Di balik Warung Kopi
Untuk menjawab pertanyaan ini saya teringat tradisi warung kopi yang hampir ada di belahan negeri ini. Ketika saya bertugas ke Aceh, betapa nikmatnya saya diajak teman untuk ngopi di sebuah warung kopi tak jauh dari Bandara Udara Blang Bintang di daerah Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Di sebuah warung kopi yang sangat sederhana. Karena alas meja hanya lembaran plastik yang apa adanya. Bangkunya pun begitu. Tetapi sajian kopinya luar biasa. Di warung kopi itu saya melihat bagaimana sebuah komunkasi terbangun. Ada yang datang dan share tentang pekerjaan kebunnya hari itu. Ada juga yang datang dengan cerita anaknya yang tidak mau bersekolah karena lebih suka bermain tembak-tembakan dan segalanya. Mereka bercakap-cakap karena di situ ada proses pertukaran informasi. Mereka suka menyampaikan pendapat dan didengar ceritanya. Ada canda. Ada tawa dan semua hati pun senang.
Hal serupa saya temukan juga ketika saya melakukan tugas jurnalistik ke Manado, Sulawesi Utara. Saudara-saudara saya di sana suka sekali bahkan betah berlama-lama di warung kopi. Saya berkesempatan berkunjung ke sebuah warung kopi di Jalan Dr Sutomo Pinaesaan Kecamatan Wenang Manado. Seperti halnya di Aceh, di sana pun saya temukan sebuah komunikasi yang terbangun dari obrolan. Termasuk topik politik terhangat pun bisa menjadi bahan diskusi. Para pengunjung yang rata-rata kaum adam itu mengeluarkan pendapatnya. Lalu disanggah. Tidak ada yang marah tetapi mereka tertawa lepas sambil sesekali menyeruput kopi dan kukis di meja kayu yang sudah reot itu.
Melihat hal itu, apa tidak sebaiknya media arus utama mengambil komunikasi yang saya sebut jurnalisme warung kopi. Di warung kopi, para pengunjung ingin didengar suaranya. Mereka ingin sekali menyampaikan aspirasinya termasuk juga solusi jika ada topik yang dibahas. Ada beragam topik yang dibagi dan ditanggapi. Semua mendapat kesempatan yang sama untuk berpendapat. Uneg-uneg pun meluncur deras tanpa terbendung.
Mengapa media arus utama tidak mengadopsi itu. Menjadikan pola-pola komunikasi di warung kopi yang kemudian dipindahkan dalam cara penyampaian  pesan seperti halnya di warung kopi. Ada ruang publik yang dibuka secara besar-besaran di sana. Publik diberi tempat. Publik menjadi raja. Â
Jika itu dilakukan saya pikir senja kala media cetak tidak menjadi kenyataan. Karena kuncinya adalah bagaimana media arus utama mau tidak mau; suka tidak suka: meletakkan informasi dalam konteks yang tepat, latar belakang yang sesuai serta perspektif yang jelas dan jernih. Dan, rasanya tidak salah jika meniru apa yang saya sebut "jurnalisme warung kopi".(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H