Mohon tunggu...
Norika Dewi
Norika Dewi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

a reader, a listeners..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mawar untuk Mario

29 Oktober 2011   13:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:19 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Selamat siang, benar dengan Mbak Neisya?” Tanya seorang kurir dengan berpakain seragam identik dengan salah satu jasa pengiriman barang ternama di Indonesia. “Benar saya Neisya” lalu ia menyerahkan kertas resi beserta sekotak semacam kado berwarna merah dan pita merah jambu diatasnya. Warna yang apik. Setelah ku tandatangani resi, ia pergi dengan mengucap terimakasih. Aku tersenyum menebak-nebak apa isinya. Tentu saja isi yang akan ku kenakan untuk malam istimewa. Malam itu.

Isi dari kotak warna merah itulah yang sore ini juga ku kenakan. Setelan baju muslimah dengan celana pipa warna putih. Bagian depannya, dihiasi begitu banyak manik-manik cantik warna warni membentuk tumpukan bunga lili. Indah bila mataku memandang lewat cermin besar di lemari kamarku. Tak lupa pula ku kenakan sepasang sandal jepit warna putih gading yang  juga ada dalam kotak tersebut. Ada bunga mirip mawar rajut di setiap sisinya. Aneh, warna rajutan pita mawarnya berwarna hitam. Kontras dengan warna mawar yang selama ini ada di dunia. Selain setelah pakain muslimah, juga sandal, ada pula kerudung yang biasa di lipat segitiga. Warnanya senada dengan warna sandalnya. Putih, namun gelap. Juga ada tas meskipun tak bermerk, begitu nyaman dalam tentangan tanganku. Mario memang tahu betul apa yang menjadi seleraku, gaya yang ku suka dan yang paling utama adalah membuatku merasa nyaman bila dikenakan.

===

Hari itu belum juga senja. Tapi hangatnya mentari sore serasa sudah menghangati tubuh juga hatiku. Seolah ada sebuah tenaga yang memberiku doa juga semangat. Ah, entah apa.

Sejak pagi, aku sudah standby di salon muslimah yang sudah lama jadi langgananku. Salon ini luas, memang ditujukan khusus untuk para muslimah. Meskipun namanya salon muslimah, mereka tidak menutup diri untuk melayani langganan wanita noni alias non-islam. Beberapa anak cabangnya juga ada di kota besar di Indonesia. Khususnya Pulau Jawa. Sebenarnya, dalam rangka meningkatkan pelayanannya mereka tentu bersedia datang ke rumah untuk mendandaniku. Tapi aku lebih memilih untuk mendatangi sendiri salon ini. Bukan karena aku tak mampu membayar lebih sebagai upah jalan pegawai yang menyambangi rumahku, tapi ada yang harus aku beli khusus untuk Mario sepulang dari salon.

===

Khusus hari ini, Riki tak akan menghubungiku. Tidak lewat telephone, SMS, atau sekedar chat. Bukan karena aku merasa terganggu dengannya. Tapi ini adalah hari terakhirku melakukan ritual tahunan yang sudah kulakukan selama enam tahun terakhir. Ini adalah tahun ke tujuh. Tahun terakhirku untuk menyendiri. Selama ini aku sudah bersabar menerima julukan si Single Happy alias perawan tua dari seluruh kawan yang sudah lebih dulu naik pelaminan. Aku tak tahu, aku yang terlambat atau mereka yang terlalu cepat. Baru juga usiaku kepala tiga tapi semua sudah menilai diriku tua. Namun sejujurnya, setelah hari ini aku mungkin akan sedikit lega. Aku akan meninggalkan status yang saat ini menyiksaku juga status yang dinilai oleh keluarga besarku sebagai status yang memalukan. Ah, mungkin kata Wali aku adalah wanita yang tak laku-laku.

Aku sudah berjanji akan menemui Mario sore ini. Ku hampiri kios bunga yang juga sudah menjadi langgananku tepat tujuh tahun ini. Seperti biasanya tanpa menyebutkan pesanan, pegawai kios akan segera melayaniku. Seolah kedatanganku yang rutin setiap tahun ini adalah sebagai seorang penagih. Usai dilayani, aku akan mengulurkan selembar uang tanpa meminta kembalian. Tak ku jelaskan pula hari ini akan jadi hari terakhirku menjadi pelanggannya. Aku memang terlalu banyak diam dalam menjalani ritual tahunan ini.

Sebagai tanda setia untuk Riki, hari ini aku berjanji tak akan menemui Mario lagi. Sebaliknya, sebagai tanda setia pada Mario pulalah, akan ku jadikan hari ini adalah hari terakhirku menemuinya. Sekaligus aku meminta restu. Restu untukku menerima pinangan Riki. Sungguh aku tak munafik bahwa Riki adalah pria yang paling tepat menggantikanmu. Meskipun kami terpaut usia cukup jauh. Dan secara fisik kalian berbeda, tapi.. Ah sudahlah. Aku tak ingin di bilang sebagai perempuan jalang. Menginginkan Riki, namun juga tetap bersamamu, Mario. Itu sudah tak mungkin lagi. Aku tak ingin rencana mengakhiri masa lajangku jadi berantakan. Meskipun Riki memahami betul perasaanku pada Mario, tapi aku tak mau terkungkung dalam masa lalu. Itu tak adil bagi Riki. Bagiku sekarang, Mario adalah masa yang tak perlu di buang secara paksa. Aku yakin, dengan sendirinya waktu akan mengikis yang sudah berlalu.

===

Mario tak pernah suka dengan bunga. Apalagi aromanya. Pernah suatu ketika, Mario berpesan jika ia berpulang ke rumah Tuhan, ia tak ingin ada setangkai bungapun menemaninya di pekuburan. Ia ingin sendiri. Benar-benar sendiri menghadap sang khalik. Tapi itu mungkin hanya sebagai filosopi, sebab aku tahu Mario hapal betul sifatku. Aku terlalu takut makhluk halus. Tentu saja makhlus halus tak terlihat, namun biasanya mucul dengan dibarengi bau wangi khas melati yang seolah memberi tanda.

Seolah melupakan pesan itu, setiap datang ke pekuburan aku selalu merangkai mawar putih di atas nisan yang mulai usang. Kubersihkan beberapa daun kamboja kering yang menutupi gundukan tanah merah yang mengering. Juga tak lupa ku cabuti rumput liar yang tumbuh. Bulan ini adalah musim kemarau, namun tanpa malu rumput mencuat tinggi mengintip dari tanah yang di dalamnya terdapat jasad tubuhmu. Tubuh yang dulu hancur mengucurkan darah segar hanya selang beberapa jam kita resmi bertunangan. Ku bayangkan bila saat ini kau masih ada, masih bernafas di dunia yang fana ini. Mungkin kau akan lebih bahagia, memandangiku yang dulu kau bilang cantik. Kau masih ingat, di hari terakhir kita bertemu? Hari ini aku ulangi mengenakan pakaian yang tujuh tahun lalu kau kirim dalam sebuah kotak merah berpita merah jambu. Aku tak akan lupa hari itu, hari dimana setelah itu ada kecelakaan yang merenggut nyawamu juga nyawa kedua calon mertuaku.

Usai ku curahkan rinduku sejak tujuh tahun lalu, usai ku cucurkan air mataku yang puas mengailir, juga seusai ku panjatkan banyak doa untukmu juga kedua orangtuamu, ku lantunkan surah Al-Fatihah sebagai penutupnya, kakiku mulai ringan meninggalkan tanah pekuburan. Senja mulai tenggelam. Sebentar lagi malam menyapa, dan dari balik pohon kamboja putih yang melambaikan bayangan menutupi nama sebuah nisan bertuliskan Mario. Mario bin Hasan. Setumpuk mawar putih ini untukmu. Untuk menemanimu..

===

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun