Waithood di Indonesia sendiri menurut beberapa sumber terjadi seiring dengan menyebarnya fenomena yang sama secara global yang dimulai pada abd 21.
Tak hanya budaya patriarki yang disebut-sebut sebagai salah satu faktor penyebab, namun juga faktor ekonomi dan tidak mudahnya membina hubungan pernikahan, meskipun telah berpacaran cukup lama.
Diah, seorang mahasiswi S2 di salah satu perguruan tinggi di Jakarta misalnya, menyebutkan bahwa dirinya sudah tidak lagi menginginkan untuk cepat menikah di usianya yang saat ini menginjak kepala 3.
Bagi Diah, menikah sebuah pilihan. Dia mengaku pernah merasakan keinginan yang kuat akan pernikahan semasa berpacaran saat kuliah hingga lulus S1.
"Saat itu adalah saat indah ya, berpacaran dan kita pengennya menikah".
Namun Diah tidak merasakan hal yang sama dengan pacarnya yang justru ingin investasi dulu untuk kehidupan mereka mendatang. Diah mengaku sudah cukup tebal mendengar pertanyaan "kapan nikah?" atau "pacar kamu beneran serius nggak sama kamu?".
Berbeda dengan Putra, salah satu karyawan di perusahaan swasta Kalimantan Timur, yang justru menganggap pernikahan menjadi tujuan yang harus ia capai pada saat berusia 26 tahun. "Mungkin karena saya laki-laki, dan secara sosial, menikah itu bisa menaikkan strata tersendiri".
Cara pandang inilah yang kemudian menciptakan konstruksi baru dalam kehidupan sosial generasi Z yang saat ini justru lebih memilih untuk menyiapkan masa depan lebih baik.
Bagi Diah misalnya, menyiapkan masa depan menurutnya akan lebih bisa menjamin kehidupannya, dibandingkan memikirkan pasangannya.Â
Kesadaran ekonomi, menjadi faktor utama bagi Diah dibandingkan dia tidak memiliki kesiapan saat berumah tangga.Â