water on Earth is useable and available freshwater-and climate change is dangerously affecting that supply. Over the past 20 years, terrestrial water storage-including soil moisture, snow and ice-has dropped at a rate of 1 cm per year, with major ramifications for water security (WMO, 2021).
Only 0.5% ofAir menjadi persoalan krusial dalam situasi iklim yang terus berubah. WMO (2021) mencatat bagaimana kemudian hanya 0,5% air di bumi yang digunakan berpengaruh terhadap perubahan iklim dan berdampak buruk terhadap pasokan air tersebut. Selama 20 tahun terakhir, penyimpanan air di bumi, termasuk kelembaban tanah, salju dan es telah menurun dengan kecepatan 1 cm per tahun, yang berdampak besar pada ketahanan air. Ini artinya pada sisi perekonomian dalam keberlanjutan bisnis di seluruh dunia, akan menurunkan produksi sebesar 12% pada tahun 2030, 49% pada 2050, dan sebanyak 92% pada tahun 2100 mendatang.
'The Fresh Water' salah satu film dari 'the Egyptian'Â yang memenangkan penghargaan dunia pada tahun 2021 dengan audiovisual artistic fokus pada fresh water, aquatic ecosystem and water conservation. Film ini juga memuat bagaimana kemudian air dibutuhkan dalam berbagai industry dan kehidupan manusia, mulai dari pengolahan makanan, kebutuhan harian rumah tangga, produksi pakaian bahkan bangunan (https://amwaj-alliance.com/, 2021).Â
Dalam pembangunan, fresh water diperlukan pada sektor primer mulai dari pertanian, kehutanan dan pertambangan, produksi industri, pembangkit energi dan sektor jasa. Artinya keberlanjutan bisnis manapun menggunakan air yang memiliki nilai ekonomi penting bagi pembangunan negara.
Perubahan iklim menjadi persolan dunia, tak hanya Indonesia. Tahun 2024, dinilai lebih panas atau disebut dengan 'mendidih' (boiling) karena panas ekstrem dengan suhu mencapai 1,45C, dan berbeda tipis dari IPCC Paris 2016, 1,5C (https://www.cnbcindonesia.com/, 2024). Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga merilis 'Climate Outlook 2024' yang menjadi acuan seluruh lembaga dalam kegiatan pembangunan juga menyampaikan bahwa gangguan iklim dari Samudra Pasifik yakni ENSO yang berada pada fase lemah-moderat hingga netral di akhir 2024 (https://lestari.kompas.com/, 2024).Â
Dalam menghadapi situasi yang sama, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), mengupas lebih dalam tentang arah kebijakan iklim Indonesia 'Indonesia Climate Policy Outlook 2024' dengan under demand, critical thinking dan under supply. Inilah yang menjadi pola dalam penyusunan kebijakan dengan harapan rendah karbon, termasuk situasi yang saat ini kita semua dihadapkan dengan perubahan iklim, dimana salah satu dampaknya adalah 'kekurangan sumber daya air'.
Begrbagai peristiwa terjadinya cuaca ekstrem, menyebabkan ketersediaan air terus menurun, semakin langka, tidak bisa diprediksi. Bappenas mencatat, pada 2022 lalu Indonesia mengalami 3.544 bencana alam dan justru 98% nya bersufat hidrometeorologi, sehingga berdampak pada 18 juta orang selama satu decade terakhir. Proyeksi Bappenas RI juga menyebutkan, adanya penurunan curah hujan 1-4% sejak 2020-2034 nantinya yang juga akan memicu kekeringan dan konflik alokasi air (Bappenas, kementrian PPN RI, 2024).
Dengan adanya berbagai kebencanaan yag bersifat hidrometeorologi, maka yang menjadi tantangan bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana mempertahankan sumber daya air untuk dapat digunakan dan layak dikonsumsi sesuai dengan target pemerintah yakni 100%. Saat ini, Indonesia memiliki potensi sumber daya air yang cukup besar 2,78 triliun m3/thn dimana 691,31 nilai m3/thn dimanfaatkan dengan infrastruktur.Â
Bahkan terdapat 61 bendungan yang dibangun sejak tahun 2014-2025 (29 bendungan telah selesai dan on going process sebanyak 32 bendungan). Tak hanya untuk kebutuhan irigasi 385.646 ha, namun juga mampu mereduksi banjir seluas 12.569,86 m3/det, Listrik 256,51 MW dan pemenuhan kebutuhan air baku 49,01 m3/det (Dirjen SDA PUPR, 2022).
 Artinya, Indonesia telah menyiapkan strategi khusus dalam penyiapan antisipasi secara kebutuhan air mapun antisipasi dan mitigasi kebencanaan di sektor perairan. Apalagi Indonesia merupakan negara ke-5 di dunia dengan ketersediaan 6% air yang dimiliki.
Strategi lain, Indonesia juga mulai melakukan penghitungan ketersediaan air, perhitungan kebutuhan air dan perhitungan neraca air, dimana kebutuhannya adalah: 1) Masyarakat semi urban (ibu kota kecamatan/kota (3.000-20.000 jiwa), 60-90 L/O/H (Liter/Orang/Hari), 2) Kota kecil (20.000-100.000 jiwa), 90-110 L/O/H, 3) Kota sedang (100.000-500.000 jiwa), 100-125 L/O/H, 4) Kota besar (500.000-1.000.000 jiwa), 120-150 L/O/H, 5) Metropolitan 1.000.000 jiwa, 150-200 L/O/H (Puslitbang SDA, PUPR 2021).
Hanya saja ketersediaan air di atas, tidak merata di setiap wilayah Indonesia, yang memiliki letak geografis dengan jumlah penduduk yang berbeda. Kalimantan misalnya, hanya memiliki ketersediaan air 33,60%. Pulau Jawa dengan lebih dari setengah penduduk Indonesia didalamnya, hanya memiliki ketersediaan air sebesar 4,20% setelah Bali dan Nusa Tenggara sebesar 7,70%.Â
Hal inilah yang kemudian memunculkan persoalan dimana pulau Jawa diprediksi akan mengalami kelangkaan air pada 2040 (Jurnal Oeconomicus, 2021). Jika demikian, bagaimana nantinya Indonesia mampu mencapai SDGs 6 (Clean Water & Sanitation) dan SDGs 14 (Life Below Water)? Apakah cukup dengan adaptasi perubahan iklim, kitab isa resiliensi dan menuju sustainable water? Bagaimana dengan sektor bisnis dalam memenuhi supply management (SCM) dengan prinsip sustainable water management?
SDGs dan Sustainable Water
Bicara Sustainable Development Goals (SDGs)Â merupakan kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs)Â dan berakhir pada 2015. Indonesia menjadi salah satu negara yang juga berkomitmen dalam capaian SDGs dengan tujuan mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan proteksi lingkungan dengan 17 tujuan dan 169 target untuk dicaapai di tahun 2030.Â
Dari ke 17point yang dijelaskan, SDGs 14 life below water memiliki focus tentang pelestarian dan pemanfaatan lautan, laut dan sumber daya laut secara berkelanjutan, menyangkut bagaimana menyeimbangkan dan menggunakan sumber daya air secara merata, memastikan kualitas air dan ekosistem yang beragam.
Point utama pada SDGs 14 diantaranya: 1) mencegah secara signifikan pada pencemaran laut, baik dari aktivitas darat, puing-puing laut, dan polusi nutrisi, 2) mengelola dan melindungi ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan untuk menghindari kerugian, 3) memperkuat daya tahan, 4) mengambil tindakan restorasi untuk lautan yang sehat dan produktif, dan 5) meminimalkan serta mengatasi dampak pengasaman laut.
Ini artinya dampak pemanasan global (climate change) dengan kemunculan CO2 yang juga memunculkan dead zona (zona mati) yang dampaknya akan menafikan kehidupan secara global, karena berkurangnya pasokan O2 dan pengasaman pada air. Padahal hanya sekitar seperempat CO2 yang berasal dari pembakaran Batubara, migas yang menguap ke laut hingga menyebabkan pH air laut turun pada level dimana lautan nantinya akan ditinggalkan oleh ekosistemnya.
Dalam SDGs Annual Conference 2019 dengan tema "Sustainable Ocean for Improving Prosperity and Reducing Inequality", Indonesia mengalami perkembangan dalam poin Life Below Water, dimana 24 Provinsi telah menetapkan Rencana Aksi Daerah (RAD) dengan Peraturan Gubernur, 11 Universitas yang menjadi SDGs Center. Bahkan dunia pesantren juga mulai membangun diskusi secara aktif soal kemaritiman dari sisi agama. Dalam skala internasional adalah pada Desember 2018, lebih dari 24 Juta km2 perairan dibawah yurisdiksi nasional telah dicakup oleh kawasan lindung, dan peningkatan yang signifikan dari 12% pada tahun 2015. Peningkatan rata-rata keasaman selama 20-26%, bahkan stok ikan juga berkurang semenjak 1974 sebanyak 90% dan turun menjadi 66,9% di tahun 2015.
Berdasarkan data ini, maka nilai signifikansi air sebagai salah satu tujuan SDGs menjadi kunci keberhasilan yang tak bisa dielakkan dengan beragam inisiatif, mulai dari penyediaan air bersih, persoalan penduduk, bahkan kelangkaan sumber daya air yang bisa saja terjadi dan sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim (Grit et al., 2015; Bower dkk., 2014; Rouillard dkk., 2016; Yu dkk.,2015; Yalcinta, 2015; Rathnayaka, 2016; Shomar dkk., 2014; Petroulias dkk., 2016; Kanakoudis dan Gonelas, 2014; dan Lai dkk al., 2017). Karenanya untuk menggatasi krisis air dan mendorong sustainable water dalam capaian SDGs Indonesia adalah pengelolaan air secara berkelanjutan dengan kebijakan konservasi air, efisiensi ekonomi, keadilan dan ketersediaan (Graftom et al, 2015; Rogers et al, 2002).
Hal ini sejalan dengan apa yang juga disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa selama 10 tahun terakhir, Indonesia telah memperkuat infrastruktur perairan dengan 42 bendungan, 1,18 juta ha jaringan irigasi dan merehabilitasi 4,3 juta ha jaringan irigasi serta membangun sistem pengendalian banjir dan perlindungan pantai sepanjang 2.156 Km (Indonesia World Water Forum, pada 18-24 Mei 2024).
Blue Economy dalam Sumber Daya Air: Sebagai pendekatan
Ekonomi Biru Berkelanjutan memberikan banyak manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi serta mendorong pembangunan berkelanjutan. Dengan meningkatnya populasi manusia dan meningkatnya permintaan akan sumber daya, lautan, pesisir, dan perairan pedalaman kita yang terhubung menghadapi krisis tiga planet yaitu perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Hal-hal ini saling berhubungan erat dan membahayakan kesejahteraan generasi sekarang dan masa depan. Negara-negara semakin berupaya mengembangkan ekonomi kelautan mereka, sambil mengatasi krisis ini dan memenuhi target-target yang saling terkait seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Kerangka Keanekaragaman Hayati Global, dan Perjanjian Paris.
Dengan perkiraan nilai ekonomi tahunan sebesar US$2,5 triliun, 'ekonomi biru' setara dengan ekonomi terbesar ke-7 di dunia (https://www.unep.org/, 2024). Ekonomi Biru yang Berkelanjutan mempunyai potensi untuk mengatasi keterhubungan dalam pengelolaan ekosistem laut, pantai, dan air tawar saat ini dan menjadi komponen fundamental dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan ekologi bumi. Ekonomi biru yang berkelanjutan memberikan manfaat penting bagi generasi sekarang dan mendatang; memulihkan, melindungi dan memelihara ekosistem yang beragam, produktif dan berketahanan; dan didasarkan pada teknologi bersih, energi terbarukan, dan aliran material melingkar.
Blue economy, tak hanya sebatas pengembangan sektor kelautan melalui nelayan ataupun hasil ikannya, namun juga mengarahkan pada sektor wirausaha yang menjadi diversifikasi. Bila disandingkan dengan 'Blue Ocean Strategy' yang pertamakli diterapkan oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne, lebih pada mengambil strategi bisnis, mencari konsumen tertentu dan menghindari kompetitor dengan cara yang lebih inovatif. Artinya, blue economy musti menemukan formula bagaimana model pengembangan sektor kelautan, baik dari sisi sektor pariwisata, sektor perikanan, keanekasaragaman hayati laut, dan nelayan yang jumlahnya mencapai 1.459.874 orang dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 60% (https://www.kkp.go.id/news/, 2021). Sayangnya kemiskinan masih menjadi potret di sini sekitar 20-48% (https://www.dpr.go.id/, 2021). Indonesia kemudian mencoba menerapkan blue economy dalam 3 hal utama: 1) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam berupa perikanan tangkap dan ini harus dikembalikan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan, 2) Pengembangan perikanan secara budidaya guna mendorong ekspor kelautan dan 3) Pembangunan kampung perikanan dengan budidaya air tawar, payau dan laut yang tentunya kampung ini harus sesuai dengan karakteristik budaya lokal. Harapannya dapat mendorong keberlanjutan blue economy dan mengintegrasikannya dengan pencapaian SDGs maupun ESG serta menjaga ekosistem laut, over explotation hingga zero waste.
Tantangan terbesar dalam kerangka blue economy di Indonesia, adalah ketergantugan tinggi dimana semakin menurunnya kualitas air laut akibat sampah ataupun pencemaran dari berbagai limbah. Mendukung koherensi kebijakan, solusi berbasis alam, serta pendekatan perencanaan dan pengelolaan berbasis kawasan merupakan cara penting untuk membangun ketahanan akan blue economy.
Beberapa point dalam pengembangan blue economy di Indonesia dalam mendorong Supply Chain Management (SCM) dalam sustainability business maupun pencapaian SDGs Indonesia, diantaranya:
1) Memastikan upaya perlindungan untuk lingkungan dan melestarikan ketersediaan sumber daya laut
2) Menjaga keseimbangan ekologi global dengan menyerap emisi karbon dari atmosfer secara lebih efektif dibandingkan ekosistem daratan.
3) Memperlambat laju perubahan iklim. Laut mempunyai kemampuan menyerap karbon dioksida, memicu peningkatan suhu udara, dan menyimpannya sebagai karbon. Sekitar 50% dari total karbon yang dilepaskan diserap oleh ekosistem laut. Oleh karena itu, laut berperan penting dalam memperlambat laju perubahan iklim.
4) Berdasarkan laporan Komisi Eropa tahun 2021 menemukan bahwa kegiatan ekonomi biru secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca di 28 negara Uni Eropa, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Indonesia bisa mengambil peran ini dengan pengembangan ekosistem kelautan melalui rumput laut yang mencapai angka 173 ton/ha untuk daya serap karbon yang sepadan dengan daya serap karbon pada hutan konservasi. Dengan pola 'marikultur' atau budidaya rumput laut yang baik, tentu akan mampu menjadi strategi baru dalam mendorong 'blue economy' dan 'blue carbon'Â sekaligus secara 'culture based' (https://pslh.ugm.ac.id/, 2022).
5) Mobilisasi insentif dan investasi. Dalam jangka panjang, ekonomi biru Indonesia memerlukan langkah-langkah ekonomi sirkular yang mengurangi limbah. Investasi yang dibutuhkan untuk mendukung upaya ini akan sangat besar. Apalagi Kementerian Koordinator Bidang Investasi menegaskan ekonomi biru menyumbang rata-rata 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dengan perkiraan kontribusi sektor ekonomi biru terhadap PDB diperkirakan sebesar 12,45%. Proyeksi manfaat ekonomi dari perekonomian berbasis laut di Indonesia diperkirakan mencapai $800 miliar USD (https://www.kkp.go.id/news/, 2024) dan KKP juga menargetkan investasi perikanan meningkat sebesar 25% di 2024 dengan realisasi pada 2023 sebesar Rp 12,07 triliun yang disampaikan pada Indonesia Marine and Fisheries Business Forum (IMFBF), Februari 2024.
6) Pembiayaan campuran (blended financing), yang menggabungkan pendanaan pemerintah dan swasta, dapat menjadi solusi. Misalnya, pembiayaan campuran dari Global Fund for Coral Reefs telah dikerahkan untuk mentransformasi industri rumput laut di Sumba Timur-Indonesia.
7) Mendorong kolaborasi antar negara, swasta, organisasi nirlaba, dan perguruan tinggi dalam mengembangkan program ekonomi biru.
Setidaknya dengan langkah ini, blue economy menjadi lebih realistis dalam pencapaian SDGs. Mengingatkan kembali pada masa kecil sebagai masyarakat pesisir, yang menjadikan lebih memiliki keterikatan secara ekosistem biotik dengan sumber daya alam dan menikmati keindahan laut, seperti halnya menikmati sajian 'fresh water' yang menjadi kekuatan dan sumber protein kecerdasan dengan diversifikasi pangan yang diciptakan oleh setiap ibu di wilayah pesisir. Sehingga, tak hanya blue economy namun juga 'blue ecosystem' sebagai inovasi menjaga sektor kelautan dengan kearifan lokal yang kita miliki. Sehingga antara Supply Chain Management (SCM) dalam sebuah bisnis, dapat berjalan beriring dengan livelihood sustainability dan value system masyarakat untuk mencapai prosperity dari ketersediaan sumber daya air kita melalui blue economy strategy.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI