Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rembang-Lasem; Daendels, Indische Eik dan Sejarah Morfologi 3 Negeri

17 Agustus 2022   12:15 Diperbarui: 2 September 2022   07:38 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disebut Eik, karena sifat dan manfaat kayu jati sama dengan kayu Eik yang ada di Eropa. Meski Jati bukan kayu endemik daerah Rembang, dan justru berasal dari Kalingga, Selatan India, dengan sebutan Tachatti atau Tekjattu, namun kayu ini tetap menjadi primadona 'meubel' atau 'furniture perlengkapan rumah' andalan masyarakat setempat hingga hari ini (Sejarah Kehutanan Indonesia, 1986).

Simon (2010) menyebut, dengan adanya pelabuhan di Rembang, maka pemerintah Hindia Belanda saat itu menjadikan Rembang sebagai indutri hulu, dimana hilirnya adalah Amsterdam dan Rotterdam, sebagai pabrik kapal terbesar dimana saat itu, yang mampu mengantarkan Belanda menjadi produsen kapal, sejajar dengan Inggris dan Perancis. Bahkan Amsterdam dan Rotterdam, menjadi kota pelabuhan terkemuka, pintu perdagangan utama negara-negara Eropa Tengah yang di-supply dari 3000 balok kayu jati besar untuk galangan kapal di setiap tahunnya, melalui pelabuhan hulu, berpusat di Kota Rembang, salah satu daerah Karesidenan Hindia Belanda.

Lasem, sebagai kota kecil yang juga berdekatan dengan Rembang, berjarak 12 km, bagian dari 'Jalan Raya Pos' dengan luas 4.504 ha pada masa Daendels (1808-1811).

Nama Lasem sendiri juga terdapat dalam Negarakertagama (1365) di zaman kerajaan Majapahit, Badrasanti (1479), Pararaton (1600) dan tercatat juga dalam 4 (empat) kronik China pada tahun 1304-1617. Sama halnya dengan Rembang, Lasem juga menjadi pelabuhan perdagangan pada abad 18-19 (Apriyani, 2018).

Lasem memiliki sejarah yang tak kalah menarik. Justru, sejarah mencatat, Lasem memulai pergerakannya melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di tahun 1740-1743 yang mempersatukan pasukan Mataram dan Tionghoa, yang dipimpin oleh Sunan Amangkurat V alias Raden Mas Gendi dan Raden Mas Said atau dikenal dengan Pangeran Sambernyowo (Sultan Mangkunegara I) bersama 'Tan Sing Ko' atau dikenal dengan 'Singseh'.

Pergerakan ini menurut Daradjadi Gondodiprojo (2014) dalam 'Geger Pacinan: 1740-1743 Persekutuan Tionghoa Jawa Melawan VOC', menjadi moment persatuan antar etnis dan kekuatan kekuasaan oleh adanya para bupati peranakan Tionghoa yang memimpin Lasem dan wilayah Pantura lainnya.

Perang ini dimulai dari daerah Gandaria, pinggiran Batavia dan membakar hampir seluruh wilayah pantura hingga pedalaman Jawa, menjalar ke Pasuruan di ujung Timur pulau Jawa.

Jejak sejarah yang begitu terlihat jelas, mulai dari bentuk bangunan 'pecinan' berarsitektur China Fujian, China Hindia, Indische Empire, dan Belanda yang mencapai sekitar 250 bangunan, sebut saja Klenteng Cu Ankiong (abad ke-16, Desa Soditan), Klenteng Bao An Bio (dipugar 1919, daerah Pecinan Karangturi gang 8), Klenteng Gie Yong Bio (dibangun untuk menghormati dua pahlawan dalam perang 'Geger Pacinan 1740-1743', Chen Sixian dan Huang Daozhou), Lawang Ombo (Lim Cui Sun, berarsitektur China Fujian Selatan, tahun1825), Pesantren dan Masjid Kauman (berarsitektur China Hindia), Rumah Lim Hong Hoen (berarsitektur Indische Empire, abad ke-20, saat ini berfugsi sebagai Kantor Polisi Sektor Lasem), Museum 'Nyah Lasem' (berarsitektur China Hindia, Karangturi gang 5), dan Rumah Merah atau dikenal dengan 'Tiongkok Kecil Heritage' (komplek Pecinan, Karangturi gang 4).

Dari keseluruhan bangunan yang ada di Kota Lasem ini, secara morfologi menurut Kurniati (2016) dalam History of Development of Lasem City Space Structure, merupakan perpaduan antara pola jalan yang grid dengan pola kota linier.

Pola struktur ini membentuk pola pemukiman, ruang sosial budaya dengan pertumbuhan sentra industri batik Lasem, dengan bentuk gurita/bintang, karena pengaruh kondisi topografi.

Area lain sebagai aktivitas perdagangan dan jasa, di sekitar Jalan Sultan Agung dan Jalan Untung Suropati sebagai Central Business District (CBD) bagi daerah hinterland.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun