Mohon tunggu...
Norberth Javario
Norberth Javario Mohon Tunggu... Konsultan - Penjaga Perbatasan

Menulis semata demi Menata Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Deja Vu 1986, Dewa Zeus, dan The Perfect Storm

19 Desember 2022   12:51 Diperbarui: 11 Januari 2023   15:59 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum laga final dimulai, publik bola mendapati begitu banyak persamaan situasi Argentina saat ini dengan situasi Argentina tiga puluh enam tahun silam. Relatif mudah untuk mencari benang merahnya.

 Silakan Anda mencari berita mengenai sepak terjang Diego Armando Maradona lalu bandingkan dengan apa yang diberikan Lionel Andres Messi buat Argentina sejauh ini. 

Pola-pola begitu mirip bergerak membentuk plot cerita antara dua tokoh tersebut. Singkat cerita, para pendukung Argentina berharap dapat merajut mimpi indah serupa dengan mimpi yang ditiupkan Maradona di Piala Dunia Meksiko 1986, di mana Argentina keluar sebagai juara setelah menghempaskan perlawanan gagah berani tim Jerman Barat.

Seperti tiga puluh enam tahun lalu, lawannya kini pun berasal dari Eropa. Tetapi bukan Jerman. kita perlu bergeser ke arah Barat Daya guna menjumpai lawan tangguh kali ini: Prancis.

Di luar dugaan, Argentina menempatkan Prancis dalam kesengsaraan tak terperi. Tak heran Argentina bisa memimpin 2 gol, terus mempertahankan kepercayaan diri, dan begitu nyaman dalam mendikte permainan. Setidaknya sampai menit ke-80.

Tak dinyana, hanya dalam dua menit - bagai Revo Koperasi - Les Bleus melaju kencang, lalu sim salabim, tiba-tiba papan skor menunjukkan angka 2-2! Penagih bermotor Revo sukses menjumpai krediturnya! Bahkan di saat Argentina membuat gol lagi seolah bakal mengakhiri laga, Prancis tak menyerah untuk memaksa skor akhir jadi 3-3. Sungguh mendebarkan. Sayang, di babak adu penalti, Prancis tak kuat menahan tekanan mental dan akhirnya kalah. Dengan demikian, Argentina mengulang sejarah manis yang diukir tahun 1986.

***

  

Pesta terakbar sepak bola telah usai. Bisa dipastikan, banyak pendukung Cristiano Ronaldo yang menggeliat gelisah di kursi mereka sewaktu mendapati kegembiraan Argentina. 

Selama ini, membandingkan siapa yang terbaik di antara keduanya menciptakan gelombang perdebatan tak berujung serta memantik diskusi sengit penuh kertakan gigi. Lihat saja, capaian prestasi individu maupun secara tim keduanya berkejaran tiada habisnya dan nyaris setimbang. Apa yang diraih Ronaldo, dengan cepat diraih pula oleh Messi - demikian pula sebaliknya - baik itu di level klub maupun negara, baik itu gelar individu maupun secara tim.

Inilah mengapa orang-orang sanggup untuk tak berhenti membandingkan. Tak dipungkiri, ada keasyikan dan kenikmatan tersendiri melihat persaingan hebat di antara dua manusia super ini. 

Secara obyektif penilaian, Ronaldo dan Messi adalah duo pesepak bola hebat dan paling konsisten kurang lebih lima belas tahun terakhir. Mereka menunjukkan bahwa mereka pantas mendapat puja-puji setinggi langit dan sorotan bak selebritis.

Tetapi mendapati kenyataan dini hari tadi, harus jujur diakui Messi telah berada satu anak tangga di atas Ronaldo. Kita menjadi saksi sejarah melihat Messi melakukan lompatan bersejarah dalam karirnya dengan merebut Piala Dunia, lambang supremasi tertinggi sepak bola antarnegara. Menilik usia dua tokoh hebat ini, rasanya ini bakal jadi Piala Dunia terakhir mereka dan kemungkinan besar, berakhir pula cerita Ronaldo untuk menyamai lompatan Messi hari ini.

Pada puncak pencapaiannya ini, Messi tidak bisa disejajarkan lagi dengan Ronaldo. Perdebatan bertema siapa pesepak bola terbaik di muka bumi secara resmi ditutup. Saat Lionel Messi mengangkat trofi Piala Dunia Qatar 2022 dalam seremonial nan megah, saat itu pula Messi menahbiskan diri menjadi Dewa Zeus, raja para dewa dalam mitologi Yunani. 

Di daftar nama pemain yang masih aktif bermain, bolehlah kita menyebut Ronaldo, Ibrahimovic, Salah, Halland atau Mbappe sebagai dewa-dewa tapi Messi jelas berada di singgasana lain. Menaruh Messi di deretan yang sama dengan mereka jelas merupakan ketidakadilan. Tak bisa dibantah lagi, julukan GOAT, akronim dari Greatest Of All Time pantas diberikan pada pria berumur 35 tahun dari Rosario ini.

***

Kalahnya Prancis berarti gugur pula semua prediksi saya. Rupanya saya lebih sering salah dalam dunia tebak-menebak seperti ini. Sebagai contoh dalam permainan bola guling, sering saya pulang dengan kecewa. 

Melihat wajah sang bandar saat hendak pulang dengan kekalahan itu seperti melihat wajah penjahat dalam film India. Menjengkelkan. Begitu pun dalam dunia "cakar-mencakar" Kupon Putih, antara angka yang diisi dengan hasil yang keluar berbeda jauh. Sungguh, jauh panggang dari api. Amat mengherankan, sih, jika ada orang yang bisa menebak 4 angka tepat dan mendapat siraman bonus puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Sebelumnya saya menjagokan Jerman yang malah tampil memalukan. Kemudian saya berharap besar pada Kroasia. Eh, hanya merebut perunggu. Lalu keliru pula mendukung Prancis di final. Saya mengakui kalah beruntung. Tetapi jangan lupa bahwa bola itu bulat sehingga jika seseorang tepat memprediksi, hal itu dikarenakan ia semata beruntung, bukan karena ia hebat.

Dengan gugurnya semua tim saya, lenyap pula semua kegembiraan, tenggelam hilang seperti kapal ikan Andrea Gail dalam film The Perfect Storm. Film yang dibintangi George Clooney itu berakhir dengan tragis manakala semua tokohnya mati tenggelam saat melaut. 

Tanpa sadar, mereka terjebak di tengah tiga badai besar yang bertabrakan di Atlantik. Seperti antena radio yang terbang hilang diterjang angin, disusul terbaliknya kapal, Sang Kapten yang tenggelam, lalu gulungan ombak setinggi gunung menyedot kru lainnya ke dalam pusaran, demikian pula akhirnya Jerman, Kroasia, lalu Prancis, tergulung dalam cerita pahit Piala Dunia Qatar 2022. Sejarah itu kejam sebab ia tak mengingat pihak yang kalah.

Jelas bahwa kekalahan itu menyesakkan, namun di tengah rundungan kesedihan, ingatlah kata-kata Hitler, "Siapapun bisa menghadapi kemenangan tapi hanya orang hebatlah yang bisa menghadapi kekalahan."

JAVARIO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun