Sepotong chat masuk ketika kami bertiga (gue, Erri dan Tina) lagi menikmati mie kocok Mang Dadeng di jalan K.H. Ahmad Dahlan, Bandung di pertengahan November 2020. Chat dari Innes, isinya "Oya', jadi ke Bandung? Ellen ada di rumah ni gak jadi pergi, maaf kondisinya kritis, muntah-muntah, dan mukanya sudah hijau". Oalaaah!
"Jadi dong Nes...gue makan siang dulu ya...abis itu langsung kesana".
"Kalo mau datang buruan ya..soalnya jam 3 mau saya bawa ke RS."
Sudah berapa waktu belakangan komunikasi intens gue, Innes dan Ellen berlangsung. Dimulai ketika dua tahun lalu gue tahu Ellen kena CA. Itu juga gak sengaja kontak Ellen ternyata dia di Jakarta dan sedang berobat di RSCM. Belum juga sempet ketemu walaupun berkali-kali janjian. Bahkan gue janji mau nemenin dia berobat di RSCM. Tetap belum berkesempatan. Sampai akhirnya Ellen balik lagi ke Bandung. Lama tak berkabar tentang penyakitnya sampai lihat di Facebook Ellen makin kurus. Kaget tentu saja. Perubahan yang drastis.
Sampai suatu hari Innes kontak gue. Mengabarkan kondisi Ellen yang semakin mundur, dan cuma mukjizat yang bisa beri umur panjang ke Ellen. Tambah kaget gue. Innes pesan khusus ke gue, "Please ngobrol dengan Ellen, beri semangat, beri dia kepercayaan bahwa dia masih punya teman". Duh sedih dengernya. Tanpa ba bi bu langsung gue WA Ellen dan ngobrol. Setiap dua tiga hari sekali gue WA Ellen ngobrol ngalor ngidul sambil tanya kabar, dan apa yang dia rasakan.
Sejak itu mulai lah kembali saling berkabar baik dengan Innes maupun Ellen sendiri dengan teratur. Walaupun ada perasaan gue, "ah enakan nanya Innes aja", karena suka gak sampai hati kalo musti nanya soal kesehatan sama Ellen. Padahal gue berteman dengan Ellen jauh lebih lama dari pada dengan Innes.
Sampai suatu hari gue, Erri dan Tina sepakat mau main ke Bandung sekalian bezoek Ellen. Tapi begitu gue berkabar, Ellen bilang " Yaaah Ya' kami mau ke Batujaya-Krawang dan nginep semalem disana". Jawab gue, "Ya sudah lah Len, kalo jodoh kita pasti ketemu lah suatu hari nanti".
Sampai akhirnya masuk chat dari Innes ketika kami makan mie kocok Mang Dadeng tadi. Dengan bergegas kami menuju rumah mereka di Bandung Utara. Benar saja ketika kami masuk ke kamarnya dengan diantar Innes. Ellen dengan muka pucat, kurus, berbaring diatas ranjangnya yang berantakan. Kepengen nangis lihatnya. Tapi pantang dong. Bezoek orang sakit itu gak boleh kelihatan sedih. Bagaimana pun rasanya hati kita. Itu kode etiknya!
Jadilah kami bertiga ngelawak di kamar Ellen, ketawa-ketawa saling ngeledek diantara kami bertiga, gue-Erri-Tina. Cerita-cerita masa lalu yang konyol-konyol saat mahasiswa, saat latihan penggalian. Sambil cekakakan ketawa kami memenuhi kamar. Perlahan paras Ellen yang semula pucat dan hijau bersemu merah. Karena ikut ketawa-ketawa. Kami, tamu yang gak tahu diri ini bahkan inspeksi rumah induk semangnya Ellen. Komen sana komen sini soal rumah seniman ini. Sampai akhirnya tiba-tiba Ellen bilang dia mau apel. Innes langsung nyodorin apel. Dan saat itu juga habis satu buah tanpa muntah! Senang lihatnya. Tapi hari sudah semakin sore. Kami harus pamit kembali ke Jakarta sambil berjanji pasti mampir lagi kalo ke Bandung. Ternyata malam itu juga Ellen sehat dan mereka berangkat ke Batujaya! Bahagia dengarnya.
Kemudian lewat kabar WA maupun status-status di Facebook, gue tahu Ellen bolak balik masuk Rumah Sakit. Gue mulai jarang WA-an dengan Ellen, bukan apa-apa, sumpah bingung mau ngobrol apa. Mosok nanya penyakitnya terus. Mana Ellen bukan tipe yang talkative. Tapi kontak dengan Innes terus berlangsung. Sampai akhirnya Innes berangkat ke Jepang untuk urus anaknya yang juga sudah beberapa tahun ini sakit dan tinggal di Jepang.
Hingga tiba-tiba kemarin senja di akhir Januari masuk chat dari teman baik, hanya pendek dan singkat. RIP Ellen Tunggono.