Ruang publik, inilah kemudian yang menjadi kata kunci, guna pemenuhan ekspresi diri, mulai dari; 1) Kebutuhan (human needs) dengan kenyamanan, relaksasi, aktivitaa pasif-aktif dan discovery adalah rasa yang memang menjadi keinginan setiap diri elemen masyarakat ketika mengakses ruang publik.
2) Hak penggunaan (rights of use) kebebasan beraktivitas, mulai dari akses, kemudahan bergerak, pengakuan penggunaan ruang hingga perubahan yang terjadi adalah prioritas yang perlu diutamakan, dan 3) Makna (meaning) makna historis, sosial, budaya, simbol keterhubungan yang menjadi kontribusi bagaimana ruang publik memberikan makna filosofi.
Inklusif juga salah satu aspek penting ruang publik, menjadi titik temu yang juga harus dicari, mewadahi rutinitas muda-mudi diberbagai penjuru negeri untuk berekspresi. Tidak harus pegi ke mall, cafe, atau pusat perbelanjaan masa kini untuk menunjukkan eksistensi diri, agar nilai 'nominal' bisa bisa diminimalisir.
Karena, bagaimanapun juga, tata kota, link antar area, landskap, dan pola moda transportasi menujukkan perubahan perilaku masyarakat desa hingga urban saat ini.
Pada akhirnya, baik Kota Yogyakarta sebagai kota budaya, maupun Jakarta dengan segala kelebihannya sebagai smart city, masih harus berbenah diri, mengedepankan kohesi dan solidaritas sosial sebagai langkah dialog yang sinergis antar generasi.
Maybe we're taking all the risks for something that is real (mungkin kita mengambil semua resiko untuk sesuatu yang nyata).
Lirik akhir lagu Pamungkas di atas, mungkin layak menjadi pertimbangan betapa pentingnya nilai inklusifitas pada ruang publik yang kini dirindukan oleh semua kalangan, sehingga seluruh ekspresi bisa tersalurkan tanpa berdesakan kembali dengan 'riuhnya' suara deru mesin di jalanan yang bisa menjadi salah satu resiko kecelakaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H