Mari kita bertanya kepada para penggemar pisang goreng, mengapa tidak mensyukuri pemberian Tuhan dengan memakan langsung buah pisang melainkan harus diolah dulu sedemikian rupa. Apakah itu tidak mensyukuri apa yang sudah diberikan Tuhan? Mengapa pula ada ketidakpuasan lalu merasa perlu mengolahnya lagi?
Sebagaimana dulu nenek moyang tak mengenal kosmetik apa pun lalu itu semua berubah menjadi sedemikian radikal jika dibandingkan dengan zaman ini, persis buah pisang yang berubah jadi pisang rebus, pisang goreng, dan lainnya. Tak perlu mundur jauh ke era primitif tetapi cobalah tengok ke beberapa puluh tahun lalu saja.Â
Nenek kita yang berbedak tipis saja sudah dianggap pesolek. Selanjutnya kita sama-sama tahu bahwa dunia mode mulai merambah bibir, di mana bibir pun mesti dimerahkan dengan gincu--bahkan sekarang sudah ada sulam bibir. Merambah pula ke alis, bulu mata dan akhirnya mengubah bentuk muka dengan oplas. Semuanya amat bertahap dan sistematis, menciptakan standar-standar dandan baru dalam eranya masing-masing.
Mungkin di zaman dulu dengan standar berbeda, berbedak saja sudah dikatakan berlebihan. Namun selalu saja ada pihak yang membuat terobosan baru menembus batas-batas nilai yang ada, sekalipun itu dianggap mendegradasikan etika dan moral yang berlaku.
Perlahan namun pasti, seperti mencairnya balok es, nilai-nilai etika dan moral itu pun perlahan runtuh, lalu semuanya menjadi wajar. Semuanya demi kepuasan manusia semata. Kepuasan tanpa batas.
JAVARIO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H