Sustainable product hari ini menjadi perbincangan banyak orang diberbagai belahan dunia. Sustainable product juga dianggap menjadi salah satu cara bagaimana mengukur kepedulian kita terhadap planet tempat kita tinggal, dimana produk ini dianggap memiliki kelebihan dengan bahan yang berkualitas dan tentunya meminimalisir dampak terhadap lingkungan ditengah climate change yang terjadi.Â
Pemilihan dan pemilahan sustainable product menjadi nilai tersendiri bagi gen Z yang menjelma menjadi segmen khusus dalam pasar global. Mereka juga merupakan konsumen aktif yang bisa menentukan 'nilai' produk dari sisi kelayakan untuk save people and planet sebagai konsumen.
Berdasarkan data The Sustainability Imperative Nielsen edisi 2015 yang melibatkan 30.000 konsumen di 60 negara, sebanyak 66% dari responden mengaku bersedia membayar lebih untuk membeli produk berkelanjutan atau green product (https://lestari.kompas.com/,2023).Â
Produk berkelanjutan dimaksudkan untuk membangun pertumbuhan perekonomian Indonesia ke arah green economy, yakni mendorong ekonomi rendah karbon, menggunakan sumber daya hayati, mengurangai bahan bakar fosil, meningkatkan kesejahteraan sosial sehingga mampu menguramgi dampak negative terhadap alam.
Dengan green economy, Indonesia juga tumbuh 5,3% di tahun 2022 oleh terms of trade yang positif dari sektor komoditas dan konsumsi swasta. Berlanjut pada 2023 tumbuh 5,05% dan 5% diperkirakan akan tumbuh di 2024 (https://www.worldbank.org/,2023).Â
Komitmen besar Indonesia terhadap green economy juga telah dibuktikan dalam 'Leaders Declaration'Â dalam gelaran G20 di Bali pada 2022 lalu, mulai dari (i) Pandemic Fund untuk mengatasi pandemi di masa depan sebesar USD1,5 miliar, (ii) Special Drawing Right (SDR) oleh IMF dalam bentuk Resilience and Sustainability Trust (RST) sebesar USD81,6 miliar, (iii) Mendorong komitmen perubahan iklim pada Glasgow Pact dari negara maju sebesar USD100 miliar per tahun, (iv) Kelanjutan komitmen untuk memastikan setidaknya 30% dari daratan di dunia dan 30% dari laut dunia dikonservasi atau dilindungi pada tahun 2030, serta (v) Kelanjutan komitmen untuk mengurangi degradasi tanah secara sukarela sampai 50% di tahun 2040 (https://www.ekon.go.id/, 2022).
Bicara green economy tentu tidak terlepas dari green product and green services yang kini menjadi trend dalam membangun branding. Contoh paling gampang adalah anak-anak kalangan muda yang memiliki pandangan praktis dan realistis ini justru paling sadar ternyata dengan kemunculan isu ini.Â
Farid, sebut saja begitu. Salah satu teman diskusi, yang memiliki concern terhadap green product.Â
Menurutnya, green product itu penting untuk membantu anak-anak muda memahami bagaimana mengelola lingkungan dan menjaga planet yang sudah semakin parah kerusakannya.Â
Beberapa campaign yang dilakukan diantaranya mulai dari memperkenalkan kain tenun berbahan alam, climate change card, management food consumption, fashion termasuk dengan cara mengelola sampah dengan bijak.Â
Semua yang dilakukan tentu dengan tujuan untuk meminimalisir dampak dari climate change dengan carbon neutral awareness dan carbon reduction, menyesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan keseharian kita.
Produk ramah lingkungan yang bersifat sustainable yang dibangun dengan mindset kesadaran akan lingkungan begitu melekat bahkan jika melalui google search engine 23.000.000 hasil dalam (0,30 detik). Artinya trend ini secara global telah menjadi kebutuhan utama yang mengakomodasi terhadap 'save of our environment'.Â
Prinsip yang sama yang juga dimiliki oleh masyarakat urban dan eco-people dimana lingkungan hidup memberikan kehidupan bagi keberlangsungan peradaban manusia. Seperti halnya seorang ibu yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya melalui nutrisi dan kasih sayang, https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2023. Inilah mengapa kemudian keberadaan produk yang sustainable menjelma menjadi sebuah kebutuhan, meski kadang kita harus membelinya dengan harga yang mahal.
Tumbler, salah satu peralatan minum dengan alat penutup yang fleksibel dan ramah lingkungan yang kini populer di berbagai kalangan.Â
Secara harfiah, tumbler berarti 'orang yang berguling'. Tumbler pertamakalinya ditemukan di Jerman pada 1904 dengan teknologi vakum guna menjaga minuman tetap dalam kondisi panas atau dingin (https://onlineprint.co.id/, 2023).Â
Tumbler bahkan saat ini banyak bentuk dan jenisnya dengan berbagai variasi ukuran yang memudahkan penggunanya untuk dibawa kemanapun mereka pergi. Tak jarang trend penggunaan tumbler juga digunakan oleh pasar sebagai kesempatan untuk menarik konsumen dengan label 'go green'.
Hanya saja, tumbler kemudian berubah fungsi, tidak hanya sebagai 'alat penyimpan air mium' namun juga menjadi 'tanda status sosial' dengan membeli 'tumbler berkelas' dan harga yang relatif mahal dibandingkan tumbler biasa. Padahal untuk memproduksi barang tersebut menghasilkan 6,3 kali lipat dari berat barang tersebut (https://news.climate.columbia.edu/2020).
Cristoph Meinrenken (Associate Research Scientist at the Earth Institute's Research Program on Sustainability Policy and Management, 2020) menyebutkan teknologi yang saat ini diciptakan memang menunjang langkah nyata, membantu mengurangi dampak perubahan iklim, 'namun hal ini juga diikuti dengan kebutuhan konsumsi yang tinggi'.Â
Tidak cukup menurutnya hanya 'menghijaukan' apa yang kita konsumsi dengan pembelian barang yang diproduksi secara berkelanjutan. Hal ini karena 45% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global hanya berasal dari produksi barang-barang yang kita gunakan dan kita beli setiap hari.
Belum lagi ditambah dengan pengiklanan yang justru ikut menyempurnakan dengan strategi untuk membuat orang tetap membeli atau melakukan purchase intention melalui eksplotasi emosi. Misal jika kita tidak ikut membeli tumbler, maka kita dianggap 'kurang peduli terhadap lingkungan, menambah sampah plastik atau bahkan ketinggalan dari sebuah trend sehingga menjadi tidak menarik dan social exposure lainnya.
Vance Packard (American Journalist and Social Critic, 1960) menulis dalam sebuah buku klasiknya "The Wastemakers" The lives of most Americans have become so intermeshed with acts of consumption that they tend to gain their feelings of significance in life from these acts of consumption rather than from their meditations, achievements, inquiries, personal worth, and service to others (Kehidupan kebanyakan orang Amerika telah menjadi begitu terikat dengan tindakan konsumsi sehingga mereka cenderung memperoleh perasaan penting dalam hidup dari tindakan konsumsi tersebut dibandingkan dari meditasi mereka. prestasi, pertanyaan, nilai pribadi, dan pelayanan kepada orang lain) (https://news.climate.columbia.edu/2020).
Kritik sosial ini menambah deretan bagaimana kemudian kita harus membeli barang dengan 'eco-label' dengan harga mahal, sebagai sebuah trend, merasakan sensasi terhadap hal baru, atau menikmati status dengan barang baru. Tentu kebiasaan ini terkait dengan pembelian produk, dimana apabila kita membeli produk dan mencintainya, maka kita akan merawatnya dan tidak akan menggantinya sampai dengan tidak layak pakai.Â
Mungkin kita masih agak sulit menjelaskan bagaimana kita kemudian memilih fashion dengan second fashion atau thrift.Â
Thrift dianggap sebagian orang mungkin tidak layak, dengan berbagai alasan kesehatan dan ekonomis lainnya. Tapi tahukah kita bahwa dengan thrift kita bisa menyelamatkan 93 miliar meter kubik air atau sekitar 20% air limbah industri fashion di seluruh dunia dari proses pencelupan dan pengolahan selembar kain?
United Nations Environment Program (UNEP, 2023) menyebutkan industri fashion bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global setiap tahun dan diprediksi akan naik 50% di tahun 2030.Â
YouGov Omnibus (2017) juga mengungkapkan bahwa dua pertiga orang dewasa (66%) di Indonesia membuang pakaian dalam decade 1 tahun terakhir dan dan seperempat (25%) telah membuang lebih dari sepuluh item pakaian dalam 1 tahun terakhir.Â
Ini artinya, kita belum sepenuhnya mampu menerapkan sustainable living dengan yang menyeimbangkan upaya lokal dan global untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan tetap melestarikan lingkungan alam dari degradasi dan kerusakan, dimana menjadi prinsip utama dalam mendukung produk yang lebih sustainable.
Membeli Nilai atau Harga?
Exxon Mobil, Shell, BP, dan Chevron adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, namun perusahaan ini mencoba untuk tetap concern dalam 'sustainable product' dengan melibatkan konsumen utama mereka.Â
Dalam Sustainability Report (SR), 2023, Exxon Mobil mulai melakukan pengurangan total emisi VOC, Sox dan NOx sejak 2016-2022 sebesar 23% dan100% air yang digunakan dalam operasional merupakan air daur ulang dari air payau serta 30% dari pembuangan hidrokarbon terkendali ke dalam air.
Sementara untuk fuel, konsumen masih menuntut untuk pengurangan pada penggunaan bahan bakar fosil yang semakin membawa dampak apabila tidak ada peran serta pengurangan dari keseluruhan perusahaan ini.
Dalam kasus ini, tentu related dengan bagaimana kemudian kita menerapkannya di industri yang related dengan kebutuhan eksplorasi fosil yang memang masih menjadi kebutuhan utama dalam pemenuhan energi negara.
Pertama, dengan cara merubah pola hidup terkait dengan penggunaan energi.
Kedua, penting menerapkan teknologi energi bersih (Clean Energy Technologies) dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu teknologi bersih yang dikembangkan adalah teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).Â
Teknologi ini menerapkan rangkaian proses mulai dari pemisahan dan penangkapan CO2 hingga menyimpannya ke dalam tempat penampungan (formasi geologi) untuk jangka waktu yang sangat lama. Sehingga ini penting untuk mendorong acceptable dari konsumen dengan pnerapan nyata pada clean techonology.
Kembali pada green product, kita tentu tidak sebatas membeli produknya saja melainkan 'nilai' atau 'value' pada produk yang kemudian ini menjadi lebih mahal dengan berbagai proses seperti pembuatan maupun sertifikasi dari lembaga independen yang concern dalam isu keberlanjutan, contohnya Energy Star dan The Forest Stewardship Council.Â
Green product juga dipastikan terbuat dari bahan daur ulang yang bisa 're-use', biodegradable, bebas racun dan bahan berbahaya, dan tentunya ramah lingkungan. Dalam mengkomunikasikannya dibutuhkan pplastic re-use ula 'green marketing' agar tepat sasaran oleh customer. Selain tumbler dengan berbagai merk dan kebutuhan, adalah electric vehicle, sustainable fashion, pastic re-use dan lainnya.
Apakah membeli 'produk' atau membeli 'nilai' merupakan pilihan kita. Bijak dalam memilih 'apa yang menjadi nilai' tentu akan membantu penyelamatan terhadap lingkungan bahkan sosial kita.Â
Benefit yang kita tanam hari ini adalah perhitungan untuk 100 tahun mendatang. Investasi dengan menerapkan sustainable product menuju sustainable living tak hanya sebuah trend, tapi memaknainya dengan 'menyesuaikan kebutuhan kita, menyerasikan dengan perilaku keseharian kita, memberikan benefit kepada manusia lainnya' dan memberikan makna bahwa sustainable product akan mampu memberikan nilai lebih dengan mengukur pasar tingat kebutuhan konsumen dan menyesuaikan dengan daya beli masyarakat di sekitar kita.
Tak hanya buat kita, namun dari sisi perusahaan sebagai produsen juga dapat membawa dampak public awareness melalui keterjangkauan pasar baru atau new segmented, competitive advantage, membangun citra publik dan reputasi, efisiensi dan penggunaan sumber daya hingga menjaga kesletarian lingkungan dengan ikut aksi nyata mengurangi dampak perubahan iklim dan emisi GRK.Â
Its time for every one untuk mendukung climate change reduction hingga 2060 mendatang dengan bijak membeli sustainable product yang lebih bernilai manfaat dan mendukung transisi energi untuk masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI