikasi dari serigala, bisa menggonggong, memiliki penciuman yang tajam, dan seterusnya. Juga bukan hanya sebagai bentuk penghinaan terhadap seseorang, tapi kini menjadi sebuah bentuk kedekatan dan sapaan bagi anak-anak muda.

Sejarah mencatat, dan kita mengakui, bahwa bahasa adalah suatu kebudayaan yang sangat mahal harganya. Maka kebutuhan akan bahasa menjadi kebutuhan bagi hampir semua orang di dunia. Bahasa hadir sejak kita masih sangat kecil. Panggilan ‘mama’ atau ‘papa’ adalah pelajaran pertama kita tentang bahasa, yang disusul dengan pelajaran di sekolah, seperti ‘ini Budi, ini ibu Budi’ dan lain sebagainya hingga akhirnya kita dapat berbahasa dengan cukup baik. Pada saat itu, jika kita ingat kembali masa-masa belajar kita, kita hadir sebagai seorang manusia yang tidak terbiasa. Kita bahkan sulit sekali membaca, dan sulit berbicara.

Dari bahasa, kita lalu mengenal sastra. Sastra membutuhkan bahasa agar ia menjadi sastra. Namun perlu digarisbawahi bahwa sastra berbeda dengan bahasa. Secara filosofis, Sophan Adjie mengatakan bahwa bahasa bisa digunakan untuk mengungkapkan apa pun juga, dan dengan banyak cara, namun bahasa yang dimainkan untuk semata-mata mengeksplorasi imajinasi, mengoptimalisasi kekuatan kata, dan menyeret ruh pada petualangan batinnya yang terdalam, itulah yang dalam arti luas, biasa disebut ‘sastra’.[4] (cetak miring sesuai asli). Maka kemudian, sastra merupakan tingkatan selanjutnya dari pelajaran bahasa. Sebagai seorang yang baru kali pertama, sangat wajar apabila dalam pelajaran ini kita menjadi sama seperti anak kecil yang terkesan ba-bi-bu, atau masih sulit membaca, bicara, juga menulis. Kita, kembali kepada posisi awam bahasa.

Bahasa tidak dapat dipersamakan dengan sastra. Kata-kata yang indah tidak otomatis menjadi sastra. Sastra hadir bukan hanya sebagai bentuk aesthetics, estetis, yang berarti ia bukan hanya sekedar selera, perspektif ataupun keindahan belaka. Ada makna yang harus dapat digali. Makna inilah yang menampilkan kebenaran, yakni kebenaran eksistensial. Seorang sastrawan, harus mampu untuk merampas sesuatu dari ketiadaan dan menunjukan bahwa suatu yang tadinya tiada, bisa menjadi ada. Ia harus berani terbebas dari pengaruh dunia, namun sekaligus hadir di dalamnya. Sastra sebagai bagian dari seni, harus dapat mengambil peran dalam dunianya itu.

Patut disayangkan bahwa sastra saat ini mendapatkan penurunan nilai. Penurunan nilai yang saya maksud di sini adalah, bahwa sastra hadir sebagai hiasan belaka, pemanis, dan terkadang hanya sebagai kata-kata indah tanpa makna. Ia menjadi sepi akan kritik yang bersifat kesusasteraan. Sastra menjadi bungkam. Ia tidak lagi mencari suatu kebenaran yang baru, namun hanya sebagai mimesis, peniruan, terhadap suatu yang telah ada dalam rangka mempercantik diri. Sesuatu yang tanpa makna seperti itu tidak memerlukan upaya-upaya pembenaran dan kajian yang mendalam. Ia bahkan boleh diletakkan di suatu tempat di ujung jalan yang seringkali dikunjungi oleh keluarga besar lalat.

Hal itu disebabkan karena hampir semua manusia mampu berbahasa. Dan dengan berbahasa, manusia juga mengenal sesuatu yang indah. Sesuatu yang indah itu kemudian ingin diabadikan lewat kata-kata, yang kemudian secara otomatis disebut sastra. Padahal, sesuatu yang indah belum tentu benar. Dan yang benar, belum tentu bermakna. Kadang ia hanya hadir sebagai suatu karya. Ada namun kosong. Hampa untuk dirasakan. Maka, sebuah perkataan bila memang mendapatkan sentuhan keindahan secara mendalam namun tidak menampilkan makna apapun, ia tidak dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra. Kita bisa mendengar W.S Rendra, yang mengatakan bahwa baik buruknya sebuah puisi bukan terletak pada kemampuan mengolah bahasa, dalam hal ini kemampuan berekspresi. “Lihat saja, semua puisi yang saya tulis semuanya terang-benderang, dan itu tidak berarti tidak ada kedalaman dalam puisi yang saya tulis.”[5]

Walaupun begitu, tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa suatu karya menjadi sastra atau bukan, harus dilihat dari sisi pengamatnya. Itu semua tergantung dari perspektif mana si pengamat melihat. Menurut ternyata pernyataan tersebut terbilang pragmatis. Karena dengan begitu, maka akan terjadi kerancuan antara sastra dan bahasa, juga antara firman dan peraturan, ketika semua bahasa bisa dikatakan sebagai sastra.

