Sudirman Central Business District (SCBD) yang berada di area Dukuh Atas ini, diakui memiliki pesona tersendiri bagi anak-anak muda pinggiran ibu kota Jakarta. Area ini mengkoneksikan berbagai sudut kota, akses trotoar baru, koneksi jembatan layang antar moda transportasi, taman, public space yang bisa dimanfaatkan, mulai dari bermain skateboard, sepatu roda, bersepeda santai, hingga fotografi.
Sontak, berbagai fenomena ini membuat seluruh elemen bereaksi, tak hanya pegawai negeri namun juga akademisi, bahkan dari kuli hingga praktisi, berurun rembug dengan 'ekspresi ala jalanan' yang massif dilakukan berbagai kelompok muda yang ingin eksistensi.
Pertanyannya mengapa jalan yang digunakan sebagai presisi? Tidak adakah ruang publik yang memadai? Ataukah ruang publik sudah tak cukup menampung jutaan ekspresi muda-mudi?
Jalan, sebagai salah satu fasilitas publik dengan topografi, kontur dan karakteristik ternyata memiliki makna dalam keterkaitan konteks sosial. Moughtin (2003) menyebut, 'jalan merupakan garis komunikasi antara beberpa tempat yang berbeda, digunakan oleh berbagai aktivitas manusia, mulai dari berjalan kaki hingga berkendara.
Dalam Architecture in Context, Brolin (1980) juga berpendapat, bahwa sebuah bangunan gedung, memiliki keterikatan dengan konteks lingkungan sekitarnya dan harus memiliki 'kesesuaian'.
Kesesuaian yang dimaksud Brolin adalah apakah kondisi gedung memiliki konteks arsitektur, memadukan keserasian secara sosial, budaya, ekologis nan historis.
Apa artinya? Penekanannya adalah dimensi jalan dengan berbagai tempat, pergerakan dari satu tempat ke tempat lain, atau dalam bahasa Jacobs (1995) dan Appleyard (2006), jalan adalah ruang ekspresi sosial, berfungsi sirkulasi & interaktif, mudah diakses, membangun komunitas tanpa terbatas skala usia.
Jika ditilik dari makna 'jalan' di atas, yang ramai digunakan oleh anak-anak muda pinggiran ibu kota Jakarta, sebagai ruang ekspresi jatidirinya, tentu tidak salah dalam memilih. Begitu juga para seniman jalanan di sekitar Yogyakarta yang memilih sudut jalan simpang lampu merah jalan Laksda Adi Sucipto sebagai pilihan mengekspresikan karya seninya.
Karena pada dasarnya 'jalan' merupakan salah satu 'public space' yang mempertemukan interaksi antar penggunanya, mengkoneksikan berbagai kepentingan yang pada akhirnya mengantarkannya pada pertemuan sebuah komunitas, menghubungkan perpindahan tempat dan tentu sebagai jalur utama dimana secara langsung 'karya' bisa dinikmati oleh semua kalangan, tanpa sekat 'kelas sosial' dan nilai 'komersial' yang harus dibayarkan.
Apa yang harus dipertimbangkan ketika jalan menjadi pilihan? Keselamatan, keamanan dan ketertiban kita sebagai pengguna, ini yang harus kita selaraskan ketika memanfaatkannya. Karena jalan adalah titik tumpu pada ruas dan sudut, dimana masing-masing memiliki normanya sendiri yang harus dijaga dan dihormati.
Ada makna lain yang juga harus diberikan selain 'mengekspresikan' eksistensi diri, ruang bersama yang bisa menjadi kompromi dengan pilihan kepentingan strategis jiwa muda-mudi.