Tak hanya Kondo, di Indonesia, gaya hidup minimalis juga diperkenalkan oleh beberapa tokoh muda millennial seperti Ryan Nicodemus, Joshua Fields Millburn (melalui blog 'The Minimalist') dan Cynthia Suci Lestari (melalui 'Lyfe With Less-LWL Community').
Ketiganya melalui berbagai tulisannya memperkenalkan berbagai prinsip hidup yang lebih mengedepankan prioritas, bijak dalam menentukan pilihan guna peningkatan produktivitas dan kualitas hidup yang menuju pada kebahagiaan sejati. Sehingga setiap orang bisa melalui part of life crysis-nya dengan baik.
'Bahagia', kata inilah yang kemudian menjadi esensi mengapa gaya minimalis penting bagi kita, para kawula muda. Bahagia, tentu bukan hanya apa yang dalam diri kita, namun juga Bahagia yang dirasakan dengan keselarasan alam semesta yang memberikan kita kehidupan. Bahkan lebih jauh, mempertimbangkan ruang 'bahagia' bagi berbagai makhluk yang ada di planet yang kita tempati bersama. Sehingga ini mendorong bagaimana kita memaknai diri kita menjadi pribadi yang lebih bijak, Bahagia dengan yang kita miliki, sekaligus membahagiakan bagi semesta.
Lalu, apa urusannya gaya hidup 'minimalis' dengan gaya hidupnya orang Yogyakarta? Jawaban yang mudah kita temukan saat berkunjung ke Yogyakarta.
Pertama, filosofi orang Yogyakarta, Hamemayu Hayuning Bawono. Filosofi ini dicetuskan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, yang bermakna prinsip harmoni, menjaga kelestarian, lingkungan dan sosial budaya guna menjaga sinergi antar makhluk hidup didunia dengan segala ekosistem didalamnya dalam space culture. Karena tak hanya manusia, tapi juga ada makhluk lain seperti hewan, tumbuhan, sungai, laut, gunung bahkan area pertanian yang kita ambil manfaatnya.
Filosofi ini mengajarkan unggah ungguh, tata kerama dan menghargai satu sama lain agar harmonis, dan tidak berlebihan dalam memanfaatkan apa yang kita punya, agar sinergi keberlanjutan dan harmonisasi terus terjaga.
Kedua, bersahaja. Bersahaja ini kembali pada filosofi Urip Iku Urup, yang bermakna hidup harus bermanfaat bagi orang lain. Kearifan dan tata santun dalam bersikap menjadi tuntutan gaya hidup di Yogyakarta yang masih dianut oleh masyarakat hingga hari ini.
Ketiga, humble. Orang Yogyakarta juga dikenal humble. Humble bermakna rendah hati, berkarakter positif dan asyik dalam menikmati setiap moment serta lingkungan dimanapun berada. Jika Anda menyusuri sudut perkampungan di Yogyakarta ini akan sangat mudah dijumpai, misalnya sapaan, 'monggo' (mari), nuwun sewu (maaf) akan diucapkan oleh orang yang sedang mlewati orang lain. Atau bahkan meski Anda baru pertamakali bertemu, biasanya masyarakat ini tidak sungkan untuk memberitahukan segala hal yang Anda tanyakan mengenai Yogyakarta.
Keempat, santai. Ini juga merupakan karakter orang Yogyakarta. Sekalipun hiruk pikuk Kota Yogyakarta begitu ramai oleh hingar bingar berbagai tampilan destinasi wisata yang ikut menaikkan berbagai tingkat kebutuhan, atau bahkan harus berbagi dengan para pendatang diberbagai penjuru negeri, 'santai' tetap menjadi kultur yang melekat melalui sikap keseharian.
Kelima, menikmati apa yang ada atau nerimo ing pandum. Ini adalah prinsip hidup minimalis, dengan filosofinya, yakni menerima segala yang diberikan oleh Tuhan sebagai sebuah berkah tanpa harus protes atau mencari kekurangannya.
Nerimo ing pandum inilah yang kemudian juga tercermin dalam kebiasaan orang Yogyakarta dimana lebih senang menikmati kesederhanaan 'Angkringan' dibandingkan memilih tempat makan berkelas. Nilai kebersahajaan yang ditampilkan inilah yang juga mampu menembus perilaku hidup, menyebar ke seluruh elemen kelas sosial masyarakatnya, termasuk siapapun yang datang dan tinggal di Yogyakarta, seperti halnya mahasiswa diberbagai sudut kota.