Di bangku kuliah, saya dikenalkan pada disket. Benda persegi panjang itu dapat menyimpan materi-materi mata kuliah yang membosankan, sementara saya dan teman-teman bisa menggunakan otak alami yang letaknya di kepala ini untuk bersenang-senang khas mahasiswa yang kurang serius kuliah. Lalu semuanya cepat berubah di mana disket berkapasitas 1,44 MB tiba-tiba hanya jadi sejarah saja. Posisinya digantikan hardisk berkapasitas besar dan dari waktu ke waktu bertambah dan bertambah besar. Obsesi kita terhadap sesuatu yang makin besar pada dasarnya merupakan hal tak aneh, bukan?
Kita bisa menyimpan dokumen dalam format apa saja, bisa menyimpan puluhan film favorit, atau berpuas diri mengambil ratusan foto dalam satu kejadian tak penting untuk selanjutnya menyimpan semuanya ke dalam hardisk itu.
Disket, hardisk, google drive dan lainnya semacam itu pada dasarnya adalah memori buatan yang tugas utamanya membantu otak menyimpan informasi. Kini kita tak perlu repot-repot mengingat atau mencari kenangan masa lalu penting. Pekerjaan kita terbantu dengan otak buatan seperti tersebut di atas. Kita cuma mencarinya di dalam hardisk, atau membuka google drive. Semuanya ada seperti pada waktu kita menyimpannya di awal, tak kurang suatu apa.
Ada juga internet yang menyimpan miliaran data. Untuk mengingat peristiwa olahraga penting seperti Piala Dunia 1998, misalnya--di tanggal 3 Januari 2023 ini--saya hanya tinggal mengetik kata kuncinya, semuanya akan ditampilkan. Lengkap. Sungguh mengasyikkan jika hanya dengan bermodalkan kuota internet dan kelincahan jari-jemari saja, kita mendapat informasi berlimpah ruah sedetail mungkin yang bahkan tak semuanya berguna buat kita. Kehilangan bundelan BOLA nyaris tak lagi berarti. Meski nilai sejarah bundelan tersebut tak tergantikan, internet masa kini memberi saya informasi jauh lebih lengkap daripada bundelan-bundelan itu.
***
Sesuai karakter alami manusia yang terobsesi ingin selalu lebih dan lebih lagi, media penyimpanan pun bertambah. Ada satu fenomena yang saya lihat di Facebook. Orang-orang mendokumentasikan kegiatannya di "dinding", entah itu berupa narasi maupun gambar. Dinding menjadi sarana penyimpanan yang mudah dicari sebab ada opsi untuk memilih postingan kita sesuai waktu tertentu.
Jika Anda berada pada suatu perayaan misalnya, hanya dengan beberapa foto dan narasi singkat, beberapa kali klik, menunggu beberapa detik laksana pesulap Houdini, muncullah semuanya di dinding, abadi selamanya. Facebook akan dengan senang hati mengingatkan Anda tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, jam dan hari yang sama.Â
Suatu hari di tahun 2030, Anda mungkin tak ingat momen bersejarah itu namun tiba-tiba Anda dikagetkan dengan pemberitahuan di ponsel, mengingatkan. Beberapa detail sudah betul-betul terlupakan namun begitu Anda membuka foto-fotonya, Anda seakan terbang masuk kembali ke saat itu. Sungguh, media penyimpanan sekaligus pengingat yang simpel namun efektif.
Pada momen sepak bola akbar semisal Piala Dunia, saya menyempatkan waktu menulis narasi tentangnya lalu menjadikannya status Facebook. Tak afdol rasanya tak melibatkan diri, masuk ke dalam ingar-bingar pesta Piala Dunia, pesta nan glamour. Inilah pilihan saya untuk terus mengenang peristiwa bersejarah empat tahunan tersebut. Bukan hanya soal Piala Dunia namun jika ada hal yang dirasa penting -- sesuai dengan kalimat provokatif di dinding: apa yang Anda pikirkan -- kita bisa melakukan apa saja.
Media sosial selalu memunculkan dua sisi bertolak belakang. Ia bisa memisahkan orang-orang, membuat polarisasi, namun secara pribadi, saya, dan juga banyak lainnya, memanfaatkannya untuk menyimpan sesuatu yang dirasa penting, dan akan menjadi kenangan. Tanpa disadari, media sosial telah menjelma menjadi otak buatan.Â
Terdengar aneh memang, tapi ada orang tertentu yang saking sibuknya sampai lupa tanggal ulang tahunnya sendiri. Semoga bukan Anda salah satunya.