Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Mangrove: Penjaga Ekosistem dan Sustainability Livelihood Pasca Tambang

26 Juli 2022   11:30 Diperbarui: 26 Juli 2022   11:31 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Mangrove, tumbuhan bakau yang terkenal berhabitat di pesisir pantai. Mangrove dalam pengertiannya termasuk dalam formasi tumbuhan daerah litoral yang khas baik di pantai daerah tropis maupun sub tropis yang terlindung (Saenger, 1983). Mangrove juga diketahui sebagai sangat berdampak positif terhadap lingkungan dengan cara menanamnya secara bergerombol, berkelompok hingga membentuk Kawasan hutan.

Diantara manfaat mangrove adalah sebagai pencegah erosi, abrasi, sedimentasi dengan kemampuan penyerapan karbondioksida (CO2) mencapai 3,14 miliar ton karbon efektif untuk luasan mangrove di Indonesia. Selain itu, mangrove juga memiliki peran dalam menstabilkan wilayah pesisir, menyaring limbah secara alami, mencegah intrusi air laut, sekaligus sebagai habitat dan tempat pemijahan beberapa jenis satwa yang tinggal di area mangrove.

 

Disebutkan oleh www.mongabay.co.id dan www.antaranews.com, pada tahun 2021, luasan mangrove di Indonesia mencapai total 3,364,080 juta ha dengan kondisi, 1,6 ha dalam kategori baik dan 1,8 ha dalam kondisi rusak yang saat ini menjadi target Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) masuk dalam program rehabilitasi yang dimulai pada 2021-2024, dimana 150.000 ha telah dimulai pada 2021 lalu. Hal ini mengacu pada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dimana sumber pendanaannya bersumber dari APBN dan 16% sisanya diperkirakan akan menggunakan dana di luar APBN, termasuk kemungkinan menggandeng berbagai elemen perusahaan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR).

Mangrove dengan nilai manfaat penyerapan karbon dan menjadi salah satu kunci konservasi, oleh UNESCO pada 2015 dikukuhkan dan diperingati secara internasional setiap tanggal 26 Juli. Kali ini, UNESCO mengambil tema 'International Day of the Conservation of the Mangrove Ecosystem' atau Hari Internasional Konservasi Mangrove. Beberapa program dalam konservasi mangrove yang menjadi concern UNESCO diantaranya (www.detiknews.com); 1) Man and the Biosphare (MAB) atau manusia dan biosfer, 2) Local and the Indigenous Knowledge Systems (LINKS) atau sistem pengetahuan lokal dan msayarakat adat, 3) International Hydrological (IHP) atau hidrologi internasional dan 4) World Heritage Convention Global Geoparks Network atau konvensi warisan dunia jaringan geopark global.

Sebagai pemilik 24% total mangrove dunia (ppid.brgm.go.id), Indonesia tentu menjadi pengendali perubahan iklim global. Ini mengapa kemudian Indonesia terus bekerja melakukan rehabilitasi mangrove secara besar-besaran di 9 prioritas wilayah, mulai dari Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Papua Barat. Rehabilitasi diharapkan mampu mengakselerasi ekosistem mangrove, peningkatan pendapatan ekonomi riil bagi masyarakat sekitar sekaligus mampu mengejar target Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030 dengan kontribusi target 60% Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah ditetapkan melalui Keputusan KLHK No. 168 Tahun 2022.

Apa sebenarnya peran mangrove bagi ekonomi masyrakat sekitar? Mungkinkah hal ini bisa dilakukan dengan bersinergi dan integrasi pengelolaan pasca tambang? Dua pertanyaan ini seringkali muncul dalam berbagai perdebatan dengan berbagai polemik dan kepentingan. Atau bahkan memunculkan pilihan pada prinsip 'ekologi', 'manusia' dan sebuah entitas 'bisnis' yang mengacu pada pertambangan.

Dalam sistem operasional tambang, harus mengacu pada Permen ESDM 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara Bab XII Pasal 38, Ayat 1-8 bahwa pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, dan IUPK Operasi Produksi wajib menyusun RI PPM dengan berpedoman pada cetak biru (blueprint) yang ditetapkan oleh Gubernur. Penting sebagai pedoman yang harus dilakukan dengan menyusun program yang mengacu pada Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang selaras dengan tujuan sustainability livelihood masyarakat sekaligus juga sustainability environment.

Pada pasca operasional tambang, proporsi pembiayaan sangat jelas (jika diakaitkan dengan pola pendanaan CSR), dialokasikan secara proporsional untuk 'lingkungan, ekonomi dan pendapatan riil' yang didalamnya menjadi komponen utama livelihood sustainability dengan elemen masyarakat dan lingkungan dimana ia tinggal yang terkena dampak secara langsung dari adanya pertambangan.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana cara memulihkan atau merestorasi mangrove pasca tambang agar tetap berfungsi sebagai habitat satwa, tumbuhan, penyedia udara-air bersih hingga hasil hutan kayu dan non kayu? Secara definitif, Society for Ecological Restoration (www.ser.org) menyebut restorasi merupakan proses membantu pemulihan ekosistem yang telah menurun kualitasnya karena, rusak atau hancur. Istilah lain dalam pertambangan adalah reklamasi yang memiliki makna perbaikan kondisi lahan bekas pertambangan (Surface Mining Control and Reclamation Act).

Baik restorasi maupun reklamasi tujuannya adalah sama, untuk pemulihan ekosistem, hanya saja tentu tidak bisa sama persis hasilnya dengan kondisi sebelumnya, yakni sebelum dimulainya pertambangan. Tetap saja, meskipun berhasil dalam kondisi alamiah, akan tetap mengalami perubahan. Dalam hal ini Society for Ecological Restoration (SER), memberikan 9 atribut ekosistem yang dipulihkan melalui restorasi; 1) struktur komunitas yang menyangkut ukuran fisik tumbuhan, seperti tinggi, diameter dan bentuk, 2) memiliki jenis tumbuhan asli sebanyak mungkin (karena mempengaruhi jenis hewan, 3) memiliki seluruh kelompok jenis dan fungsinya yang diperlukan untuk keberlanjutan ekosistem atau akan mampu mengkolonisasi ekosistem secara spontan, 4) kondisi fisik ekosistem harus sesuai untuk reproduksi dari populasi dari jenis yang diperlukan guna stabilitas dan perkembangan ekosistem, 5) mampu berfugsi normal, sesuai perkembangan, 6) terintegrasi dengan bentang alam (landskap) yang ada di sekitarnya (aliran energi dan material terdekat), 7) terbebas dari landskap yang mengganggu Kesehatan dan integritas (keutuhan) ekosistem yang sedang dipulihkan, 8) memiliki daya lenting (resilient) yang baik dan 9) memiliki kemampuan untuk melestarikan diri (self-sustaining) dalam arti dinamis.

Beberapa langkah yang dilakukan pada tahap reklamasi adalah;

Pertama, melakukan analisis kesuburan tanah sebelum memulai penanaman dan identifikasi tanaman awal pasca operasional tambang. Jika lahan pasca tambang memiliki tingkat 'keasaman tinggi' maka perlu dilakukan penanganan asam tambang untuk mencegah dampak buruk yang ditimbulkan, seperti adanya pencemaran logam berat.

Penanganan asam tambang secara pasif adalah perlakuan yang memanfaatkan proses alami. Ada beberapa metoda, antara lain mengalirkan air asam tambang ini ke kolam atau parit yang mengandung batu kapur untuk menikkan pH air tersebut. Bisa juga air asam dialirkan melalui saluran tertutup yang mengandung kapur. Metoda lainnya adalah Alkaline producing systems (APS), or Successive Alkaline Producing Systems (SAPS) yang mengkombinasikan anoxic limestone drains (saluran terpendam dengan batu kapur) dan bahan organik untuk meningkatkan pH air.

Kedua, lakukan pengurangan erosi tanah dengan penanaman penutup basah (cover crop), seperti legum (Calopogonium), mangium (Acacia mangium), sengon (Paraserianthes falcataria), johar (Cassia siamea), turi (Sesbania grandiflora), dan sungkai (Paronema canescens) (Suhartoyo & Munawar (1998), yang dapat digunakan untuk melindungi tanah sekaligus peningkatan kesuburan dan bersimbiosis dengan restorasi ekosistem melalui pengurangan bakteri Rhizobium yang dapat mengikat nitrogen dari udara.

Pada proses rehabilitasi ini, menjadi faktor kunci keberhasilan program reklamasi tambang. Oleh karena tanah pada lahan pasca tambang batubara pada umumnya padat dan kurang subur, maka penggemburan tanah (ripping) pada lapisan permukaan penting dilakukan, termasuk kemudian pemilihan jenis tanaman, persiapan, penanaman, cara penanaman dan pemeliharaan tanaman.

Sedangkan untuk program CSR yang bisa dilakukan hingga pasca tambang, khususnya di area pantai melalui mangrove, terkait dengan sustainability livelihood diantaranya;

Pengembangan perikanan berbasis mangrove yang ramah lingkungan dengan model Silvofishery (Wanamina) yang nantinya dapat dimanfaatkan sumber dayanya sebagai sumber pendapatan melalui perikanan sekaligus pemanfaatan perairan.

Pengembangan Agroforestry dengan tujuan ekowisata mangrove. Mungkin cerita sukses di Brebes-Jawa Tengah (yang digagas oleh Mashadi, pemuda desa) dan daerah lainnya, dengan pemilihan jenis tanaman dan sistem perikanan yang tepat mampu menjadi pemenuhan kontribusi positif ekonomi dan lingkungan secara keberlanjutan.

Dari kedua langkah ini, masih bisa diturunkan lagi nantinya dengan diversifikasi produk yang dihasilkan oleh masyarakat, mulai dari pengolahan pangan hingga membuka akses pasar dengan special interest khas mangrove. Atau kekhasan lain adalah memadukan budaya local dengan pola adaptasi yang dilakukan masyarakat hingga menjadi survivor yang resilience.

Jika langkah 1 dan 2 berhasil, maka langkah berikutnya adalah penerapan mekanisme pandanaan yang mungkin saja bisa dilakukan jika dikelola dengan baik oleh masyarakat setempat dengan model 'blue carbon' atau Payment for Ecosystem Services (PES) sebagai cara baru dalam pengelolaan wilayah pesisir pasca tambang. Meski 'blue carbon' tak disebutkan sebagai 7 prioritas Rencana Aksi Nasional-Gas Rumah Kaca (RAN GRK), namun dalam hal ini masuk dalam 8 aktivitas pendukung oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) diantaranya; manajemen area konservasi, rehabilitasi area konservasi laut dan rehabilitasi ekosistem pesisir. Blue carbon juga berpeluang masuk dalam Perpres No.71/2011 tentang Inventarisasi GRK berdasarkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebagai sumber emisi karbon yang dapat diinventarisasi secara signifikan.

Sejauh ini juga diketahui pasar blue carbon oleh berbagai sumber disebutkan tumbuh dengan capaian 140 miliar USD/tahun, dimana pasar karbon Uni Eropa mencapau 107 miliar Euro sejak 2011 lalu.

Dari uraian ini, ringkasnya adalah, kitab isa melakukan reklamasi pasca tambang dengan pola sustainability livelihood baik dari aspek sosial, lingkungan sekaligus ekonomi dengan harmonisasi dan partnerships dari semua pihak, termasuk dukungan kebijakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun