Mohon tunggu...
Norberth Javario
Norberth Javario Mohon Tunggu... Konsultan - Penjaga Perbatasan

Menulis semata demi Menata Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pengalaman Manis Menjadi Caleg

8 Januari 2023   07:31 Diperbarui: 24 Januari 2023   13:15 1935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD)

Meski Pemilu 2024 masih 13 bulan lagi namun baiklah kita masuk ke dalam nuansanya. Ajang Pemilu selalu mengingatkan saya pada suatu romansa yang saya kategorikan sebagai kecelakaan. 

Kecelakaan yang saya alami pada suatu hari yang panas di bulan Agustus 2008 itu sungguh membuat senyum. Bahkan senyum itu akan terus mengembang hingga saat ini jika dikenang.

Memang, sesuatu yang pahit akan terasa semakin manis seiring berjalannya sang waktu namun perlu ditegaskan bahwa ini bukanlah cerita pahit. Sama sekali tidak. 

Hal yang saya alami bukan dari pahit menjadi manis melainkan hal manis yang bahkan terasa semakin manis. Kok, bisa? Kecelakaan macam apa pula itu? Yang namanya kecelakaan ‘kan sudah pasti membuat jeri?

Begini ceritanya:

Kala itu, sekelompok orang sibuk melengkapi berkas untuk menjadi Calon Legislatif DPRD Kabupaten/Kota alias niat mereka adalah ingin menjadi anggota dewan. 

Saya sementara berada di tengah-tengah mereka namun sama sekali tak menaruh perhatian pada apa yang dikerjakan mereka, hanya wara-wiri tak jelas. Karena tak ada yang dibuat, berinisiatiflah saya membantu mereka demi memperlancar. Jadilah saya mengetik, memindai, mencetak, dan lain-lain layaknya orang sibuk mengerjakan administrasi.

Hari itu juga bereslah semuanya. Meski demikian, kuota Caleg untuk Dapil IV belum terisi lengkap. Saya melihat beberapa orang berdiskusi kecil.

Dari lagaknya, saya paham maksud dan tujuan mereka berbisik-bisik namun saya pura-pura cuek bebek. Walau cuek macam bebek, tapi saya tak sampai berjalan megal-megol kayak bebek kwekwek. Saya hanya diam di tempat, pasang aksi sedemikian rupa sehingga nampak wibawa.

Setelahnya, mereka mendatangi saya dan dengan sopan meminta sekiranya tak keberatan, saya melengkapi berkas demi memenuhi daftar.

Alasan mereka, Dapil IV ini jaraknya jauh dari kota dan telekomunikasi sulit. Tambahan lagi, waktunya sudah amat mepet. Permintaan ini juga sebagai penghargaan sebab mereka telah dipermudah urusannya oleh saya. Saya mengiyakan, toh untuk sekedar formalitas, sih, tak mengapa. Nanti juga suara yang diperoleh akan diberikan pada Caleg nomor urut 1.

Singkat cerita, nama saya resmi dinyatakan sebagai Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota nomor urut terbawah. Pembaca pasti sudah bisa menarik kesimpulan, inilah yang saya anggap sebagai kecelakaan manis seperti tersebut di awal.

Skenario berbelok tatkala aturan Pemilu berubah di mana akumulasi suara bukan ditimpukkan ke Caleg nomor urut 1 tetapi ke Caleg dengan suara terbanyak, tak peduli nomor urutnya. 

Sejak itu, suhu politik pun ikut berubah. Yang pasti makin meninggi. Ada celah untuk diintip, celah yang berpeluang mengubah nasib mereka yang semula berada pada nomor urut 2, 3, dst, dari sekedar pelengkap menjadi aktor utama. Arena bukan lagi milik satu orang tetapi terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi pemenang.

Walaupun demikian, itu tidak berarti apa-apa bagi saya. Kesibukan pemain politik lain dalam mendulang suara sama sekali tak menggugah saya. Sebagaimana tujuan awal untuk sekedar menjadi pelengkap, demikian pula saya kukuh bersikap. 

Partisipasi saya di Pemilu 2009 hanya sebatas mendaftarkan diri semata, tak ada rencana tindak lanjut dari situ. Tak ada terobosan brilian yang dibuat, tak ada manuver politik berkelas, tak ada pembentukan tim sukses, apalagi rapat-rapat politik. Tak ada sama sekali. Saya memposisikan diri sebagai penonton karena itulah yang saya anggap realistis.

Ada beberapa alasan mendasar dari sikap ini. Pertama, saya berada pada Dapil IV, wilayah yang disinggahi hanya beberapa kali seumur hidup, bahkan dalam hitungan sepuluh jari pun tak habis. Bagi saya, berjuang untuk daerah pemilihan dari wilayah yang tak saya kenal merupakan hal absurd. 

Kedua, saya tak punya cukup sumberdaya demi memuluskan langkah, utamanya uang. Saya sadar, mustahil hanya bermodalkan temu kangen saja.

Dalam setiap pertemuan, minimal mesti ada uang sirih-pinang, rokok, dan transport bagi massa yang diundang. Belum lagi insentif buat tim sukses. Itu semua butuh kucuran dana tak sedikit. kita semua mahfum, ongkos politik mahal sekali.

Karena saya tak peduli, orang-orang terdekat malah geregetan sehingga tanpa sepengetahuan saya, dibuatlah kartu nama saya. Ada foto saya gagah berjas, nama lengkap, nama dan logo partai, dan nomor urut dengan sketsa paku kecil menancap ke nomor tersebut. Nomor paling bawah.

Oh, ya, masih ada lagi. Tertera juga nomor ponsel 12 digit, terang benderang. Ada ratusan kartu nama seukuran KTP tapi lebih besar lagi, disebar ke seantero wilayah Dapil IV.

Sejak itu, ponsel saya sering berdering dihubungi nomor-nomor baru menawarkan lokasi pertemuan, jadwal bahkan dengan jumlah massa. Plus satu iming-iming penting: basis mereka belum didatangi satu Caleg pun. Padahal saya tahu pasti, sudah begitu banyak Caleg berseliweran ke sana kemari, nyaris tak menyisakan daerah perawan.

Tapi pada akhirnya saya melakukan kunjungan juga ke 2-3 titik tertentu. Saya diantar oleh tokoh-tokoh kunci, diberi kesempatan berbicara apa adanya tapi tak menjanjikan apa-apa. 

Sejujurnya, mungkin saya Caleg yang paling tak dianggap. Dengan penampilan apa adanya--sederhana bin merana--jelas tak menimbulkan kesan bagi orang-orang. Seperti hujan gerimis yang hanya sekejap lewat dan dilupakan, lalu orang-orang bergegas melanjutkan aktivitasnya, begitu pun saya adanya. Datang lalu dilupakan.

Tak perlu mengharapkan kejutan di akhir cerita panjang ini. Tak ada keajaiban. Pada akhirnya--sesuai pengumuman resmi--saya mendapat 5 suara. Apa yang ditabur, itulah yang dituai. 

Apa yang didapat, sepadan dengan yang diberi. Sesudah pengumuman dari lembaga berwenang, ada laporan masuk dari orang-orang dekat bahwa 5 suara itu hanya dari mereka di dalam rumah itu saja. Mereka kecewa karena si A dan si B “lari”, si C dibayar Caleg X dll dll, namun seperti lagunya Dewa, semua saya hadapi dengan senyuman.

Aneh memang, biasanya Caleg gagal-lah yang dihibur oleh pendukungnya tapi kali ini malah saya yang menguatkan hati mereka supaya tetap kuat menerima kenyataan.

Saya menjalani hari-hari tanpa rasa gelisah. Sedikit pun tak ada rasa kecewa. Apa pun hasilnya, saya senang sebab pernah merasakan turut bertarung dalam momen lima tahunan ini meski tak sampai berkubang dalam.

Sejarah pesta demokrasi pernah mencatat nama saya dengan tintanya, bahwa saya pernah mengharu biru dalam dinamika politik Kabupaten Belu dengan hasil akhir meraup 5 suara.

***

JAVARIO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun