Warganet Cerewet
Diakui atau tidak media sosial kini sedang naik daun. Loncatan perubahan dalam dunia komunikasi digital yang secepat kilat itu telah mengubah cara berkomunikasi manusia. Rektor saya dulu mengistilahkan "isi pernyataan" untuk konten.
Sayangnya perubahan di media sosial itu tidak diimbangi dengan pendidikan literasi digital yang kuat. Akhirnya orang kini bisa seenaknya menclak-menclek di media sosial. Mereka berselancar tanpa batas. Intinya: kedalaman berpikir sering takluk dengan kecepatan jari-jemari.
Warganet tiba-tiba menjadi "cerewet" di media sosial karena banyak isu berseliweran dengan cepat dan memancing lalu membuat jempol pembacanya "gatal" untuk segera menuliskan komentar.
Singkat kata: media sosial kini menjadi panggung mendeklarasikan diri dengan tujuan agar dilihat banyak orang. "Ini gue, elu mana!" Sayangnya tanpa sadar bahwa perilaku di media sosial kadang juga bisa berimbas ke dunia nyata.
Parahnya lagi media arus utama belakangan ikut bermain dalam ragam media sosial. Bahkan agar berita diklik banyak pembaca, media sosial kini menjadi strategis menyebarkan berita-berita liputannya.
Lantas bagaimana posisi media arus utama? Ikut terus dengan genderang irama media sosial atau bagaimana?
Tanpa sadar media arus utama melupakan apa yang disebut sebagai jurnalisme yang berkualitas, relevan dan bermakna bagi kehidupan publik. Media arus utama kerap lupa bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Lupa bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran bukan hoaks apalagi caci-maki dan malah menjadi penyulut konflik.
Seorang jurnalis senior kepada saya mengatakan begini: hanya dengan kembali pada fungsi-fungsi utama jurnalisme yakni jurnalisme yang lebih berkualitas, relevan dan bermakna bagi publik, media arus utama utamanya media cetak akan mampu menjaga eksistensi dan mempertahankan relevansinya di tengah terpaan gelombang informasi yang bergulung-gulung tak terbatas. Ada yang mengistilahkan sebagai era banjir informasi!
Jujur hal utama yang dihadapi pencari informasi di Indonesia saat ini bukan lagi kelangkaan informasi seperti di masa Orde Baru melainkan adanya situasi kelimpahan informasi atau the abundance of information. Dalam kondisi seperti itu maka pencari informasi perlu mencermati serta memilah informasi yang tersedia dari timbunan gunung informasi. Dan ini sebenarnya menjadi tugas media, jurnalis dan editor untuk membantu masyarakat menyediakan informasi yang dibutuhkan, dianggap penting dan dinilai relevan serta lebih bermakna.
Pertanyaannya: sanggupkah media arus utama melakukan itu di tengah bejibun informasi?