Terlepas dari Dirty Vote, dan apapun hasil pemilu sebagai pesta demokrasi, yang menjadi pertanyaan adalah mampukah kita mempertahankan moment kemunculan sang Naga yang hanya 60 tahun sekali ini sebagai titik balik menuju Indonesia lestari? Jawabannya adalah apabila, kita semua mampu legowo membangun paradigma pembangunan ke arah yang lebih adil dan lestari dengan 'pendekatan lingkungan' dan 'bukan sekadar ramah lingkungan' memasukkan aspek sosial dan lingkungan hidup didalamnya. Mengapa? Karena hari ini kita tidak sekadar berbicara dalam konteks 'konsumsi, belanja pemerintah, investasi dan ekspor-impor, melainkan berbicara soal 'keep existance'Â dalam misi 'alam lestari'.
Paling tidak, usai pesta ini dengan filosofi Naga Kayu, kita bisa tetap konsisten dalam pola pembangunan yang lebih arif, bijak, mempertimbangkan efek domino dalam investasi dan model pembangunan pada ekonomi, lingkungan dan sosial termasuk hak asasi manusia.
Beberapa hal penting dalam momen ini adalah:
Perrtama, membumikan nilai-nilai kelestarian alam dan terintegrasi dengan pola pembangunan yang adil terhadap kondisi alam.
Kedua, kebijakan harus mengacu pada standarisasi dalam keberlanjutan, terutama dalam soal investasi, bagaimana kemudian mampu mengurai dampak negatif, mengurangi emisi karbon, mempertahankan biodiversity atau bisa mengacu pada Global Reporting Initiative (GRI) standard.
Ketiga, strategi dan komunikasi secara multi-stakeholder. Ingat, negara kita adalah heterogen, dengan berbagai etnis dan suku bangsa. Adalah penting melibatkan seluruh elemen ini dalam model pembangunan secara inklusif hingga pelibatan pada penanganan dampak krisis lingkungan dan sosial yang bisa saja terjadi dimanapun dan kapanpun.
Keempat, menyiapkan mitigasi yang jelas melalui grievance mechanism, mulai menilai signifikansi dari seluruh dampak negatif mulai dari Tingkat keparahan (severity), kemungkinan terjadi (likelihood) untuk dampak negatif, skala (scale), ruang lingkup (scope) serta kemungkinan terjadi (likelihood) untuk dampak positif. Sehingga secara rangking akan terlihat untuk proses keberlanjutan dengan dampak signifikan pada tata kelola yang lebih baik dalam proses pendekatan 'lestari dan berkelanjutan'.
Kelima, membumikan nilai kelestarian alam dalam elemen kita sebagai makhluk hidup yang punya keterkaitan dengan alam dan unsur yang erat. Karena kita bagian dari ekosistem lingkungan biotik. Membumikan nilai ini dalam arti mulai melakukan tindakan keseharian selaras dengan alam, menyuarakan nilai-nilai kelestarian, menuliskan dan mengkampanyekan prinsip-prinsip keberlanjutan, hingga mencerminkan perilaku yang berpihak pada sosial dan lingkungan.
Tahun Naga adalah moment membangun kembali kelestarian alam, beriring dengan keberhasilan demokrasi yang diakui atau tidak akan sangat terkait erat dengan pengambilan keputusan dan kebijakan ke depan dalam konteks ketatanegaraan yang berpihak pada nilai-nilai lingkungan, sosial dan tata Kelola yang baik. Unsur naga sebagai nilai keilahian dan keistimewaan untuk berinovasi dan berkarya adalah wujud kekuasaan Tuhan yang memberikan segala karunia-Nya untuk kita berikan penghargaan setinggi-setingginya atas unsur tanah, air, kayu, api dan emas. Paling tidak, dengan pesta demokrasi di tahun Naga Kayu, harapan Cik Mei sebagai bagian dari Indonesia turut berperan serta dalam mendoakan dan terus berpengharapan agar Indonesia tetap menjadi negara heterogen, saling toleransi, terus berinovasi dan memiliki keberuntungan sebagai berkah bagi masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H