Jalan Surya Kencana Bogor ternyata menyimpan banyak lembaran kisah. Kawasan Pecinan di Kota Hujan ini tidak saja terkenal karena soto kuning Gang Aut lho. Ternyata ada cerita lain.
Menurut catatan, Jalan Surya Kencana adalah sepotong jalan tua. Jalan tersebut merupakan bagian dari De Grote Postweg yang dibangun sekira 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Daendels. De Grote Postweg memasuki Buitenzorg -- sebutan Kota Bogor - dari jalan yang kini menjadi Jalan Ahmad Yani, berlanjut hingga Jalan Jenderal Sudirman, membelok ke Jalan Juanda bersambung ke Surya Kencana hingga ke Ciawi.
Dulu jalan ini dikenal sebagai kawasan perniagaan seperti di Glodok dan Pasar Pagi Asemka di wilayah Jakarta Barat. Tetapi kini Jalan Surya Kencana tersohor karena kulinernya. Apalagi soto kuning di Gang Aut. Top markotop deh!
Ya kawasan Surya Kencana menjadi tumpuan segalanya di penutup pekan. Ada harapan di setiap keramaian di sana.
Setidaknya itulah yang diharapkan Eeng Suminta. Kakek bercucu 65 tahun ini menapaki hidup sebagai sopir bayaran yang biasa mencari pelanggan di kawasan Surya Kencana. Usia boleh tua tetapi soal menyetir mobil sudah mendarah-daging bagi lelaki asli Pamoyanan Bogor Selatan.
"Saya sejak 1972 bawa mobil, " kata Pak Eeng membuka obrolan dengan saya di sebuah bangku merah persis di depan sebuah kafe tempat anak muda mangkal.
Pria beranak lima ini berpindah-pindah pegangan. Dari membawa bemo trayek Gunung Gede - Pasar Bogor. Lalu mengais rezeki sebagai sopir tanki berisi residu yang melipir hingga Depo Plumpang Tanjung Priok Jakarta Utara. Kini, Pak Eeng tetap setia sebagai sopir tetapi sopir bayaran.
"Hidup saya di jalanan. Setir mobil adalah istri pertama saya. Jalan-jalan menemani saya saat membawa pelanggan, " tuturnya.
Dia mengaku pernah ke Pulau Dewata Bali ketika ada keluarga yang memanfaatkan jasa membawa mobilnya. "Semalam Rp250 ribu. Mobil dari pelanggan. Saya yang setir mobilnya, " ia menyebutkan.
Jalan-jalan Pulau Jawa dan Bali menjadi makanannya. Dari sanalah mengalir rupiah demi rupiah. Dan hidup pun terus bergulir seperti roda-roda.
Banyak suka-duka menjadi sopir bayaran. Apalagi jika ketemu pelanggan yang berhati baik."Saya tidak tidur di mobil tetapi diinapkan ke penginapan yang murah meriah, " katanya sambil tertawa kecil.
Namun di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, Pak Eeng agak sedikit kaget. Pelanggan kini sepi. Bahkan, seharian dia mengaku tidak bertemu pelanggan. Padahal perut harus diisi. Dahaga kudu dipuaskan. Dapur di rumah harus ngebul.
Pantang menyerah bagi Pak Eeng. Ia masih menunggu dan terus menunggu kalau-kalau ada pelanggan yang memanfaatkan jasa dirinya sebagai sopir bayaran.
"Saya tetap yakin bahwa rezeki itu tidak akan pernah tertukar. Tuhan selalu menyelipkan di saat yang saya tak pernah duga, " ia melanjutkan penuh optimisme.
Obrolan kami pun berakhir. Dia meninggalkan nomor telepon genggamnya dan berpesan. Katanya, kontak saya jika butuh sopir bayaran ya. Saya anggukan kepala.
Kami pun berpisah. Kami sempat berfoto. Ia tersenyum kecil. Maskernya sengaja dilepas agar wajah yang mulai menuai itu terlihat.
Jalan Surya Kencana Bogor masih ramai meski tidak seramai biasanya ketika pandemic Covid-19 belum unjuk gigih. Soto kuning masih saja menari-nari di antara penikmat kuliner. Sang surya mulai bergeser. Petang menyembul. Sebentar lagi sore tiba. Lalu lalang angkot masih belum menyepi. Bunyi klason bersahutan.
Tetap semangat Pak Eeng. Selalu ada harapan di balik sesulit perjalanan hidup ini. Dan, akhirnya kami pun berpisah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H