Seandainya memang semua bahasa adalah sastra, maka secara umum ia harus mampu diperdebatkan dalam ruang lingkupnya sebagai seni. Perdebatan itu harus mampu menjawab, dari sisi mana sang pengamat menilai itu sebagai suatu seni. Karena jelas sekali bahwa manusia bertumbuh dengan kemampuan nalar, indrawi, serta nurani yang berbeda-beda. Perbedaan itu kemudian mempengaruhi perspektif seseorang dalam melihat suatu hal. Bila sastra dikembalikan pada sekedar pengamatan yang sangat subjektif, maka segala bahasa dapat dikatakan sastra. Jika begitu, mengapa diperlukan suatu terminologi ‘sastra’ bila ternyata terminologi ‘bahasa’ sudah mencakup segalanya? Menurut saya, keperluan terminologi itu karena memang sastra dan bahasa adalah bagian tidak dapat dipersamakan.

Sastra adalah bagian dari seni. Melalui sejarah, kita dapat melihat bahwa cinta pada jamannya pernah dianggap sebagai suatu yang indah, dan dikemudian hari kita menemukan bahwa cinta dapat juga kejam. Hal seperti itulah yang memuat tugas sastra dalam bagiannya di dunia seni. Bagi Aristoteles, jenius yang sesungguhnya bukanlah mereka yang canggih menghitung atau menyimpulkan gagasan, melainkan mereka yang mampu menciptakan metafora-metafora baru yang mengejutkan, cara-cara baru yang segar, untuk memahami kenyataan.[6] Sastra yang baik bukan hanya sebagai bentuk yang indah, tapi juga kedalaman makna sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Dalam hal ini sastra memang seringkali membingungkan. Masyarakat, khususnya di Indonesia sangat wajar bila ikut bingung. Kaum New Critism mengatakan bahwa sastra memang berada dekat dengan masyarakat, namun ia tidak hanya sekedar permainan kata-kata secara unik, melainkan harus dapat dilihat isi dan maknanya, realitas khas yang hendak diungkapkannya.[7] Sebagai bagian dari masyarakat yang kebingungan, maka ada baiknya kita bertanya dan membaca untuk mencari tahu. Namun yang patut disayangkan adalah, bahwa seringkali ditemukan para penggiat kata yang secara tidak sadar menulis sesuatu yang indah, melakukan publikasi, dan dengan itu ia telah membuat suatu karya sastra, yang secara otomatis menjadikannya sebagai seorang sastrawan. Lalu ia berbangga akan hal itu (karena memang menjadi seorang sastrawan adalah suatu yang dapat dibanggakan), dan kemudian berhenti mencari tahu.

Berhenti mencari tahu adalah sebuah tindakan yang mengecewakan, terlebih di dunia seni yang bertugas untuk mencari tahu, baik melemparkan pernyataan, ataupun memberikan jawaban. Para pelaku yang sudah merasa tidak perlu mengetahui hal diluar yang sudah diketahuinya, ia sudah tidak lagi bingung, dan dengan begitu artinya ia sudah mengerti. Hal semacam itu menjadikan kita manusia yang menutup ruang untuk diskusi, untuk menerima masukan, dan pada akhirnya merasa diri paling benar. Tentunya, kita sebagai manusia tidak menginginkan diri menjadi kecil dan tanpa pengetahuan. Wawasan selalu menjadi hal yang menarik bagi kita. Kebingungan adalah nuansa yang kita nikmati. Maka ada kalanya, kita selalu berbenah diri dan terbuka terhadap segala pemikiran dan pernyataan. Karena itu, tulisan ini juga selalu terbuka untuk segala kritik dan saran serta panggilan berdiskusi. Tentunya, ruang bagi Anda, sangat terbuka lebar.

Melalui sastra, saya percaya, bahwa manusia mampu untuk mencari kebenaran.

 

Salam sastra,

Norman Yudha Setiawan


[1] Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hukum di Universitas Katolik Parahyangan dan dapat dihubungi via email : normanysetiawan@yahoo.com
[2] Abdul Chaer, Filsafat Bahasa, (Jakarta : Rineka Cipta, 2015), hlm 49.
[3] Ibid, hlm 47.
[4] Sebuah tulisan Sophan Adjie yang berjudul “Sastra Modern Dan Aneka Perpektifnya”, yang tergabung dalam Seri Buku Humaniora Unpar dengan judul Untuk Apa Seni?, (Bandung : Matahari Cetakan Kedua, 2014).
[5] Soni Farid Maulana, Apresiasi & Proses Kreatif Menulis Puisi, (Bandung : Nuansa, 2015), hlm75.
[6] Bambang Sugiharta, Untuk Apa Seni?, (Bandung : Matahari Cetakan Kedua : 2014), hlm 37.
[7] Masih dalam tulisan Sophan Adjie, dinyatakan bahwa suatu karya sastra, terutama puisi, memang memiliki koherensi internal organisnya sendiri, akan tetapi tetaplah ia berkorespondensi dengan realitas, realitas yang memang tidak dilihat dan tidak umum, namun penting bagi kesadaran. Kaum ini berpendapat bahwa suatu bagian terkecil dalam karya sastra harus dapat dilihat, karena itu merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun