Seluruh film di atas merupakan bentuk penyajian dan penjelasan megenai cuaca ekstrem yang mampu merubah tatanan dunia, bahkan disebutkan merupakan fenomena 'perubahan iklim' yang menimbulkan bencana. Cuaca sendiri pada dasarnya 'keadaan udara dalam waktu dan tempat tertentu'.
Penyebab terjadinya cuaca adalah perubahan suhu, cahaya matahari, kelembaban udara dan kecepatan angin. Sedangkan pada cuaca ekstrem, terjadi karena pemanasan global, dimana terdapat musim kemarau berkepanjangan dan hujan lebat yang datang secara tiba-tiba.
Dalam penjelasan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) cuaca ekstrem yang terjadi di Indonesia diperkirakan sudah terjadi sejak 30 tahun sebelumnya, ini artinya diperkirakan sudah terjadi di sekitar tahun 1990-an dan sudah mulai dirasakan.
Hal ini bisa ditandai dari peningkatan suhu hangat pada permukaan air laut, Angin Monsun Australia yang masuk ke Indonesia karena konvergensi dan pelambatan kecepatan angin, dan beberapa penyebab lain yang membawa dampak signifikan di sekitar kita seperti peningkatan suhu udara, kebakaran hutan dan lahan diberbagai negara, pandemic covid 19, termasuk demam, malaria, tifus, bencana alam (tanah longsor, kekeringan, banjir), semakin langkanya air bersih, berkurangnya keanekaragaman hayati dan bahkan yang paling fatal sebut saja tenggelamnya pulau pulau kecil.
Apa yang harus kita lakukan? Tentu bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab ditengah berbagai tekanan global. Bukan hanya soal cuaca ekstremnya yang kita hadapi, namun dampak ikutan yang juga harus dicari alternatifnya.
Ada banyak hal kecil yang bisa dilakukan dalam mengurangi tekanan global akibat cuaca ekstrem, bahkan muai dari diri sendiri seperti cukup istirahat, mengurangi stress, cukup minum air putih, rutin berolah raga, siapkan obat-obatan dan vitamin di dalam rumah untuk kondisi darurat hingga berbagai keperluan evakuasi.
Bukan hanya kesehatan diri yang harus kita jaga, tetapi adanya cuaca ekstrem ini tentunya ikut merubah tatanan pola kehidupan, cara kita, perilaku kita terhadap alam, terutama bagi kita yang berada di industri pertambangan.
Pola dan Sistem Radical Adaptation dalam Industri Pertambangan
Industri pertambangan, khususnya batubara merupakan industri yang sangat bergantung pada cuaca dan kondisi lingkungan di sekitarnya.Â
Bagaimana tidak? Untuk mengoperasionalkan berbagai alat berat, seperti Excavator, Roller, Wheel Loader, Crusher hingga Dump Truck membutuhkan cuaca yang normal. Karena ini juga akan menghambat pada proses eksplorasi, produksi, pengolahan bahkan penjualan yang otomatis berhenti. Pada akhirnya secara kualitas batubara maupun efisiensi waktu menjadi dampak ikutan berikutnya.
Dari dampak cuaca ekstrem yang kemungkinan terjadi hingga Agustus 2023, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) bahkan memprediksi bahwa batubara untuk kebutuhan Domestik Obligation Market (DMO) dipeekirakan hanya diangka 663 juta ton pada akhir 2022, akan liniear dan sedikit dibawah target secara volume. Total penerimaan batu bara untuk PLTU-PLN, perusahaan pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) hingga kini tlah mencapai 94,3 juta ton atau 93% dari perencanaan kebutuuhan hingga September 2022.
Tentu kita juga harus belajar dari kejaddian yang menimpa pada saat 2015 lalu, dimana kekeringan terjadi lebih luas dengan cuaca ekstrem, hingga menyebabkan Karhutla, menurunnya jumlah produksi pertanian (41% lahan padi mengalami kekeringan), 3 dari 5 rumah tangga kehilangan pendapatan, hingga mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan makanan, Â bahkan berdampak luas terhadap inflasi secara keseluruhan (IMF, 2017).