Naga Kayu dengan istimewa. Tak hanya soal hidangan 'pembawa hoki' seperti kue keranjang (nian go), ayam dan ikan utuh, pangsit (jiaozi), mie, bola nasi (yuan xiao), sup kue beras (seollal), hingga almond cookies, namun juga harapan untuk Indonesia sebagai negara besar dengan total penganut Tionghoa di angka 2.832.510 orang atau 1,20% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2021 berdasarkan SP 2010) dan menempati peringkat 18 dari berbagai suku yang berada di Indonesia.
Cik Mei, seorang guru sekolah international school di Kota Jambi, begitu antusias berbelanja berbagai kebutuhan Imlek. Dia mengatakan akan mempersiapkan Imlek di tahunDi tahun Naga Kayu yang jatuh pada Sabtu, 10 Februari 2024, merepresentasikan harapan untuk terus tumbuh, berkreatifitas dan fleksibilitas. Bahkan sangat beruntung bagi generasi yang lahir di tahun Naga Kayu yang nantinya memiliki kepemimpinan tinggi. Namun, kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya, yakni Indonesia di saat yang bersamaan juga melaksanakan Pemilu serentak bagi eksekutif dan legislatif pada tanggal 14 Februari 2024. Sebagai keturunan generasi kedua Tionghoa, Cik Mei berharap Indonesia akan terus mendapatkan keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Imlek pada dasarnya penanggalan lunar yang ditetapkan pada masa dinasti Han di China. Sistem ini merupakan sistem kalender yang menandakan awal musim semi bagi China yang merupakan negara agraris yang dimulai pada abad ke-5 M (tempo.co., 2022). Dalam catatan sejarah, Imlek juga tak lepas dalam membersamai Indonesia hingga hari ini. Perjalanan panjang yang telah dimulai dari migrasi China ke Indonesia pada tahun 414 dalam misi perdagangan ke India dan Asia Tenggara dan terdampar di pulau Jawa seiring hubungan perdagangan Nusantara. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1415, masyarakat China yang disebbut dengan suku Tionghoa mulai berdatangan dan bahkan akhirnya sebagian besar meentap di pulau Jawa dan melakukan penetrasi budaya melalui kawin campur atau amalgamasi (Merdeka.com., 2014).
Pasca kemerdekaan Indonesia, presiden Indonesia pertama, Soekarno menetapkan penetapan pemerintah tentang hari raya umat beragama No. 2/OEM-1946, termasuk didalamnya hari raya etnis Tionghoa, mulai dari Tahun Baru Imlek, Hari Wafat Konghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng dan Hari Lahir Konghucu pada tanggal 27 bulan 2 Imlek. Tentu saja ini mendapatkan sambutan luar biasa dengan kebebasan berekspresi, menggunakan Bahasa Mandarin baik dalam komunikasi keseharian hingga surat kabar, menyanyikan lagu Mandarin hingga nama China termasuk nama sekolah, toko, restoran dengan plang Mandarin. Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama, pada era Soeharto, terdapat Inpres No. 14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China pada tanggal 6 Desember 1967. Instruksi ini menetapkan seluruh upacara keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan bersifat tertutup (tempo.co, 2022).
Pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), keluarlah Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Inpres No.14/1967 pada 17 Januari 2000. Dengan demikian, masyarakat Tionghoa mendapatkan kembali kebebesan untuk menganut agama, kepercayaan, adat istiadat dan perayaan hari besar secara terbuka. Bahkan Menteri Agama RI pada 19 Januari 2001 memperkuatnya dengan Keputusan No. 13/2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif, dimana hari libur ini todak diitentukan oleh pusat, namun ditentukan oleh pemerintah daerah setempat atau instansi masing-masing (tempo.co., 2022).
Sejarah panjang ini tentu tidak lepas dari pergolakan politik yang terjadi pada masa itu dan menjadi pembelajaran sejarah bagaimana kemudian Indonesia mengakomodir budaya hingga keberadaan masyarakat Tionghoa yang menjadi bagian dari sejarah 'perjuangan kemerdekaan Indonesia' sendiri, seperti Liem Koen Hian (Journalist), John Lie Tjeng Tjoan (Laksamana Muda TNI), Tjia Giok Thwam (Pasukan 19 Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT), Sho Bun Seng (Seniman), dan Lie Eng Hok (Journalist) (Daaitv.co.id., 2023).
Sejarah ini sebagai salah satu bukti, bagaimana kemudian Indonesia menjadi negara heterogen dengan model republik seperti dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 1, Dimana 'Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik'. Republik dipilih sebagai bentuk negara dikarenakan sesuai dengan model Indonesia yang heterogen, meskipun sebelumnya adalah monarki yang dipimpin oleh raja dengan kekuasaan absolut. Republik juga dinilai menjadi representasi kedaulatan rakyat dengan pertanggungjawaban yang sifatnya lebih luas berdasarkan kepentingan masyarakat. Tak hanya itu, unitarisme juga menjadi cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan negara republik yang dipimpin oleh presiden.
Inilah mengapa kemudian Indonesia selalu menyelanggarakan Pemilu di setiap tahunnya sebagai cerminan dari bentuk negara republik dengan model demokrasi, dimana kepentingan utama adalah masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa idealisme yang menjadi dasar nilai, seperti:
Effective participation. Kesempatan menyampaikan pandangan terhadap sebuah kebijakan kepada masyarakat, apakah diadopsi atau ditolak.
Equality in voting. Kesempatan untuk memilih pimpinan dahkan menyetujui kebijakan yang disampaikan oleh pemerintah.
Inform electorated. Masyarakat terinformasi secara penuh dan memiliki kesempatan untuk mempelajari calon pimpinan negara atau presiden bahkan kebijakan serta kemungkinan konsekuensi maupun kebijakan alternatif.
Citizen control of the agenda. Bersifat terbuka dalam Menyusun agenda negara. Demonstrasi dapat menjadi salah satu cara dalam menyetujui ataupun tidak dalam menyampaikan pandangan tentang sebuah kebijakan secara terbuka.
Inclusion. Setiap masyarakat, siapapun itu tanpa pengecualian berhak untuk berpartisipasi, tidak hanya dalam hal 'memilih eksekutif dan legislatif' namun juga berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat sebagai hak warga negara.
Human right. Menjunjung tinggi hak-hak dasar masyarakat sebagai warga negara, seperti hak bersuara dan berpendapat, hak mendapatkan informasi, berpartisipasi secara setara dan lainnya.
Untuk Indonesia sendiri, dari pengukuran EIU Democracy Index, Indonesia berada di kategori "Flawed Democracy" atau skor nya di 6,71 yakni urutan ke-52 secara global dari 165 negara. Beberapa kriteria nilai Indonesia sudah dianggap baik, diantaranya  fungsi pemerintah, partisipasi politik, proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, proses pemilu, pluralisme dan partisipasi politik, fungsi pemerintah, otonomi personal dan hak individu. Beberapa variabel yang masih dinilai buruk adalah soal kebebasan berkespresi dan berkeyakinan, hak berasosiasi dan berorganisasi, aturan hukum dan budaya politik, dimana berpengaruh pada politik identitas dalam hal konsensus dan kohesi politik (Lemhanas RI, 2022).
Tantangan terbesar Indoensia jika bicara soal demokrasi adalah ketika pemerintahan demokratis saat ini dilihat tidak lagi mampu memenuhi tuntutan politik dan kebutuhan ekonomi masyarakatnya. Hal ini terlihat dari beberapa hal, misalnya menurunnya jumlah pemilih, terutama generasi muda, menurunnya kepercayaan dari masyarakat dan lembaga demokrasi, meningkatnya kekaguman terhadap kepemimpinan yang cenderung otokratis, perolehan suara bagi para kandidat partai ektremis dan hilangnya suara demokratis, meningkatnya dukungan politik yang eksklusif. Sehingga terdapat polarisasi pada politik praktis dan pragmatis bahkan transaksional serta lebih banyak lagi kemunculan berbagai kelompok dengan model preferensi yang berbeda-beda. Sehingga sistem demokrasi ini akan melahirkan berbagai bentuk 'oposisi setia' untuk menunjukkan akuntabilitas dan kredibilitas yang justru menjadi ancaman bagi bentuk negara ini yang menganut republic demokratis.
Naga Kayu dan Energi Positif Pesta Demokrasi untuk Kelestarian Bumi
Di tahun Naga Kayu, kita tidak hanya bicara soal demokrasi, dengan harapan adanya kesejahteraan bagi masyarakat, tidak bersifat otokratik, menjamin hak dasar masyarakat, mendorong kebijakan yang lebih baik berbasis kepentingan masyarakat seperti dalam 10 prinsip demokrasi yang dicetuskan oleh Plato (360 SM) di abad 20 dengan pengetahuan, intelegensi, kebijakan, pengalaman dan karakter pribadi pemimpin negara.
Sebagai bentuk awal tahun Naga dengan segala filosofinya adalah bagaimana kemudian demokrasi ini menjadi salah satu pintu untuk menghidupkan 'kehidupan' alam yang lebih harmonis dan serasi, karena diyakini mampu mengendalikan 5 elemen utama yaitu emas (logam), kayu, air, api dan tanah. Alam semesta merupakan unsur dari 5 elemen di atas menjadi landasan fundamental dari segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan ditetapkan satu dari 5 unsur untuk setiap tanda zodiak.
Naga Kayu sebagai simbol keberuntungan yang muncul di tahun 2024 dengan siklus 60 tahun sekali dimana terakhir kali muncul pada tahun 1964. Tak hanya keberuntungan namun juga inovasi yang selaras dengan alam sebagai makhluk surgawi dan ilahi (cnnindonesia.com., 2023).
Harapan ini tentu saja membawa kabar baik ditengah isu pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup yang sangat terkait erat dengan struktur sosial masyarakat, hingga bagaimana pemenuhan distribusi secara merata. Di sisi lain, kita juga tak bisa menampik kebutuhan ekonomi dan industrialisasi yang seringkali dinilai berbenturan tertutama dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan transisi energi. Sayangnya, hal ini tidak menjadi isu krusial utama pada saat pesta demokrasi ini digelar pada 14 Februari 2024 kemarin. Bahkan jika dibandingkan di google search engine, kata pemilu hanya mencapai 328.000.000 hasil (0,29 detik). Hampir menunjukkan antusiasme untuk melihat hasilnya, meskipun secara quick count salah satu paslon sudah disebutkan sebagai pemenang. Namun bukan berarti ini berakhir dalam proses pesta demokrasi.Â
Belum lagi soal kritik sosial yang ramai dibincangkan melalui film 'Dirty Vote' sejak pertamakali tayang di Youtube pada 11 Februari 2024, tepat 3 hari menjelang pesta demokrasi dilakukan. Film berdurasi 117 menit ini menampilkan berbagai proses pesta demokrasi melalui pemilu yang dinilai tidak obyektif, berdasarkan riset secara dokumenter dengan epic dan sistematik dan didukung oleh tiga pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Namun film ini berhasil mencuri 6,7 juta penonton dan menjadi perbincangan hangat di media sosial.
Terlepas dari Dirty Vote, dan apapun hasil pemilu sebagai pesta demokrasi, yang menjadi pertanyaan adalah mampukah kita mempertahankan moment kemunculan sang Naga yang hanya 60 tahun sekali ini sebagai titik balik menuju Indonesia lestari? Jawabannya adalah apabila, kita semua mampu legowo membangun paradigma pembangunan ke arah yang lebih adil dan lestari dengan 'pendekatan lingkungan' dan 'bukan sekadar ramah lingkungan' memasukkan aspek sosial dan lingkungan hidup didalamnya. Mengapa? Karena hari ini kita tidak sekadar berbicara dalam konteks 'konsumsi, belanja pemerintah, investasi dan ekspor-impor, melainkan berbicara soal 'keep existance'Â dalam misi 'alam lestari'.
Paling tidak, usai pesta ini dengan filosofi Naga Kayu, kita bisa tetap konsisten dalam pola pembangunan yang lebih arif, bijak, mempertimbangkan efek domino dalam investasi dan model pembangunan pada ekonomi, lingkungan dan sosial termasuk hak asasi manusia.
Beberapa hal penting dalam momen ini adalah:
Perrtama, membumikan nilai-nilai kelestarian alam dan terintegrasi dengan pola pembangunan yang adil terhadap kondisi alam.
Kedua, kebijakan harus mengacu pada standarisasi dalam keberlanjutan, terutama dalam soal investasi, bagaimana kemudian mampu mengurai dampak negatif, mengurangi emisi karbon, mempertahankan biodiversity atau bisa mengacu pada Global Reporting Initiative (GRI) standard.
Ketiga, strategi dan komunikasi secara multi-stakeholder. Ingat, negara kita adalah heterogen, dengan berbagai etnis dan suku bangsa. Adalah penting melibatkan seluruh elemen ini dalam model pembangunan secara inklusif hingga pelibatan pada penanganan dampak krisis lingkungan dan sosial yang bisa saja terjadi dimanapun dan kapanpun.
Keempat, menyiapkan mitigasi yang jelas melalui grievance mechanism, mulai menilai signifikansi dari seluruh dampak negatif mulai dari Tingkat keparahan (severity), kemungkinan terjadi (likelihood) untuk dampak negatif, skala (scale), ruang lingkup (scope) serta kemungkinan terjadi (likelihood) untuk dampak positif. Sehingga secara rangking akan terlihat untuk proses keberlanjutan dengan dampak signifikan pada tata kelola yang lebih baik dalam proses pendekatan 'lestari dan berkelanjutan'.
Kelima, membumikan nilai kelestarian alam dalam elemen kita sebagai makhluk hidup yang punya keterkaitan dengan alam dan unsur yang erat. Karena kita bagian dari ekosistem lingkungan biotik. Membumikan nilai ini dalam arti mulai melakukan tindakan keseharian selaras dengan alam, menyuarakan nilai-nilai kelestarian, menuliskan dan mengkampanyekan prinsip-prinsip keberlanjutan, hingga mencerminkan perilaku yang berpihak pada sosial dan lingkungan.
Tahun Naga adalah moment membangun kembali kelestarian alam, beriring dengan keberhasilan demokrasi yang diakui atau tidak akan sangat terkait erat dengan pengambilan keputusan dan kebijakan ke depan dalam konteks ketatanegaraan yang berpihak pada nilai-nilai lingkungan, sosial dan tata Kelola yang baik. Unsur naga sebagai nilai keilahian dan keistimewaan untuk berinovasi dan berkarya adalah wujud kekuasaan Tuhan yang memberikan segala karunia-Nya untuk kita berikan penghargaan setinggi-setingginya atas unsur tanah, air, kayu, api dan emas. Paling tidak, dengan pesta demokrasi di tahun Naga Kayu, harapan Cik Mei sebagai bagian dari Indonesia turut berperan serta dalam mendoakan dan terus berpengharapan agar Indonesia tetap menjadi negara heterogen, saling toleransi, terus berinovasi dan memiliki keberuntungan sebagai berkah bagi masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H