Â
Peran strategis kaum sofis mulai mendapat karpet merah di Athena pada pertengahan hingga akhir abad ke-5 SM. Gerakan itu muncul setelah perang Persia, kala itu Yunani berhasil menumbangkan pasukan Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Periode itu menjadikan Athena, yang merupakan representasi Yunani mengalami perkembangan pesat di bidang pendidikan, politik dan ekonomi.
Seiring meningkatnya kesejahteraan rakyat Athena masa itu, kaum sofis yang memiliki kemampuan argumentasi dengan seni retorika canggih semakin dicari untuk banyak kebutuhan. Masyarakat membutuhkan skil kaum sofis untuk menjadi tenaga pengajar dengan imbalan sejumlah uang. Yang paling membuat kaum itu mashyur adalah mereka mampu membuat argumentasi andal sesuai pesanan. Karena sofisme memegang teguh prinsip, bahwa kebenaran bersifat relatif adanya.
Jejaring sofisme terus berkembang terstruktur, sistematis, dan masif. Politik menjadi ruang yang paling dekat dan berpotensi disusupi oleh prinsip sofisme. Tak dipungkiri, tidak mudah untuk menjadi seorang sofis.Â
Selain harus memiliki kemampuan beretorika dalam kekuatan argumentasi, seseorang harus memiliki mental yang tangguh untuk berani mengatakan bahwa sifat kebenaran tergantung dari pesanan.
Tak hanya di Athena ribuan tahun lalu. Hari ini di Indonesia peran strategis kaum sofis masih mendapat ruang terhormat. Terlebih dalam masa tahun politik menuju pemilihan umum (Pemilu).Â
Bagaimana tidak, sofisme menjadi pilihan terbaik bagi sebagian orang yang akan bertarung dalam kontestasi politik.Â
Di tangan kaum sofis, karakter kontestan akan dikemas seindah pesanan. Rekam jejaknyapun akan dihadirkan sebagai sebuah sajian prestasi, dengan retorika dalam argumentasi ulung.
Bukan mereka (kaum sofis) tidak mengetahui realitas sesungguhnya, memang itu tugasnya. Mereka tak lagi melihat siapa yang memesan jasanya, sebatas timbal jasa yang diliriknya.Â
Pragmatisme kaum sofis sudah mengakar sekuat akar semeru di Indonesia. Sebarannya tidak terbatas pada kota-kota besar saja, dinamika politik di pelosok negeri hari ini sudah diwarnai pergerakan kaum sofis. Tidak lagi menjadi milik orang-orang dengan latar belakang pendidikan dan profesi tertentu, siapapun berkesempatan menjadi penganut sofisme.
Ilustrasi pragmatisnya dalam konflik kucing dan tikus, misalnya. Sangat mudah bagi kaum sofis untuk menjadi tikus, ketika yang membayarnya adalah para pendukung kepentingan tikus. Sebaliknya, tidak sulit menjadi kucing jika pesanannya adalah membangun argumentasi positif tentang kucing.
Tentu, pergerakan sofisme mengancam kebajikan dalam berpolitik. Standarnya atas kebenaran akan menjadi wabah bagi kebajikan jika tidak ada upaya resistensi.Â
Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, atau partai politik semata. Harus ada gerakan kolektif yang komperehensif dan masif mengkampanyekan kebajikan dalam berpolitik. Setidaknya membatasi ruang bagi penganut sofisme dan ramai-ramai menggulung karpet merah untuk kaum sofis di tanah air tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H