Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jurnalisme Uang, Serius Ada?

27 Juli 2021   16:19 Diperbarui: 27 Juli 2021   16:47 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Siapa yang tidak butuh uang. Malah ada syair lagu yang menyebut begini: lagi lagi uang. Uang bisa membuat segalanya...dan seterusnya. Jreng...jreng...jreng!

Di pungkiri atau tidak ternyata jurnalisme terkadang akrab dengan pemberian, hadiah, amplop, freebies atau apa pun namanya kepada wartawan, praktik lainnya yang merupakan dekatnya adalah jurnalisme uang.

Di dunia politik dikenal politik uang atau "money politics". Ternyata pers juga mengenal "money journalisme" atau dalam pers Barat dikenal sebagai "checkbook journalism".

Yang selama ini kita kenal terkait dengan jurnalisme uang adalah sumber berita yang memberikan hadiah atau amplop berisi uang kepada wartawan atau media. Tetapi jangan salah terkadang media juga kerap memberikan uang kepada nara sumber agar media mendapat berita eksklusif.

Dulu pernah ada tayangan rekaman video tentang praktik kekerasan di sebuah sekolah ikatan dinas sebuah kementerian. Sebuah stasiun televisi mendapatan rekaman video tersebut. Dan hanya stasiun televisi itu saja yang mendapatkan rekaman video berisi tayangan bagaimana senior di sekolah ikatan dinas tersebut menyiksa yuniornya. Mulai dari tamparan hingga tendangan mendarat di tubuh para yunior itu. Itu terjadi September 2003 lalu.

Masyarakat pun heboh. Sang menteri pun akhirnya turun tangan.

Di balik tayangan eksklusif tersebut beredar kabar bahwa stasiun televisi itu memberikan imbalan agar kopi video rekaman itu hanya untuk stasiun televisi yang bersangkutan dan jangan diberikan kepada media lain.

Jauh sebelumnya Wakil Ketua MPR/DPR dulu Djaelani Naro pernah bikin heboh. Pada Sidang Umum MPR 1988 mengajukan diri sebagai calon wakil presiden. Sesuatu yang menjadi barang langka di masa Orde Baru. Media pun memburu untuk wawancara eksklusif dengan politikus kawakan Partai Persatuan Pembangunan itu. Namun Djaelani Naro bersedia wawancara eksklusif jika dibayar 5.000 dolar AS (jika tidak salah) soal pencalonan dirinya sebagai calon presiden saingan calon wakil presiden lainnya Soedharmono.

Mungkin Jaelani Naro tahu bahwa media juga harus membayar jika ingin mendapatkan berita eksklusif.

Masalahnya: apakah hal demikian dibolehkan? Apakah masih pantas dilakukan hanya untuk mengejar tayangan eksklusif? Bagaimana jika informasi itu sangat terkait kepentingan publik?

Di pers Barat memberikan sejumlah uang untuk mengejar eksklusif bukan hal yang baru. Dulu pernah sebuah majalah terkenal menayangkan buronan FBI di cover majalahnya. FBI sudah mencari buronan tersebut ke mana-mana tetapi tiba-tiba buronan itu tampil menjadi cover di majalah tersebut.

Kabarnya si buronan mendapat imbalan karena bersedia wajahnya menjadi cover majalah tersebut.

Persoalan menjadi lain jika informasi tersebut seyogianya harus diketahui publik. Jika informasi itu hanya dikuasi satu media. Akibatnya, masyarakat tidak merata mengetahui informasi tersebut karena media-media lainnya tidak dapat menyiarkan informasi tersebut. Di sini terjadi apa yang dinamakan perkosaan terhadap hak mengakses berita oleh masyarakat maupun tindakan tidak adil terhadap media saingan yang dihalang-halangi kewajibannya dalam melayani masyarakat.

Persoalan itu ditambah lagi dengan konflik kepentingan yang ujung-ujungnya liputan wartawan menjadi bias.

Dalam menjalankan tugasnya wartawan memang harus akrab dengan nara sumber. Hal itu kemudian melahirkan wadah kebersamaan wartawan dengan instansi-instansi tertentu. Misalnya, teman-teman wartawan di lingkungan tertentu membentuk semacam unit atau kelompok-kelompok kerja di bidang liputan masing-masing. Ini tidak salah. Namun, dalam perkembangannya bisa berdampak kepada ketajaman seorang wartawan. Jurnalis menjadi malas mengembangkan berita karena hanya menunggu informasi dari instansi yang bersangkutan. Informasi itu di-share di grup whatsApp atau email atau media lainnya. Istilah untuk kelompok kerja atau unit kerja wartawan kerap disebut sebagai "beat".

Kedekatan ini pada akhirnya melahirkan berita yang seragam. Malah instansi tersebut kerap meminta informasi ini jangan ditayangkan. Sementara informasi ini sebaiknya ditayangkan berkali-kali ibarat running news gitu.

Menghadapi kondisi demikian banyak media yang kemudian me-rolling wartawannya. Mereka tidak diizinkan berlama-lama nge-beat di sebuah instansi. Ada media yang memberi waktu tiga bulan kemudian si wartawan dipindah ke pos lainnya. Ini salah satu cara agar wartawan tidak menjadi corong atau suara instansi yang diliputnya.

Namun bagaimana dengan sebuah peliputan yang note bene dibiayai sponsor. Apakah itujuga termasuk jurnalisme uang.  Jika memang ada bukan tidak mungkin hasil peliputan dengan sponsor itu harus sesuai dengan framing yang memesan.  Ya apa katanya yang mendanai. 

Intinya wartawan boleh akrab dengan siapapun tetapi tetap bebas menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Daya kritis pers tetap harus terjadi demi kepentingan publik. Dan itu hanya bisa terjadi jika teman-teman wartawan memelihara roh pers yakni mengabdi kepada masyarakat karena loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.

Dan ingat kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran bukan kepada uang. Seperti kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Nah lho! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun