Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pak Edi dan Wajah Muram Surat Kabar

24 Juli 2021   17:31 Diperbarui: 24 Juli 2021   17:46 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                  

Ketika teman-teman saya yang masih bergelut dengan surat kabar atau koran mulai mengeluh karena perlahan tetapi pasti mulai tergerus zaman: era banjir informasi! Media sosial kini menjadi raja dan media arus utama mulai tertatih-tatih, saya malah teringat kepada sosok Pak Edi. Namanya cukup singkat karena hanya tiga huruf dan mudah diingat.

Pak Edi bukan siapa-siapa. Ia hanya orang kecil dengan hidup yang selalu dibalut kepasrahan menantang hidup. Pak Edi adalah penjaja koran di perempatan Siliwangi Depok.

Usianya sudah kepala tujuh. Saya mencoba mencari wajah Pak Edi di telepon genggam saya. Akhirnya bersama dengan detak jarum jam yang sudah melewati petang, foto penjaja koran itu ketemu juga.

Dalam foto yang saya abadikan dua tahun itu Pak Edi tidak sedikit pun senyum. Panas terik di perempatan Siliwangi Depok mungkin membuatnya sulit untuk tersenyum. Atau memang itulah Pak Edi yang sulit menebar senyum. Dia hanya memegang Koran Tempo. Ya, Koran Tempo di antara hamparan koran-koran lainnya. Mungkin karena bentuknya lebih ramping sehingga koran itu dipanjang di depan koran-koran lainnya.

Kini, setiap saya melaju melewati perempatan Siliwangi Depok tak lagi menemukan sosok Pak Edi yang biasa menjajakan koran di sebuah lapak kecil beberapa meter dari perempatan Siliwangi ke arah Stasiun Depok. Serasa hampa: seperti ada yang hilang ketika melewati jalan itu kini. Pak Edi dan lapak kecilnya sudah tak ada lagi. Bahkan, sudah dua tahun: waktu yang sebenarnya tak lama-lama juga.

Bagi saya yang besar di media cetak terutama koran sosok Pak Edi adalah ibarat ikan dengan air. Sulit dipisahkan! Tanpa Pak Edi rasanya sulit rasanya koran sampai di tangan pembaca. Pak Edi hanya satu dari sekian mereka yang hidup dari menjajakan koran. Mereka meneruskan roda kehidupan karena koran-koran tersebut. Ada yang akhirnya sukses menyekolahkan anak hingga sarjana dari menjajakan koran. Bahkan, mungkin lebih dari itu.

Tapi kini semua sudah berubah. New media entah apa namanya itu telah mengubah segalanya. Orang kini bisa mengikuti dari satu peristiwa ke peristiwa hanya melalui jari-jemari melalui gadget. Koran tiba-tiba menjadi anak tiri di tengah-tengah pembaca. Saudara tua yang tampaknya semakin ditinggalkan.

Pak Edi adalah satu di antara penjaja koran yang tiba-tiba seperti disuguhkan air tuba. Orang mulai meninggalkan koran. Mereka berpaling dari saluran komunikasi tertua itu. Teknologi informasi telah menghempaskan rezeki Pak Edi serta teman-teman sejawatnya. Mereka tiba-tiba dilupakan, kini.

Apakah karena perubahan itu kini Pak Edi tak menjajakan koran lagi. Ke mana dia kini berlabuh? Ada sesuatu menimpa dirinya? Deretan pertanyaan itu ibarat peluru yang membabi-buta keluar dari moncong meriam.

Entahlah! Yang pasti Pak Edi tidak terlihat lagi. Lapak korannya pun tak ada lagi. Semangat menjual korannya sudah pupus digilas perubahan zaman terutama media massa.

"Sekarang menjual koran susah," itu kalimat Pak Edi dua tahun lalu ketika saya sapa di lapaknya. Ditanya lebih jauh, Pak Edi hanya terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Ia tak mau bercerita panjang lebar. Dia menyimpan kegelisahannya itu dalam-dalam di hatinya. Ia menaruh di relung-relung hatinya.

Pak Edi mengaku dulu pernah tinggal di Tangerang. Orang menyebutnya sebagai Cina Benteng. Waktu pula yang akhirnya mendaratkan dia di Depok dan menapaki hidup sebagai penjaja koran di perempatan Siliwangi Depok.  Baginya, koran - apalagi di tengah gelombang senjakala cetak yang sulit dihindari - adalah jembatan untuk mengarungi ganasnya kehidupan ini.

Dua tahun adalah waktu. Seperti detak pada jam dinding yang terus berputar. Bersamaan itu pula sosok Pak Edi menghilang ketika koran tidak lagi dilirik orang. Entah ke mana penjaja koran yang setia itu. Mungkinkan dia sudah tergilas atau...entahlah!

Memasuki pandemi Covid-19, saya tidak menemukan sosok Pak Edi lagi. Lapak korannya di perempatan Siliwangi Depok sudah tak terlihat lagi. Saya pernah bertanya kepada beberapa anak pengecer koran di Stasiun Depok Baru. Katanya, Pak Edi kecelakaan akibat tertabrak sepeda motor. Saya tanya rumahnya, mereka hanya geleng-geleng kepala. Mereka hanya bertemu ketika koran-koran tiba sebelum subuh. Begitu katanya.

Saya kehilangan sosok Pak Edi. Penjaja koran yang bertahan dengan koran-koran yang dijajakan kepada pembaca. Zaman sudah berubah. Pembaca koran pun mulai tergerus. Banyak koran yang akhirnya mengibarkan bendera putih. Yang punya modal gede berusaha bertahan dengan mengikuti arah angin: entah beralih ke media online atau edisi e-paper atau juga secara diam-diam mulai menerapkan apa yang sedang in sekarang ini: jurnalisme multiplatform.    

Saya hanya memikirkan sosok Pak Edi yang entah berada di mana sekarang.  Semoga suatu saat Pak Edi muncul dan menebar senyum. Senyum dari Sang Pahlawan surat kabar yang mungkin tak secerah dulu. Ya, setidaknya masih bisa tersenyum!(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun