Mohon tunggu...
Nora Oya
Nora Oya Mohon Tunggu... Buruh - “If you think you are too small to make a difference, try sleeping with a mosquito.” - Dalai Lama

rakyat biasa, ibu seorang putra, yang pecinta binatang, pemerhati budaya dan pecinta wastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ellen

24 Januari 2021   18:00 Diperbarui: 24 Januari 2021   18:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepotong chat masuk ketika kami bertiga (gue, Erri dan Tina) lagi menikmati mie kocok Mang Dadeng di jalan K.H. Ahmad Dahlan, Bandung di pertengahan November 2020. Chat dari Innes, isinya "Oya', jadi ke Bandung? Ellen ada di rumah ni gak jadi pergi, maaf kondisinya kritis, muntah-muntah, dan mukanya sudah hijau".  Oalaaah!

"Jadi  dong Nes...gue makan siang dulu ya...abis itu langsung kesana".

 "Kalo mau datang buruan ya..soalnya jam 3 mau saya bawa ke RS."

Sudah berapa waktu belakangan komunikasi intens gue, Innes dan Ellen berlangsung. Dimulai ketika dua tahun lalu gue tahu Ellen kena CA. Itu juga gak sengaja kontak Ellen ternyata dia di Jakarta dan sedang berobat di RSCM. Belum juga sempet ketemu walaupun berkali-kali janjian. Bahkan gue janji mau nemenin dia berobat di RSCM. Tetap belum berkesempatan. Sampai akhirnya Ellen balik lagi ke Bandung. Lama tak berkabar tentang penyakitnya sampai lihat di Facebook Ellen makin kurus. Kaget tentu saja. Perubahan yang drastis.

Sampai suatu hari Innes kontak gue. Mengabarkan kondisi Ellen yang semakin mundur, dan cuma mukjizat yang bisa beri umur panjang ke Ellen. Tambah kaget gue. Innes pesan khusus ke gue, "Please ngobrol dengan Ellen, beri semangat, beri dia kepercayaan bahwa dia masih punya teman". Duh sedih dengernya. Tanpa ba bi bu langsung gue WA Ellen dan ngobrol. Setiap dua tiga hari sekali gue WA Ellen ngobrol ngalor ngidul sambil tanya kabar, dan apa yang dia rasakan.

Sejak itu mulai lah kembali saling berkabar baik dengan Innes maupun Ellen sendiri dengan teratur. Walaupun ada perasaan gue, "ah enakan nanya Innes aja", karena suka gak sampai hati kalo musti nanya soal kesehatan sama Ellen. Padahal gue berteman dengan Ellen jauh lebih lama dari pada dengan Innes.

Sampai suatu hari gue, Erri dan Tina sepakat mau main ke Bandung sekalian bezoek Ellen. Tapi begitu gue berkabar, Ellen bilang " Yaaah Ya' kami mau ke Batujaya-Krawang dan nginep semalem disana". Jawab gue, "Ya sudah lah Len, kalo jodoh kita pasti ketemu lah suatu hari nanti".

Sampai akhirnya  masuk chat dari Innes ketika kami makan mie kocok Mang Dadeng tadi. Dengan bergegas kami menuju rumah mereka di Bandung Utara. Benar saja ketika kami masuk ke kamarnya dengan diantar Innes. Ellen dengan muka pucat, kurus, berbaring diatas ranjangnya  yang berantakan. Kepengen nangis lihatnya. Tapi pantang dong. Bezoek orang sakit itu gak boleh kelihatan sedih. Bagaimana pun rasanya hati kita. Itu kode etiknya!

Jadilah kami bertiga ngelawak di kamar Ellen, ketawa-ketawa saling ngeledek diantara kami bertiga, gue-Erri-Tina. Cerita-cerita masa lalu yang konyol-konyol saat mahasiswa, saat latihan penggalian. Sambil cekakakan ketawa kami memenuhi kamar. Perlahan paras Ellen yang semula pucat dan hijau bersemu merah. Karena ikut ketawa-ketawa. Kami, tamu yang gak tahu diri ini bahkan inspeksi rumah induk semangnya Ellen. Komen sana komen sini soal rumah seniman ini. Sampai akhirnya tiba-tiba Ellen bilang dia mau apel. Innes langsung nyodorin apel. Dan saat itu juga habis satu buah tanpa muntah! Senang lihatnya. Tapi hari sudah semakin sore. Kami harus pamit kembali ke Jakarta sambil berjanji pasti mampir lagi kalo ke Bandung. Ternyata malam itu juga Ellen sehat dan mereka berangkat ke Batujaya! Bahagia dengarnya.

Kemudian lewat kabar WA maupun status-status di Facebook, gue tahu Ellen bolak balik masuk Rumah Sakit. Gue mulai jarang WA-an dengan Ellen, bukan apa-apa, sumpah bingung mau ngobrol apa. Mosok nanya penyakitnya terus. Mana Ellen bukan tipe yang talkative. Tapi kontak dengan Innes terus berlangsung. Sampai akhirnya Innes berangkat ke Jepang untuk urus anaknya yang juga sudah beberapa tahun ini sakit dan tinggal di Jepang.

Hingga tiba-tiba  kemarin  senja di akhir Januari masuk chat dari teman baik, hanya pendek dan singkat. RIP Ellen Tunggono.

Terbayang Ellen yang imut, segar, murah senyum, tidak banyak omong. Ellen itu senior 3 tahun di atas gue di Arkeologi. Dari zaman kuliah di tahun 80an gue sudah lumayan dekat. Pernah juga mampir ke rumahnya di Kampung Melayu dulu. Senior gue yang blasteran Inggris Indonesia ini punya karir bagus di dunia advertising, ia juga jurnalis dan penulis, terakhir ia ngajar di Bandung.

Termangu menatap foto kiriman seorang teman, sosok Ellen di dalam peti. Kurus, tua, pucat, begitu kecil. Air mata gue kali ini nggak mengalir deras cuma merembes kecil tapi hati gue menangis kencang mengantar kepergian Ellen. Selamat jalan sahabat. Selesai sudah semua penderitaan dan rasa sakit mu. Damai dirimu disampingNya ya. Selamat jalan Ellen...beristirahatlah dengan damai dan penuh cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun