Clean energy menjadi trending topik pembicaraan di berbagai negara. Berdasarkan search engine, sebanyak 1.060.000.000 hasil (0,51 detik) mencari kata kunci yang sama.Â
Tak hanya sebagai manifestasi dari visi banyak negara, namun menjadi dasar utama bagaimana sebuah negara disebut dengan ramah lingkungan' China, menjadi negara terbesar yang membuktikan bagaimana penggunaan clean energy dengan model Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).Â
Menurut databooks.katadata.co.id., 2022 PLTS Gonghe yang ada di Hainan, memiliki peringkat tertinggi dalam penggunaan PLTS di dunia, dengan kapasitas 2.200 megawatt (MW). Seluruh PLTS si ini mampu memproduksi listrik hingga 253,9 gigawatt (GW) pada 2020 dan mampu memenuhi 35,9% dari total kapasitas PLTS secara internasional.
Vietnam, negara berikutnya yang juga menggunakan PLTS sebagai salah satu pasokan pemenuhan berbagai industri di negaranya. Vietnam saat ini mampu memenuhi kebutuhan listrik dari 100 MW (0,1 GW) menjadi 5 (GW) atau 5 kali lipat.Â
Vietnam sangat yakin, bahwa PLTS adalah pilihan utama dengan perubahan iklim global yang juga mengubah iklim investasi hingga beberapa tahun mendatang. Ditambah ketersediaan tenaga surya di Asia khususnya masih sangat baik dan cukup untuk memenuhi kebutuhan industri bahkan rumah tangga.
Hal ini sama dengan riset yang dilakukan oleh Center for Sustainable Systems, di mana berdasarkan rata-rata radiasi sinar Matahari ke Bumi  1,73 x 10^5 terawatt. Sedangkan permintaan listrik global hanya 2,7 terawatt (kompas.com, 2021).Â
Ini artinya, sinar matahari dalam waktu beberapa jam mampu memenuhi kebutuhan energi tingkat global secara efisien. Inilah mengapa Vietnam juga mengeluarkan kebijakan Vietnam Electricity (EVN) dalam sistem pemanfaatan PPLTS.Â
Skema pertama, disebut dengan capex/capital expenditure, di mana penghasil PLTS dapat menjual energinya pada EVN seharga 8,38 sen USD/KWh. Skema kedua adalah Feed-in Tariff (FiT) untuk jenis pemanfaatan energi surya, mulai dari solar farm, floating solar dan PLTS Atap, termasuk rumah tangga. Bahkan Vietnam juga menjamin penggunaan pinjaman lunak dari perbankan unruk mendukung EVN.
Keberhasilan China dan Vietnam, bukan berarti tanpa trial and error dan bukan juga tanpa pernah mengalami kendala. Pada tahun 2019-2020, dilansir dari Bisnis.com, 2023, mengalami kerugian setelah pemasangan 8 GW untuk solar farm.Â
Hal ini dikarenakan 'intermintensi' atau perubahan cuaca yang cepat sehingga pengusaha PLTS kesulitan mengatur iradiasi matahari.
Bagaimana dengan Situasi PLTS di Indonesia?
Bicara Indonesia, tentu tidak asing dengan segala energi terbarukan yang dimiliki. Apalagi sebagai daerah tropis dengan ketersediaan matahari yang cukup dan tentu saja sepanjang tahun.Â
Hanya saja kita masih di angka minimal dengan hasil 0,04% dari total produksi energi (IRENA, 2021). Â Padahal Indonesia diklaim mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 640.000 terawatt per jam (Twh) per tahun dari energi matahari.Â
Sedangkan dari tenaga listrik saat ini hanya 272,42 Twh (ESDM, 2020). Belum lagi, catatan Carbon Tracker (2021), bahwa panel surya atau instalasi photovoltaic (PV) diperkirakan lebih murah dibandingkan PLTU. Hanya saja secara efisiensi dan low maintenance, PLTU menjadi andalan negara. Belum lagi harus ada ketersediaan lahan yang luas.
Indonesia juga telah memiliki kebijakan dari KESDM No. 26 tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum dan kini tengah direvisi, di mana pemakaian PLTS Atap hanya bisa digunakan untuk kebutuhan secara mandiri dan tidak bisa dijual kepada PLN.Â
Perubahan ini tentu saja menjadi diskusi menarik di tengah maraknya PLTS Atap yang dianggap mampu menyimpan kelebihan energi dan bisa menjadi peluang usaha electricity melalui kebijakan negara seperti EVN. Padahal EBT Indonesia sesuai dengan Renstra akan mensuplai kebutuhan sebesar 31% pada 2050.Â
Siklus panel surya yang hanya mampu sekitar 15 atau 20 tahun juga menjadi PR tersendiri, di tengah menyempitnya lahan (1.37 hektar untuk membangkitkan 1 GWh listrik), perubahan cuaca hingga mungkin dampak terhadap burung yang mati karena sengatan listrik PLTS.
Siapkah Indonesia Beralih?
Peralihan terhadap energi terbarukan bukan hal yang mudah. Ada banyak faktor yang musti disiapkan secara perangkat infrastruktur oleh negara. Bukan hanya pada level kebijakan yang harus dilakukan harmonisasi hingga tingkat daerah namun juga kapasitas sumber daya manusia, hingga daya dukung lingkungan.
Sebagai perbandingan, saat ini 90% kebutuhan listrik negara masih bergantung pada pemenuhan batu bara, karena bisa diandalkan, serbaguna, dapat diprediksi dan kompatibel bersanding dengan energi lainnya.Â
Memang butuh waktu panjang proses batu bara terjadi (340 tahun). Namun efisiensi penggunaan dengan penerapan pengurangan jumlah emisi yang dilakukan dapat juga menjadi alternatif.
Dalam konteks bicara EBT, memang seperti paradoks. Di sisi lain kita harus memenuhi target global dalam NDC pada 2030 dengan target 29% dengan akselerasi Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan bauran 25% energi nasional pada 2025 mendatang. Meskipun kita baru bisa mencapainya di angka 11,5%.Â
Apalagi Indonesia justru menaikkan target produksi sebesar 394,5 juta ton, di mana 176,8 ton untuk konsumsi dalam negeri dan 517,7 juta ton untuk target export market (cnbcindonesia.com, 2023).Â
Belum lagi penambahan cadangan energi fosil pada share import dalam negeri mencapai 41% (2030) dan 52% pada 2050, dalam pola business as usual (BAU) sebesar 90% di tahun 2050. Ditambah dengan kenaikan pasar global yang naik mencapai 4%.
Ada banyak skema yang telah disusun, terutama dari sektor pertambangan dalam hal pengurangan emisi yang dituding menjadi penyebab perubahan iklim diangka 70%.Â
Meskipun pada dasarnya industri pertambangan telah berbenah dengan berbagai sistem dan regulasi, baik nasional maupun internasional mulai dengan pola Carbon Capture Stock (CCS), Carbon Tax hingga Carbon Trading. Ditambah dengan prinsip dekarbonisasi yang menjadi salah satu keharusan dalam business sustainability melalui Environment, Social & Governance (ESG).
Untuk itu, peralihan dari batu bara ke EBT, khususnya PLTS penting diselaraskan dengan berbagai sistem dan kebijakan, hingga konteks kebutuhan kita terhadap energi fosil, batu bara. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah;
1) One mapping dalam kebutuhan pemenuhan energi fosil, dengan pemilahan yang tepat secara market share terhadap batu bara
2) Mengukur impact peralihan dengan penyiapan infrastruktur EBT-PLTS dari berbagai level dan skala, mulai  dari regional, nasional dan global
3) Mengukur dampak sosial dan ekonomi dengan perbandingan positioning dari berbagai sektor bisnis dan kelas rumah tangga
4) Membangun komitmen bersama dalam akselerasi pengembangan EBT-PLTS, termasuk dalam investasi dan juga keuangan
5) Tekno-ekonomi dengan penghitungan secara komperehensif dengan pendekatan teknik industri dalam transisi EBT-PLTS
6) Penerimaan publik terhadap EBT-PLTS
7) Partnership antara inter-agency work, regulator, educator, penerimaan publik dan teknologi menuju EBT sekaligus green industrial area pada industri batu bara
Pada dasarnya, green and sustainable menjadi satu elemen penting, terutama pemulihan ekonomi global, termasuk bagaimana menjangkau kebutuhan listrik melalui PLTS. Global governance menjadi dasar penyiapan Indonesia dalam menyikapi berbagai risiko sosial dan lingkungan.Â
Resiliensi menjadi tujuan utama EBT, terutama dalam pembangunan PLTS baik di pedesaan maupun wilayah perkotaan dengan "jaringan cerdas" di seluruh Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI