Pengalaman adalah guru berharga. Kata-kata yang seringkali kita dengar dan hampir dari waktu ke waktu tak pernah terlupa.Â
Tahun 2016, saat mengawali karir sebagai 'pegiat lingkungan' seorang generasi 'millennial', yang menurut katadata.com (2020) generasi ini berjumlah 69.38 juta atau 25,87% dari total penduduk Indonesia.Â
Generasi yang konon, memiliki talenta dan semangat juang tinggi dan juga sudah berbasis teknologi, dengan kehidupan sosial-urban. Bangga tentu jelas, menjadi bagian dari pola 'ekosistem' atau biotik yang ada di planet ini.
Cerita menarik saat di awal-awal sebagai pegiat lingkungan, adalah langsung bersentuhan dengan 'hutan' yang ada di Provinsi Jambi, pulau Sumatera.Â
Hutan dan aromanya, menjadi pengalaman yang mampu merubah sudut pandang akan kekayaan alam Indonesia. Bau tanah yang khas dengan kelembaban yang menjadi ciri khas hutan tropis, dedaunan basah dan kering, berbagai jeis bunga dengan keharuman tertentu, dan buah-buahan berbagai jenis yang tidak pernah habis meski selalu dipetik setiap tahunnya.Â
Belum lagi berbagai fauna yang juga hidup didalamnya, mulai dari yang melata, perimata, hingga berkaki empat yang justru, jika di Jambi menjadi pelindung bagi masyarakat lokal, seperti Orang Rimba dan juga masyarakat Adat Serampas.Â
Datuk Gedang misalnya, merupakan salah satu sebutan untuk si Pintar (Gajah) yang terkenal mampu mengangkat beban lebih dari berat badannya.Â
Ada juga Harimau yang disebut dengan 'Nenek' karena menjadi pelindung utama akan desa yang diharapkan damai, aman dan Sentosa dengan adanya hutan.
Pengalaman yang paling menarik adalah dari suku Talang Mamak, dimana mereka mengajarkan kepada kita, akan cara menjaga hutan secara lestari, mulai dari cara mengambil buah, sayuran hingga ikan di sungai yang tidak asal-asalan. Ada Teknik tertentu, saat mereka memilih buah yang layak untuk dikonsumsi.Â
Demikian juga Orang Rimba, ada 'arsitektur' unik yang mereka create sebagai nilai kearifan lokal dan budaya, seperti 'Benauron' sebagai kebun buah sebagai sumber pangan penting bagi Orang Rimba.
'Perana'on', sebagai tempat melahirkan para 'indok'Â atau sebutan ibu bagi Orang Rimba, 'Sentubung' sebagai lambang kelahiran anak-anak Orang Rimba, 'Sialang' pohon yang didiami lebah untuk dipanen sebagai sumber penghidupan sebagai sumber protein bagi Orang Rimba.Â
Biasanya pohon ini berupa Pohon Kempas, Kedondong Hutan maupun Pulai. 'Sesandingon' tempat dimana difungsikan sebagai 'social distancing'Â saat Orang Rimba terkena penyakit.Â
Tak hanya itu, bahkan Orang Rimba, memiliki filosofi tersendiri dimana 'hutan' adalah 'tanah Bedewo' yang memiliki makna 'tanah yang dikaruniai oleh Tuhan atau disebut dengan Dewo Godong (dewa besar)'.Â
Seluruh tempat ini, mereka jaga, mereka lindungi, mereka lestarikan karena mereka sadar betul, bahwa ini semua karunia Tuhan, sumber penghidupan, keberlanjutan, nilai bahkan jiwa yang mereka miliki bahkan 'hutan' adalah jati diri.
Apa yang menjadi cerita dan catatan pengalaman di atas, menjadikan diri memahami 'nilai' yang layak kemudian disematkan pada 'hutan'.
Tidak salah bila kemudian, dari generasi milenials hari ini, yang notabene berasal dari masyarakat urban, menyebut bahwa 'Hutan Kita Sultan'.Â
Karena disanalah terdapat air, udara, tumbuhan, hewan dan hampir seluruh kehidupan ekosistem ada didalamnya. Bukan sekadar pohon yang tegak, namun jejak peradaban manusia yang juga diwariskan oleh hutan.Â
Inilah kemudian mengapa Hari Hutan Indonesia (HHI)Â yang selalu diperingati di setiap tanggal 07 Agustus 2022, sebagai bentuk penghargaan bersama atas hutan, bersama lebih dari 95 organisasi, perusahaan, dan masyarakat sipil.
Seperti Hutan Itu Indonesia (HII), Lindungi Hutan, Yayasan Madani, Teras Mitra, Bentara Papua, KKI Warsi, KEHATI, ASRI, Yayasan Satunama, KPopers 4 Planet, WRI, Danone, Belantara Foundation, dan lainnya, di tanah air Indonesia sebagai kolaborator utama dan dilakukan serentak di Hutan Kota Kemayoran Jakarta Utara, DKI Jakarta.
Sama halnya di Internasional, hari hutan juga menjadi peringatan bersama setiap tanggal 21 Maret, dimana pada 2022 lalu dirayakan dengan hastag: 'Hutan Produksi dan Konsumsi Berkelanjutan'.Â
Hal ini dimaknai bahwa hutan harus dikelola secara lestari, berkelanjutan pada proses pemanfaatannya, sebagai kunci untuk mengurangi perubahan iklim, ikut berkontribusi pada kemakmuran, bahkan kesejahteraan generasi mendatang, bahkan pengurangan angka kemiskinan dimana 1,6 miliar penduduk dunia, rumah bagi 80% keanekaragaman hayati dunia (dlh.probolinggo.co.id).
Indonesia dengan luasan hutan 96,561,9 juta ha, atau sekitar 51% dari total luas daratan Indonesia pada 2020 (databooks.katadata.co.id), tentu patut kita perjuangkan dalam kelestarian hutannya. Apalagi kita sadar betul, bagaimana Indonesia adalah negara kepulauan. Tentu hutan adalah tumpuan utama bagi kita yang tinggal didaratan.Â
Sedangkan laut adalah bagian dari ekosistem planet yang juga harus dijaga sebagai satu kesatuan agar degradasi tak terus mendesak dalam keberlangsungan kehidupan.
Hutan, laut dan lingkungan inilah yang menjadi kunci utama kita sebagai relawan untuk terus berjaga, menyuarakan, saling mengisi dan berkolaborasi dalam kelestariannya. Mengapa? Karena kita tak akan bisa menyelesaikan persoalan lingkungan dan hutan dengan diri sendiri.Â
Soal sampah plastik, penebangan dan penggundulan hutan, perburuan liar, hilangnya sumber air bersih, berkurangnya produksi oksigen karena polusi yang semakin mencekam, menjadi tanggungjawab kita bersama baik dalam pengurangan emisi, hingga tata kelola hutan yang lestari untuk anak cucu kita nanti.
Karenanya, sebagai relawan lingkungan, pada moment Hari Hutan Indonesia, mari kita jadikan momentum, bergandeng tangan berkolaborasi, dengan 4 prinsip utama;
Pertama, sharing (berbagi). Sharing, momentum ini tentu sebagai berbagi pengalaman bersama dalam menjalin usaha perjuangan menjaga hutan hingga menjadikannya pembelajaran yang bisa dilakukan bahkan di adopsi sesuai dengan konteks budaya lokal, perlindungan ekosistem di wilayah organisasi maupun perusahaan masing-masing.
Kedua, networking (berjejaring). Hari Hutan Indonesia, sebagai momentum berjejaring dengan berbagai organisasi dan perusahaan yang berbeda.
Membangun kohesi, keterikatan, keterpaduan berjalan bersama dalam satu suara untuk 'planet' yang kita tempati bersama, dengan cara kita, 'ala' kita, bersumber dari kita, untuk kita bersama sekaligus mampu menjangkau masyarakat di luar sana.
Ketiga, collaborating (berkolaborasi). Kita semua sebagai relawan dengan berbagi peran, tanggungjawab berkolaborasi bersama sebagai kolaborator yang memiliki visi, misi dan tujuan bersama.Â
Tentu dengan berkolaborasi, akan lebih luas dan kuat secara dampak. Kolaborasi di sini bahkan menjadi kunci sukses dengan keterpaduan tim yang kreatif, solid, berwarna dan penuh inovasi menarik.
Keempat, carrying benefit (mengajak/membawa manfaat). Tentu carrying di sini adalah bagaimana bergerak bersama, mengajak semua elemen masyarakat dapat berperan meskipun jauh jaraknya dari keberadaan hutan, misalnya dengan cara mengadopsi pohon, mengurangi sampah plastik, hemat energi, hingga penggunaan kendaraan yang rendah karbon,Â
bahkan hal kecil memilah sampah, dan menggunakan tumbler sebagai tempat makan kita sehari-hari adalah bagian tak terpisahkan dalam menjaga hutan kita sekaligus mempertegas peran kita sebagai 'relawan lingkungan' dengan menjaga dan melindungi hutan Indonesia.
Sebagai relawan, kekukutsertaan kita tentu penting untuk tetap mempertahankan wajah hutan Indonesia.Â
Mari lestarikan hutan dengan caramu, dengan mengubah cara hidupmu lebih 'ramah lingkungan', mendukung renewable energy, dengan menjiwai peran dan nilai makna kita sebagai 'manusia' yang merupakan satu kesatuan didalamnya.Â
Take care of the forest and she will take care of you and let's nurture the nature, so we can have a better life (jaga hutan, dia akan menjagamu dan mari kita pelihara alam agar kita dapat memiliki masa depan yang lebih baik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H