Alasan mereka, Dapil IV ini jaraknya jauh dari kota dan telekomunikasi sulit. Tambahan lagi, waktunya sudah amat mepet. Permintaan ini juga sebagai penghargaan sebab mereka telah dipermudah urusannya oleh saya. Saya mengiyakan, toh untuk sekedar formalitas, sih, tak mengapa. Nanti juga suara yang diperoleh akan diberikan pada Caleg nomor urut 1.
Singkat cerita, nama saya resmi dinyatakan sebagai Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota nomor urut terbawah. Pembaca pasti sudah bisa menarik kesimpulan, inilah yang saya anggap sebagai kecelakaan manis seperti tersebut di awal.
Skenario berbelok tatkala aturan Pemilu berubah di mana akumulasi suara bukan ditimpukkan ke Caleg nomor urut 1 tetapi ke Caleg dengan suara terbanyak, tak peduli nomor urutnya.Â
Sejak itu, suhu politik pun ikut berubah. Yang pasti makin meninggi. Ada celah untuk diintip, celah yang berpeluang mengubah nasib mereka yang semula berada pada nomor urut 2, 3, dst, dari sekedar pelengkap menjadi aktor utama. Arena bukan lagi milik satu orang tetapi terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi pemenang.
Walaupun demikian, itu tidak berarti apa-apa bagi saya. Kesibukan pemain politik lain dalam mendulang suara sama sekali tak menggugah saya. Sebagaimana tujuan awal untuk sekedar menjadi pelengkap, demikian pula saya kukuh bersikap.Â
Partisipasi saya di Pemilu 2009 hanya sebatas mendaftarkan diri semata, tak ada rencana tindak lanjut dari situ. Tak ada terobosan brilian yang dibuat, tak ada manuver politik berkelas, tak ada pembentukan tim sukses, apalagi rapat-rapat politik. Tak ada sama sekali. Saya memposisikan diri sebagai penonton karena itulah yang saya anggap realistis.
Ada beberapa alasan mendasar dari sikap ini. Pertama, saya berada pada Dapil IV, wilayah yang disinggahi hanya beberapa kali seumur hidup, bahkan dalam hitungan sepuluh jari pun tak habis. Bagi saya, berjuang untuk daerah pemilihan dari wilayah yang tak saya kenal merupakan hal absurd.Â
Kedua, saya tak punya cukup sumberdaya demi memuluskan langkah, utamanya uang. Saya sadar, mustahil hanya bermodalkan temu kangen saja.
Dalam setiap pertemuan, minimal mesti ada uang sirih-pinang, rokok, dan transport bagi massa yang diundang. Belum lagi insentif buat tim sukses. Itu semua butuh kucuran dana tak sedikit. kita semua mahfum, ongkos politik mahal sekali.
Karena saya tak peduli, orang-orang terdekat malah geregetan sehingga tanpa sepengetahuan saya, dibuatlah kartu nama saya. Ada foto saya gagah berjas, nama lengkap, nama dan logo partai, dan nomor urut dengan sketsa paku kecil menancap ke nomor tersebut. Nomor paling bawah.
Oh, ya, masih ada lagi. Tertera juga nomor ponsel 12 digit, terang benderang. Ada ratusan kartu nama seukuran KTP tapi lebih besar lagi, disebar ke seantero wilayah Dapil IV.