Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manusia Gerobak, Sisi Muram di Balik Gemerlap Jakarta

10 Desember 2017   23:18 Diperbarui: 13 Desember 2017   00:14 6469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Hujan masih deras. Petir saling bersahutan. Malam semakin pekat. Udara dingin mulai menyergap. Itulah cuaca tak bersahabat pada Jumat (8/12/2017) selepas Isya. Pengendara sepeda motor memilih berteduh hingga hujan benar-benar berhenti di fly over Universitas Indonesia (UI), Depok.

Di antaranya adalah Iman (38) bersama gerobaknya. Orang menyebut sebagai manusia gerobak. Ia mengaku bertahan difly over UI Depok sebelum benar-benar mencari tempat yang nyaman untuk bermimpi bersama gerobaknya.

"Rumah di Cibinong. Cari makan di Jakarta. Ya mau jadi apa. Jadilah manusia gerobak seperti ini," tutur Iman. Ia mengaku, sudah hampir lima tahun menjalani hidup sebagai "manusia gerobak" di Jakarta terutama di wilayah Pejaten, Jakarta Selatan.

Ditanya lebih jauh, Iman menggeleng kepalanya. Ia memilih untuk membalut tubuhnya dengan plastik bekas beras agar tidak kedinginan. Yang pasti katanya, menjadi "manusia gerobak" lebih mulia ketimbang menjadi copet atau garong.

Iman adalah salah dari sekian banyak "manusia gerobak" yang mencoba mengais rezeki di tengah gemerlap sebuah kota seperti Jakarta. Hidup adalah perjuangan. Dan menjadi manusia gerobak adalah pilihan bagi mereka yang tidak ingin gagal dalam hidup sekeras di Ibu Kota.

Tak dapat dipungkiri bahwa "manusia gerobak" lahir akibat laju urbanisasi ke Jakarta yang sulit dibendung. Mereka menjadi korban dari apa yang dinamakan pembangunan.

Awalnya manusia didominasi oleh komunitas pemulung yang jumlahnya mencapai ratusan di kota besar seperti Jakarta. Biasanya mereka berkumpul berdasarkan asal daerah. Namun, belakangan ada pula "manusia gerobak" yang berkumpul berdasarkan pekerjaan yang mereka lakukan, tidak berdasarkan asal daerah lagi.

Di mata Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Arie Sudjito, fenomena munculnya "manusia gerobak" termasuk pengemis musiman di Jakarta akibat tidak meratanya pembangunan di daerah.

Selain juga karena mental budaya tidak mau bekerja keras. Ditambah kebiasaan orang kaya di Indonesia yang gemar memberi sedekah kepada kaum dhuafa. Wal hasil penghasilan "manusia gerobak" termasuk pengemis musiman pun bisa lebih besar dari upah minimum regional di Jakarta yang sebesar Rp 3,4 juta per bulan.

Apalagi Jakarta dianggap sebagai kota yang mudah untuk mencari duit oleh sebagian orang dari kampung. "Mereka yang polos dari desa menjadi negatif karena ikut-ikutan saudara atau temannya yang merasakan lebih dulu. Jadi, kebiasaan negatif dilakukan terus karena uangnya banyak," katanya.

Ketimpangan Sistem Kota

Namun, lepas dari itu keberadaan "manusia gerobak" setidaknya menggambarkan adanya ketimpangan dalam sistem kota di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Kemunculan "manusia gerobak" merupakan sebuah fenomena sosial budaya di lingkungan perkotaan yang juga merupakan variasi baru bagi kemiskinan di perkotaan yang disebabkan ketimpangan kota pusat dan kota penyangga.

Perubahan status metropolitan menjadi megapolitan adalah kebijakan yang baru tetapi jelas semakin membuat relasi antarkota menjadi timpang. Akhirnya, arus urbanisasi terus mengalir dari daerah penyangga Jakarta menuju Ibu Kota. Daerah di luar penyangga itu belakangan ikut menyumbang laju urbanisasi.

Bisa dikatakan "manusia gerobak" adalah pola urbanisasi tingkat lanjut. Jika mereka memilih untuk menetap di Jakarta, pasti ini akan menjadi persoalan bagi Jakarta (juga kota besar lainnya di Indonesia). Kehadiran "manusia gerobak" bisa saja menjadikan Ibu Kota sebagai kota yang semakin tidak beradab atau kota yang semakin primitif.

Siapapun yang memimpin Jakarta (sekarang ini Anies-Sandi), persoalan urbanisasi menjadi pekerjaan utama yang harus dicarikan solusinya. Dalam konteks ini kerja sama antar-Jakarta dengan daerah peyangga menjadi mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sudah bukan zamannya lagi sebuah kota berkembang dengan usahanya sendiri. Dia menjadi sangat tergantung dari daerah di sekitarnya.

Karena itu, Jakarta harus tetap membangun hubungan yang baik dengan kota-kota di sekitarnya. Entah apakah langkah silaturahmi, minimal dengan pemimpin daerah di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sudah dilakukan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Fenomena "manusia gerobak" dapat diselesaikan dengan sebuah hubungan mutualisme antara Jakarta dengan daerah pemasok "manusia gerobak".

Hujan belum reda juga. Malam semakin larut. Udara mulai menusuk tulang-belulang. Akhirnya, Iman, manusia gerobak asal Cibinong akhirnya memilih "bermalam" di fly over Universitas Indonesia, Depok. Dia mencoba bermimpi indah walau terkadang menjadi "manusia gerobak" kerap dipandang sebelah mata.

Selamat malam menyembul di langit yang masih sepi dari hamparan bintang. Iman terlelap di gerobaknya. Satu per satu pengendara sepeda motor pun pergi. Kini tinggal Iman dan gerobaknya yang bertahan di fly over Universitas Indonesia (UI) Depok. Berharap rezeki menyapa esok pagi. Setidaknya!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun