Mohon tunggu...
Norberth Javario
Norberth Javario Mohon Tunggu... Konsultan - Penjaga Perbatasan

Menulis semata demi Menata Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tentang Mendepak atau Merangkul Lawan Politik Sesudah Kemenangan Pilkada

3 Juli 2022   18:41 Diperbarui: 3 Juli 2022   19:08 2355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan hasil renungan setelah berbincang santai dengan beberapa rekan "pengamat politik".

Sudah umum bahwa sesudah pilkada, terbentuk gejolak yang tidak biasa dalam tubuh pemerintahan. Ada beberapa cara pandang menarik yang patut disimak menyikapi fenomena lima tahunan ini.

Satu sisi melihatnya sebagai kesempatan emas yang setali tiga uang dengan menang tebakan empat angka kupon putih dikali seribu lembar. 

Orang-orang di pihak ini percaya bahwa mimpi disertai usaha dan kerja keras pastilah mendatangkan hasil manis, semanis madu. Yang lebih penting dari itu, regukan manis madu ini harus dirasakan selama lima tahun. Menurut mereka, apa yang diperjuangkan dengan keras memang pantas diganjar keberkahan selama lima tahun.

Sisi lainnya melihat sebagai kekalahan perang yang tak boleh ditangisi berkepanjangan. Tentu mereka berpikir, hanya prajurit cengeng yang tenggelam dalam rundungan duka lara mendalam. 

Sejenak tunduk dan menyesali sebuah kekalahan adalah hal wajar dan manusiawi namun sesudah itu harus segera bangkit merekayasa kekuatan baru lagi demi pertempuran lima tahun mendatang. Waktu tak boleh dibuang-buang percuma hanya untuk duduk tepekur menangisi nasib.

Di luar dua cara pandang di atas, hanya sedikit orang yang memandang bahwa dinamika yang terjadi merupakan proses alamiah demi menemukan titik keseimbangan baru pada pemerintahan.. 

Orang-orang ini melihat segala sesuatunya dengan kamera yang di-zoom out. Perspektif diluaskan sehingga hal-hal kecil hanya dianggap remeh-temeh belaka. 

Dengan demikian, menang atau kalah sama sekali tak menjadi masalah serius dari sudut pandang mereka. Memang, kelihatannya risiko minimal saat mengambil posisi seperti kelompok ini dibanding dua kelompok sebelumnya.

*****

Jika bicara mengenai  pemerintahan artinya bicara yang namanya birokrasi. Sebelum bicara mengenai birokrasi, patutlah disinggung mengenai istilah algoritma. 

Algoritma didefinisikan sebagai seperangkat langkah metodis yang bisa digunakan untuk mengalkulasi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Dalam masyarakat buta huruf, orang-orang melakukan semua kalkulasi dan membuat keputusan dalam kepala mereka. 

Dalam masyarakat melek huruf, orang terorganisasi menjadi jaringan sehingga setiap orang hanyalah satu langkah kecil dalam sebuah algoritma besar, dan algoritma keseluruhanlah yang membuat keputusan penting. Inilah esensi dari birokrasi.

Pikirkan tentang sebuah rumah sakit modern, misalnya. Ketika Anda datang, tangan resepsionis menyerahkan formulir standar dan menanyakan kepada Anda seperangkat pertanyaan yang sudah disiapkan. 

Jawaban Anda diteruskan kepada perawat, yang mencocokkannya dengan regulasi rumah sakit dalam rangka memutuskan pemeriksaan awal yang harus diberikan kepada Anda. Dia kemudian, misalnya, mengukur tekanan darah dan detak jantung Anda, dan mengambil sampel darah. 

Dokter jaga memeriksa hasil pemeriksaan awal, dan mengikuti tata cara yang ketat dalam rangka menetapkan bangsal mana yang harus menerima Anda. 

Di bangsal, Anda menjalani pemeriksaan yang jauh lebih teliti,  seperti X-ray atau scan fMRI, yang dimandatkan oleh buku tebal panduan medis. Dokter spesialis kemudian menganalisis hasil-hasilnya menurut database statistik yang sudah sangat dikenal, menentukan obat apa yang barus diberikan, atau pemeriksaan lanjutan apa yang harus dilakukan.

Struktur algoritmik ini memastikan bahwa tak benar-benar penting siapa resepsionisnya, perawatnya, atau dokter jaganya. Watak personalitas mereka, pandangan politik mereka, dan suasana hati yang melingkupi tidak relevan. 

Sepanjang mereka semua mengikuti regulasi dan tata cara, mereka bisa mengobati dengan baik. Menurut ideal algoritmik itu, nasib Anda di tangan "sistem", tidak di tangan makhluk berdaging dan berdarah yang kebetulan menduduki posisi ini dan itu.

Apa yang berlaku pada rumah sakit ini juga berlaku pada angkatan perang, penjara, sekolah, korporasi, dan perkantoran lain.

*****

Pada situasi menang pilkada, pemimpin terpilih tahu bahwa roda-roda gir pemerintahan sudah terpasang. Ia hanya tinggal memastikan saja bahwa semua unit itu berputar. Ia tahu bahwa polanya mengikuti sistem yang sudah baku sehingga siapa pun dia yang ditaruh pada posisi tertentu tak akan memengaruhi perputarannya.

Ya, siapa pun yang menempati posisi pemegang tuas dari mesin pemutar gir dari tiap dari tiap unit pastilah akan membuat rangkaian mesin besar'/unit pemerintahan yang dikepalainya berjalan. Konsep yang nampaknya sederhana.

Menariknya, ada dua simpulan yang berbeda lagi dari pengertian yang nampaknya sederhana ini. Dua tindakan yang saling bertolak belakang bisa dilakukan berdasar satu pemahaman dasar di atas.

Yang pertama, karena menganggap bahwa tidaklah penting siapa yang mengisi posisi dalam sistem, pemimpin terpilih mengutamakan para  pendukung politiknya, kerabat beserta orang-orang dekatnya. 

Ia berpegang pada prinsip bahwa soal kemampuan bukan yang utama, mengingat bahwa semua pasti bisa menyesuaikan diri dengan metode yang ada. Bahkan ada kesan bahwa sang pemimpin menutup mata meski mengetahui kemampuan orang yang ditunjuknya tak seperti diharapkan sebab mengedepankan persoalan lain seperti balas jasa politik.

Yang kedua, pemimpin terpilih melihat bahwa tak penting melihat masa lalu, masa sebelum pilkada. Siapa pun yang ditaruh dalam posisi-posisi birokrasi haruslah berbasis analisa kemampuan profesional tanpa embel-embel lain. 

Bagi banyak orang, sikap semacam itu aneh. Sebagian besar dari kita cenderung memandang pihak yang kalah sebagai bukan prioritas. Ini karena sisi manusiawi kita yang tak bisa dilepaskan begitu saja dalam menilai, apalagi berdasarkan ritus pilkada yang berbasis menang-kalah.

Dari sisi politis, sikap yang pertama merupakan kewajaran. Mengabaikan pendukung politis dalam berbagai pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang tak boleh dilakukan, apalagi jika dipandang dari aspek budaya ketimuran. Namun demi yang namanya good governance alias pemerintahan yang baik, sikap yang kedua, meski terkesan sulit, itulah yang harus dilaksanakan.

(Beberapa kutipan berasal dari Homo Deus karya Yuval Noah Harari)

JAVARIO

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun